Dewa Memasak – Bagian 8: Di 92nd Street, New York (3)
Pada saat itu, setelah makan malam, Lucas menceritakan kisah sedihnya pada Jo Minjoon. Itu sangat jujur untuk menceritakan kisah itu pada seseorang yang baru dia temui, tapi mungkin hal itu lebih mudah dilakukan karena mereka baru kenal satu hari.
Lucas bercerita bahwa dia dulu adalah CEO pabrik jeli. Ketika kau menyebut kata pabrik, yang terbayangkan adalah sebuah jajanan berkualitas rendah, namun Lucas adalah seseorang yang telah berusaha keras melepaskan anggapan itu. Dan usahanya itu membuahkan hasil penjualan yang cukup bagus.
Nasib buruk pabrik tidak dapat diduga. Sebuah program Amerika yang meliput tentang keselamatan kerja menargetkan pabrik Lucas. Mereka menyiarkan jeli yang terkontaminasi tanah, sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam proses pembuatan jeli. Dan mereka menyebut bahwa jeli itu berasal dari pabrik Lucas. Lalu siaran berita itu menjadi populer hingga mendapat rating 10%.
Lucas segera menuntut penyiar berita tersebut. Namun, usahanya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk membuat pabriknya kembali bangkit. Impian Lucas sejak kecil adalah ingin mengelola pabrik jeli. Namun orang-orang bilang bahwa sejak itu impiannya kandas. Maka dari itu dia menjadi pengembara yang berkelana ke sana ke mari.
Dia menghabiskan waktu hampir tiga bulan sebagai pengembara. Setelah 3 bulan dia kembali ke 92nd street, tapi Lucas tidak punya keberanian untuk masuk ke dalam rumah. Pada saat itu, Jo Minjoon memberinya uang $5. Ketika Lucas memegang uang $5 itu, banyak hal yang terlintas dalam pikirannya. Rasa malu karena penampilannya yang lusuh hingga orang-orang memperlakukannya seperti gelandangan dan perasaan aneh saat dia menerima uang $5. Itu adalah perasaan yang rumit, tapi Lucas berterima kasih pada Jo Minjoon, karenanya Lucas berani kembali ke rumahnya.
Namun,
“Jessie tidak akan memaafkanku.”
Lucas bergumam dengan nada sedih. Jane naik ke atas untuk melipur Jessie. Hasilnya adalah suara berisik tangisan Jessie dan Jane yang sedang marah. Lucas menghela nafas dan berkata,
“Aku minta maaf telah menyeret seorang tamu pada kekacauan ini.”
“…Anak kecil memang begitu. Ketika kau berhenti merasa bersalah, kau akan kembali seperti biasanya.”
“Aku berharap demikian… Akankah aku bisa kembali? Aku meninggalkan semuanya dan pergi begitu saja. Aku punya anak dan istri. Aku hanya memikirkan penderitaanku. Aku adalah ayah yang buruk.”
“Tidak ada ayah di dunia ini yang bisa menjadi superman yang sempurna.”
Mendengar itu, Lucas menjawab sembari tersenyum,
“Tapi semua anak-anak mengharapkan ayahnya seorang superman.”
Jo Minjoon tidak bisa membalas lagi. Suasana hati Lucas benar-benar buruk, Jo Minjoon ingin mencoba menghiburnya.
Percakapan berhenti sampai di situ. Lucas berjalan dengan lesu menuju kamarnya, dan Jo Minjoon pun masuk ke kamarnya. Kepalanya kacau. Masalah Lucas juga masalahnya, dan juga masalah di rumah ini. Tentunya itu bukanlah masalah yang dia dapat turut campur karena menurutnya itu merupakan masalah sensitif sebuah keluarga.
Masalahnya adalah jadwal dia selanjutnya. Pertama, dia harus pergi ke pusat kota. Dia harus mendapatkan kembali kartunya yang hilang dan perlu mencari tempat yang tepat untuk menginap, bukan rumah Lucas.
“…Haruskah aku meminta tolong mereka mengantar aku kesana?”
Tidak ada sesuatu yang lebih sulit dari mengatakan sesuatu yang nantinya akan kau sesali. Dan apalagi pada situasi keluarga yang sedang kacau seperti ini. Jo Minjoon menghela nafas dan menarik selimut menutupi tubuhnya. Kemudian terdengar bunyi derik pintu terbuka dari kamar sebelah. Kamar sebelah adalah kamar Jessie. Kemana dia pergi larut malam begini? Mungkinkah dia berencana kabur?
Jo Minjoon khawatir, dia membuka pintu dan keluar. Jessie berjalan mengendap-endap hingga hampir tidak terdengar langkah kakinya. Dan dia melangkah menuju dapur. Melihat Jessie makan makaroni keju yang sudah dingin, Jo Minjoon menghela nafas pelan. Benar. Dia masih di usia yang mudah lapar. Apalagi jika dia tidak makan malam sebelumnya, pasti lebih lapar lagi sekarang.
Jo Minjoon ragu-ragu sejenak dan kemudian menuruni tangga. Jessie terkejut kemudian menatap Jo Minjoon. Jo Minjoon tertawa canggung dan matanya dipenuhi kewaspadaan.
“Hello!”
“Apa ini?”
“Apa kau lapar? Kau mau aku buatkan sesu… Oh, ini bukan dapurku.”
Dia tidak boleh menggunakan dapur milik orang lain. Namun Jessie mengetahui maksud perkataan Jo Minjoon.
“Tambahkan air, lalu masukkan cuka dan didihkan kembali. Maka akan terasa enak dan bisa dimakan.”
“… … …”
Jessie tidak menjawab tapi dia melakukan apa yang Jo Minjoon sarankan. Dia menambahkan air dan cuka ke dalam panci dan memanaskan kembali di atas kompor. Setidaknya cuka akan membuat makaroni kembali sedikit kenyal. Di sana ada sedikit cuka tersisa jadi dia tuangkan sedikit ke dalam panci.
Setelah memasak kembali makaroni itu ala kadarnya, Jessie mulai memakannya tanpa berkata apa-apa. Jo Minjoon hanya menatap Jessie. Pada saat Jessie akan menyantap makaroni itu,
“Mengapa kau melihatku seperti itu?”
“Ayahmu, Aku mendengar ceritanya.”
“…Aku berusaha membiarkannya seperti itu, jadi berhentilah…” Jawab Jessie bersungguh-sungguh.
Itu sikap seorang pembangkang tetapi Jo Minjoon tidak tersinggung. Dia memahami Jessie karena dia 2 tahun sebelumnya adalah guru. Dia agak terbiasa berurusan dengan seorang remaja yang sedang melewati masa puber. Dia menggelengkan kepala.
“Aku tidak terpikir untuk mengguruimu. Hanya memberimu selamat.”
“Selamat atas apa?”
“Selamat atas kembalinya ayahmu. Itu patut disyukuri, bukan?”
Jessie tidak menjawab. Bulu matanya yang panjang, khas orang kulit putih, bergerak turun. Jo Minjoon tahu bahwa Jessie tidak menaruh dendam pada ayahnya, tidak seperti sikap yang Jessie tunjukkan. Dia cukup merindukan ayahnya.
“Lagipula aku akan segera pergi.”
“Apa maksudmu?”
“Kau bisa menceritakan apapun padaku, jangan malu-malu. Karena ayahmu kembali, sejujurnya kau senang, bukan? Sepatutnya kau merasa senang. Kau ingin makan sesuatu tapi kepalamu tetap memikirkan hal itu. Sama seperti itu. Maka lakukanlah.”
“Apa?”
“Apa yang harus aku lakukan?”
Kata-katanya bercampur dengan isak tangis. Jessie menggigit bibirnya, nampak dia tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya. Jessie melanjutkan berbicara sambil menangis.
“Setiap kali aku melihat ayah aku merasa marah. Dahulu, ayah begitu karismatik dan keren. Mengapa orang seperti itu … mengapa ayah berkecil hati? Mengapa dia mengalami nasib buruk itu?”
“… Dia tidak berkecil hati. Ayahmu sudah tua hingga kau bisa melihat punggungnya yang kecil.”
Berapa banyak ayah yang punggungnya tahan banting di dunia ini? Setiap ayah merasa takut punggungnya tidak lagi cukup untuk melindungi anak-anaknya, tapi hari itu pasti akan datang. Jika seorang ayah cukup sehat di usia itu, maka anak-anaknya akan tahu bahwa punggung ayahnya sudah kecil. Jo Minjoon berkata,
“Aku bilang tidak akan mengguruimu jadi aku akan bertanya padamu. Kau akan memeluk punggung kecil ayahmu atau kau ingin berhenti melihatnya?”
“Aku bukan tidak ingin melihatnya lagi.”
“Jadi itu berarti kau ingin memeluknya.”
Jo Minjoon tersenyum setelah mengatakan itu. Jessie menundukkan kepala dengan air matanya bercucuran. Itu ide yang bagus. Setidaknya Jessie seorang anak-anak yang tidak tahu cara membenci orang tuanya. Lebih tepatnya, dia memang anak yang seperti itu. Setelah selesai makan, dia ingin kembali ke kamarnya di lantai 2. Jika dia seorang anak yang tidak menyayangi orang tuanya, dia akan segera kabur dari rumah. Jo Minjoon lega, dan berkata,
“Aku akan merayakan itu, kau juga ingin melakukannya?”
“…Bagaimana?”
Jo Minjoon menjawab,
“Dengan sesuatu yang paling ayahmu sukai. Misalnya jeli.”