Dewa Memasak – Bagian 87: Babi dan Api (3)
[Jo Minjoon]
Level Memasak: 7
Level memanggang: 5
Level Mengecap: 8
Level Mendekorasi: 5
Level 7. Apakah angka ini sebegitu indahnya? Itu angka yang membuatnya lebih senang dari pada angka 8 yang muncul di sebelah hidangan galbi babi. Sekarang, levelnya sama dengan Anderson, Kaya,dan Chloe. Akan tetapi, meski level mereka sama, tentu ada perbedaan… Meski begitu, dia berpikir bahwa akhirnya dia bisa mengejar punggung mereka sampai pada poin ini.
Jo Minjoon melihat angka yang mengambang di udara itu dengan cinta. Namun, masalahnya adalah ada Kaya di balik layar yang sedang dia lihat. Kaya, yang merasakan tatapan tajam dari Jo Minjoon, menoleh. Setelah dia melihat tatapan Jo Minjoon, dia mengerutkan dahi, lalu membalikkan badan.
“Ada apa ini? Mengapa dia melihatku seperti itu?”
Dia merasa terganggu, tapi dia terlalu sibuk untuk memikirkannya. Begitu juga dengan Jo Minjoon. Levelnya naik, tapi dia masih harus menyelesaikan plating.
Dia tidak meletakkan hidangan dalam jumlah yang banyak. Dia tidak berencana meniru sajian gaya Perancis, dengan piring putih. Hanya saja, jika dia meletakkan makanan dalam jumlah banyak, ada kemungkinan para juri akan merasa tidak suka. 3 hidangan dari masing-masing peserta. Setidaknya ada 21 hidangan babi. Meski mereka membuatnya dengan lezat, jika jumlahnya sebanyak itu, tinggi kemungkinan para juri sudah merasa enggan sejak awal.
Mengecap dimulai dengan membayangkan cita rasanya sebelum memasukkannya ke dalam mulut. Oleh karena itu, perlu membawa cita rasa hidangan mendekati yang mereka bayangkan. Untuk pertama kali, dia membuat semua hidangan 8 poin. Itu adalah hidangan terakhir yang dia buat dengan level memasak masih 6. Itu momen yang berarti, jadi, dia ingin menunjukkannya dengan sempurna.
Saat dia meletakkan daging seukuran satu gigitan di tengah-tengah piring, tinggal satu menit lagi waktu tersisa. Jo Minjoon menjilat bibirnya yang kering, lalu melihat para juri. Alan, yang melihat jam dinding berteriak dengan suara keras.
“Waktunya habis! Angkat tangan kalian!”
Evaluasi dimulai. Jo Minjoon melihat sekilas peserta yang lain. Hanya ada dua orang yang mendapat 8 poin pada semua hidangannya, yaitu Anderson dan Kaya. Pada kasus Chloe, hanya 2 hidangannya yang 8 poin, dan satu sisanya hanya 7 poin.
Yang pertama di evaluasi adalah Ivanna. Semua hidangannya berskor 7 poin. Itu skor yang lumayan. Karena level semua peserta di sesi ini cukup tinggi, dia tidak bisa menunjukkan keahlian yang lebih unggul. Jika Ivanna berpartisipasi di sesi sebelumnya, mungkin dia akan menjadi peserta yang bisa mendapat kesan lebih baik dari sekarang. Selain wajahnya yang menggemaskan, dia punya kualifikasi dan keahlian. Tidak mudah membuat hidangan 7 poin bagi seorang amatir.
Para juri juga mengevaluasi dengan mempertimbangkan hal itu. Tentu, mereka tidak bisa mengatakan itu 7 atau 8 poin, tapi mereka bisa merasakan level hidangan itu dengan sempurna. Di dalam kepalanya, Alan berpikir,
‘untuk merasa kecewa pada hidangan seperti ini… Sesi ini jelas akan dikenang dalam sejarah.’
Barangkali setelah ini, tidak akan ada lagi peserta yang berbakat sebanyak ini. Yang paling utama, cerita sesi ketiga berakhir pada poin bahwa ada peserta yang mempunyai indera pengecap yang mutlak.
Bukannya mereka mengevaluasi hidangan Ivanna dengan cara spesial, tapi meski begitu kritikan berakhir dengan komentar yang cukup bagus. Ketiga hidangan itu stabil. Jika kau bukan epicurean spesial, orang yang mencoba hidangan Ivanna, banyak yang akan merasa bahagia setelah mencicipinya.
Sasha dan Hugo pun tidak jauh berbeda. Mereka menyajikan hidangan berskor 6 dan 7 poin. Meski tidak buruk, hidangan-hidangan itu sedikit kurang untuk bisa lolos evaluasi. Para juri harus berpikir keras. Akan lebih nyaman jika seseorang membuat kesalahan besar karena sulit mengeliminasi salah satu dari mereka. Pada akhirnya, mereka hanya bisa mengevaluasi secara subjektif.
“Minjoon, bawa hidanganmu.”
Tapi pertama-tama, mengevaluasi peserta yang tersisa adalah yang utama. Alan melihat hidangan Jo Minjoon dengan tatapan penuh ekpektasi. Entah sejak kapan dia mulai menikmatinya alih-alih mengevaluasinya. Perkembangan pemuda ini bisa terlihat di matanya, dan perkembangannya itu bahkan terasa lebih jelas melalui lidahnya.
“Apa ada cara khusus untuk memakannya?”
“Aku merekomandasikan Anda untuk memakan bola dagingnya dahulu karena rasanya yang paling kurang menstimulasi di antara ketiga hidangan.”
“Kurang menstimulasi…” kata Joseph sembari memasukkan bola daging ke dalam mulutnya.
Dia mengunyah paprika asap yang lembut dan bola daging yang diselimuti saus wine di dalam mulutnya. Paprika itu secara tak terduga masih terasa renyah dengan cita rasa khasnya. Bola daging yang kasar tapi lembut menstimulasi lidah dan langit-langit mulutnya.
Cita rasa saus wine yang bercampur dengan cuka balsamic yang telah didihkan terasa cukup normal. Namun, bukan berarti cita rasanya kehilangan warna karena tidak bisa mengkritisi saus barbeku meski mempunyai cita rasa yang sama.
“Kau membuat saus wine ini memiliki cita rasa yang semua orang pasti suka. Tidak hanya manis biasa, tapi rasa manis dan asam yang cocok dengan bola daging, terutama, cita rasa spesial dari saus wine kering ini… Dari mana kau mempelajari ini? Informasi ini sulit ditemukan di intern-… Oh, benar. Kau bisa membaca resep.”
Alan bertanya dengan wajah penuh pertanyaan lalu mengangguk karena dia sudah paham duluan. Jo Minjoon bisa tahu resep masakan yang dia makan. Sungguh tidak masuk logika untuk memahami hal itu sejauh ini.
Jo Minjoon bahkan tidak perlu guru karena hanya dengan mengunjungi restoran terkenal dan memakan masakan di sana, dia akan bisa mendapatkan segala informasi dari chef yang membuatnya. Setiap kali dia menguasai sebuah resep, yang normalnya disembunyikan oleh chef, dia akan menguasai kemampuan yang jauh melebihi usianya.
Garpu para juri beralih ke hidangan yang lain. Kali ini babi Dongpo. Daging babinya bahkan tidak sebanding dengan babi Dongpo biasanya. Saat dikunyah, sari daging yang bercampur dengan saus perlahan membasahi lidahnya. Di atas cita rasa sayuran yang tergoreng dalam minyak khas China, aroma kental dari wine kaoliang tersisa di dalam saus. Dia sungguh merasa seperti makan babi Dongpo mewah di restoran China yang bagus. Hidangan itu membuatmu tidak akan percaya bahwa membuatnya hanya butuh dua jam yang penuh usaha keras dan dedikasi.
Emily membuka mulut dengan wajah terpesona seperti gadis polos.
“Sungguh luar biasa untuk mendapatkan rasa ini dalam dua jam. Aku pikir itu dua jam untuk memasak babi Dongpo itu …”
“Terima kasih.”
“Aku yang seharusnya berterima kasih setelah memakan hidangan ini. Akankah kau bisa makan hidangan semacam ini secara gratis?”
Emily berkata seperti itu lalu tersenyum. Saat itu, Emily merasa seperti rubah karena saat dia mengevaluasi hidangan, dia menunjukkan sikap polos seorang anak kecil. Hal itu juga menjadi alasan Jo Minjoon tidak bisa membencinya.
‘Akan bagus jika Anda berhenti menyuruhku menjadi epicurean.’
Jo Minjoon berpikir seperti itu dan tersenyum sedikit. Sekarang giliran hidangan terakhir, galbi babi. Ekspresi para juri semakin serius. Joseph membuka suara,
“Kau sebaiknya mengetahui ini, tapi di antara hidangan yang kau masak hari ini, galbi babi ini adalah yang paling penting karena hidangan ini menunjukkan secara langsung kemampuan yang kau punya. Dan…”
Joseph melihat bentuk daging galbi babi lalu perlahan berkata,
“Melihat bagian luarnya, tidak tampak ada kecacatan. Sausnya meresap dengan baik dan tidak ada yang hangus. Warna daging bakar ini sungguh menawan. Dengan tidak menghanguskannya, itu hal paling sederhana tapi juga yang paling sulit. Bahkan ini dipadukan dengan saus, dan jika dibakar, seluruh rasanya akan lebih nikmat.” Kata Joseph, lalu memasukkan potongan daging ke mulutnya.
Saus yang terbuat dari campuran saus barbeku dan kecap asin, jika ada kesalahan dalam membuatnya, bisa berakhir menjadi terlalu asin. Akan tetapi wine, cuka, dan sari lemon akan membuat rasanya lebih ringan. Tidak hanya menuangkan saus di atasnya, tapi setelah membiarkannya agar meresap, Jo Minjoon memasaknya lagi dengan saus tersebut.
Dari kelezatan potongan daging itu terlihat bahwa Jo Minjoon sudah berkembang. Ada perbedaan kecil yang dia lewatkan. Hidangan itu sulit dibuat jika kau tidak bisa merasakan momen saat api menyentuh permukaan daging itu. Bukan karena cita rasanya yang lebih unggul dari bola daging atau babi Dongpo, melainkan para juri tidak begitu banyak merasakan perbedaan cita rasa atau proses penyelesaian di antara ketiga hidangan tersebut. Namun, jika kau yang memasaknya, hanya kau yang bisa merasakannya. Usaha dan keahlian yang terkandung dalam galbi babi tidaklah normal. Alan membuka suara.
“….Aku akan berkata jujur. Maaf, Minjoon. Sebelumnya, aku tidak melihat kemungkinanmu untuk menang begitu tinggi. Namun, setelah memakan hidanganmu hari ini, aku mulai berpikir yang lain. Mungkin, kau bisa meraihnya. Iya, kau bisa menang.”
Suara Alan terdengar serius. Jo Minjoon tersenyum samar. Dia berpikir bahwa mungkin akan canggung dengan apa pun yang dia katakan. Tapi beruntungnya, Emily menyelamatkannya dari momen canggung itu.
“Hari ini, kalian semua menyajikan hidangan yang tidak mengandung apa pun untuk dikritisi. Khususnya, seperti apa yang Jo Minjoon tunjukkan pada kami sampai sekarang, hidangan inilah yang terbaik dari Jo Minjoon. Tidak. Sebenarnya, setiap kali dia menjalani misi, aku merasa dia selalu berkembang. Aku juga akan berekspektasi seperti itu pada misi berikutnya.”
Itu berarti dia lolos. Jo Minjoon tersenyum lalu sedikit membungkukkan badan.
Evaluasi Chloe, Anderson, dan Kaya jelas tidak jauh berbeda dengan evaluasi Jo Minjoon. Mereka membuat hidangan hamburger, abon babi lima bumbu, ravioli, dll. dan itu tidak bisa dianggap lebih buruk meski sedikit. Jelas, orang yang tereliminasi adalah sisanya, yaitu: Ivanna, Sasha, dan Hugo.
‘Para juri tidak akan mengeliminasi semuanya.’
Terlepas dari mereka bisa menghidupkan kembali suasana atau tidak, saat itu adalah momen untuk mengontrol berapa banyak yang dieliminasi. Setidaknya untuk materi siaran, mereka harus melakukannya seperti itu.
‘Lalu, siapa yang akan mereka eliminasi…’
Jo Minjoon perlahan melihat ketiga peserta itu. Awalnya, sepertinya bukan Ivanna karena semua hidangannya berskor 7 poin. Namun, pada kasus Hugo dan Sasha, mereka membuat 2 hidangan 7 poin dan satu hidangan 6 poin. Sulit untuk mencoba menerka siapa yang akan dieliminasi berdasarkan skor itu.
“Sasha, Ivanna, Hugo. Majulah ke depan.”
Ketiganya berjalan dengan wajah gugup. Mereka sendiri telah menebak bahwa mereka tidak termasuk di peringkat atas, tapi peringkat bawah. Joseph melihat mereka dengan wajah sangat lelah.
“Aku yakin bahwa kalian tahu alasan kami memanggil kalian.”
“…Apa kami semua akan dieliminasi?”
“Kami tidak akan melakukan itu. Hanya satu orang. Sebenarnya, Masakan kalian tidak jauh berbeda. Hidangan kalian semua cukup enak. Tapi di tempat ini, kalian tidak bisa bertahan dengan hanya cukup enak. Ada sepuluh peserta, dan jika beberapa dari mereka membuat hidangan yang sangat buruk itu, itu lebih mudah bagi kami. Namun, sekarang tidak seperti itu. Menjadi lebih baik dari yang lain, tidak akan cukup agar bisa lolos karena tidak ada satu peserta pun yang bertindak asal asalan di antara peserta yang bertahan sampai saat ini.”
Mereka bertiga tidak menjawab apa pun pada kata-kata Joseph, mereka lebih tahu dari para juri bahwa hidangan mereka kurang unggul. Joseph hendak berkata, namun terhenti seolah-olah berat untuk mengatakannya. Tapi Emily tampak ingn membantunya, dia menaikkan suaranya,
“Karena itu kami mengevaluasi kalian. Akan tetapi Kami akan menjaga peserta yang kami masih bisa berekspektasi cukup tinggi terhadap masakan mereka dari sekarang, tidak hanya 3 hidangan hari ini… Sasha?”
Emily berhenti sejenak. lalu dia bertanya dengan suara pelan,
“Menurutmu kenapa aku memanggil namamu?”
“..Oh, kumohon. Jantungku seakan menyusut.”
“Maaf, tapi aku justru akan mengatakan kabar bagus. Kau bertahan. Dari apa yang kami lihat padamu hingga saat ini, kami sepakat bahwa kami ingin memberimu kesempatan lagi. Kembailah ke meja masakmu.”
“Terima kasih…”
Sasha menjawab dengan suara bergetar, setelah mengusap air mata di pelupuk matanya, dia kembali ke tempatnya. Tersisa 2 peserta. Ivanna menelan ludah, tangannya terkepal. Dia teringat Joanne.
‘Aku bilang aku akan memenangkannya demi Joanne.’
Tapi realitanya demikian. Pada saat itu, dia tidak tahu ke mana ambisinya pergi dari dalam dirinya. Setiap kali dia membuat kontak mata dengan para juri, jantungnya berdebar, dan dia bahkan mulai cegukan. Alan melihat Ivanna beberapa saat lalu berkata,
“Sejujurnya, yang lebih baik di antara kalian bertiga adalah dirimu, Ivanna.”
“Terima kasih.”
“…Tapi, hanya itu. Cukup enak. Sampai sekarang, kau tidak pernah menunjukkan pada kami sesuatu yang bisa mematahkan konsep. Itu berarti kau tidak pernah menunjukkan pada kita sesuatu yang khas dari dirimu, sesuatu yang kami ingat terus. Di sisi lain, Hugo punya ossobuco, dan dia juga menunjukkan kepemimpinannya yang bisa membimbing anggota timnya dengan baik. Ivanna, akankah kami bisa berekspektasi lebih padamu?”
Ivanna menggigit bibirnya, wajahnya yang lebih pucat dari biasanya, bergetar. Namun, dia tidak membalas apa-apa… Sama seperti yang Alan katakan, dia tidak pernah menunjukkan sesuatu yang spesial dari dirinya. Dia hanya mencoba bertahan hingga saat ini, dan itu menjadi kekurangannya. Namun…
“…Iya. Aku harap demikian.”
“Berharap apa?”
“A,aku… hanya tahu bagaimana memasak yang baik. Seperti yang Chef katakan, masakanku hanya cukup enak. Tapi, itu bukan berarti aku tidak mengembangkan diri. Aku ingin menunjukkan pada kalian bahwa aku bisa lebih baik. Berilah aku kesempatan.”
Alan tidak menjawab apa-apa. Dia justru melihat Hugo, lalu dia bertanya dengan suara pelan,
“Hugo, bagaimana menurutmu? Apa menurutmu kami sebaiknya memberikan kesempatan itu pada Ivanna?”
Pada saat itu, Hugo hanya menepuk bibirnya. Dia tidak tahu apa yang harus dia jawab. Jika dia memberinya kesempatan, berartti dia harus tereliminasi. Tapi mengatakan untuk tidak memberinya kesempatan juga terasa berat. Dia pun bertanya,
“…Apa pendapatku penting?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Aku hanya penasaran dengan apa yang kau pikirkan.”
“Aku bersyukur kau berpikiran baik tentang diriku. Tapi aku masih kurang. Mungkin, jika hidangan Ivanna lebih baik dari hidanganku, menurutku akan lebih tepat untuk mengevaluasi kami berdasarkan hidangan yang kami buat dari pada masa depan dan harapan kami.”
“Jadi, kau yang akan tereliminasi?”
“…Aku tidak akan bersikap tamak jauh melebih kemampuanku.”
Ujung bibir Alan naik mendengar kata-kata Hugo. Dia melihat Hugo dengan tatapan hangat lalu bertanya,
“Ada satu hal yang pasti. Ada darah orang Italia mengalir dalam tubuhmu seperti diriku. Itu pidato yang bagus, jadi aku harap kau bisa menerima kata-kataku setelah ini.”
Keheningan menghampiri sejenak, lalu berakhir dengan pengumuman para juri.
“Hugo, kau telah tereliminasi. Kembalikan lencanamu dan silahkan meninggalkan asrama Grand Chef.”
< Babi dan Api (3) > Selesai