Dewa Memasak – Bagian 88: Beban di restoran (1)
“47, 48, 49, 50……. Oke. Selesai, Chloe.”
“…Wow, sulit.”
Chloe menghela nafas dengan kasar sambil berbaring di matras. Jo Minjoon melepaskan tangannya yang tadi memegangi kaki Chloe, lalu dia bertanya,
“Bukankah sulit berlatih setiap hari? Orang-orang yang biasa berolahraga melakukannya secara interval. Kau bisa cedera.”
“Tapi, aku tidak berolahraga berat dan di sini tidak banyak peralatan fitnes…”
Chloe melihat ke sekeliling ruang olahraga dengan kecewa. Ruang olahraga yang dibuat tidak hanya untuk peserta, tapi juga untuk para staf, keadaannya tidak begitu bagus. Jo Minjoon melihat Anderson di sebelahnya yang sedang berlatih squat. Tak terduga, Anderson punya badan yang berotot. Jelas berbeda dibanding badannya.
“…Haruskah aku juga berolahraga?”
“Kau ke sini untuk berolahraga, bukan?”
“Alih-alih berolahraga, aku datang untuk mendapatkan motivasi.”
“Kau tidak bisa mendapatkan motivasi dari yang lain, kau harus memotivasi dirimu sendiri. ‘Aku harus berolahraga…’ kau hanya harus membisikkan itu pada dirimu sendiri. Jika badanmu masih sama mungkin niatmu yang kurang.”
“Baiklah. Kalau begitu, aku harus mulai …”
Saat dia akan lanjut mengatakan “…hari ini.”, ponselnya berdering. Jo Minjoon mengangkat tangannya dari Chloe sejenak lalu keluar ruangan. Nama yang menyembul di layar adalah ‘Jessie Dean’. Nama yang sudah lama tidak dilihatnya untuk sementara waktu, Jo Minjoon tersenyum.
“Sudah lama kau tidak menelponku. Ada apa?”
[Yaa, begitulah. Aku bosan dan tidak ada yang aku lakukan.]
“Tapi bukankah seharusnya kau sedang di sekolah saat ini? Oh, New York terlambat satu jam dari sini.”
Percakapan berlanjut seperti biasa. Jessie menceritakan kalau dia masih tetap membuat jeli dan Jo Minjoon menceritakan betapa besar asrama Grand Chef. Tentu, ada pertanyaan yang tidak mungkin terlewat.
[Apa kalian berdua sungguh berkencan?]
“Aku sudah bilang kami tidak berkencan.”
Jo Minjoon menjawab dengan tegas pertanyaan Jessi yang terdengar penuh rasa ingin tahu. Jessie mengerang seakan-akan dia tidak percaya pada Jo Minjoon. Jo Minjoon menghela nafas lalu mengubah topik. Jelas dia lelah dengan topik itu karena tidak hanya Jessie, tetapi keluarga dan temannya juga bertanya tentang Kaya saat mereka menelpon.
“Bagaimana kabar Mr. Lucas?”
[Yaa, sepertinya ayah mulai mendirikan perusahaan baru…Ayah tidak banyak menceritakan hal itu padaku. Kabar ayah baik.]
“Baguslah.”
Suara Jessie sungguh ceria. Sehingga, Jo Minjoon merasa tidak perlu khawatir. Jessie bertanya tentang sesuatu yang dia khawatirkan,
[Tapi, Kaya Lotus… Ada rumor buruk tentangnya di internet. Itu tidak benar, kan?]
“Intinya tidak benar. Orang-orang cenderung berpikir mereka adalah korban, seperti itulah Tess Gilly.”
[ Yaa, kau pasti bisa menilai orang dengan baik.]
“Ceritakan ini juga pada semua orang disekitarmu. Kaya, bukan orang yang seperti itu.”
[ ……Itu tidak begitu sulit. Tapi sepertinya kau perhatian padanya?]
Jessie bertanya karena curiga. Jo Minjoon menjawab dengan kesal,
“Sudah yaa. Aku mau berolahraga.”
[Oh, maaf. Jangan ditutup. Aku bosan. Aku bo…!]
Bahkan setelah Jessie berbicara dengan cepat berusaha menahannya, tetapi Jo Minjoon sudah terlanjur menekan tombol untuk mengakhiri telepon. Beberapa saat setelah dia menutup telepon, layar ponselnya mati, lalu dia mendengar suara yang familiar.
“Sepertinya kau sedang membicarakan tentang aku.”
“Oh! Aku kaget…kumohon berilah tanda sebelumnya.”
Saat dia berbalik untuk melihat pemilik suara tersebut, dia melihat Kaya berdiri dengan satu kaki tertekuk, alih-alih membalas perkataannya. Kaya memakai sepatu hak tinggi. Kakinya melangkah. Tuk tuk tuk. Suaranya begitu jelas. Jo Minjoon menggaruk dagunya dengan wajah malu-malu.
“Aku tidak bisa mendengar dengan baik saat sedang bertelepon.”
“Menurutku, kau memang tuli. Jadi apa? Jadi bukan tentang aku?”
“Jika seseorang menelponku biasanya mereka bertanya tentangmu. Apa kau juga seperti itu?”
“…Tidak ada yang secara khusus menelponku, kecuali adikku dan ibuku.”
Kaya menjawab dengan cemberut. Jo Minjoon tahu seharusnya dia merasa sedih dengan pertanyaan Jo Minjoon. Saat Kaya cemberut seperti itu, dia terlihat menggemaskan. Jo Min Joon menyeringai.
“Lalu apakah adikmu dan ibumu tidak bertanya tentang aku?”
“Iya. Mereka bertanya kenapa aku dekat-dekat dengan orang bodoh sepertimu.”
“…Benarkah? Mereka sungguh mengatakan itu?”
“Kau percaya?”
Kaya mendecakkan lidahnya dan menggelengkan kepala. Jo Minjoon mengernyit. Saat Jo Minjoon bermain dengan saudara sepupunya yang lebih muda, dia yang cenderung berubah menjadi kekanak-kanakan. Dia juga seperti itu saat bersama Kaya. Meskipun dia tidak tahu apakah itu baik atau buruk…
“Aku akan berolahraga. Pergilah.”
“Kau sungguh akan berolahraga? Biasanya tidak. Kenapa? Apa karena aku mengejekmu?”
“Apa aku seperti anak-anak bagimu? Siapa yang berolahraga hanya karena ada yang mengejeknya?”
“Tidak ada yang salah dengan menjadi anak-anak, dan masa remajamu belum lama terlewat. Bagaimana kalau kau juga berhenti bertingkah seperti orang dewasa?”
Pada saat itu, Jo Minjoon tidak marah, tapi dia tidak ingin hanyut dalam arus Kaya. Baginya, masa remaja sudah lama terlewat, karena sebenarnya, dia telah hidup sampai usia 30an. Itu bukan usia yang pantas untuk bertingkah kenak-kanakkan.
“Aku baru kembali dari militer. Badanku tidak seburuk itu.”
“Militer? Kau tentara?”
Kaya terbelalak. Dia seperti tidak pernah menyangka hal itu karena Jo Minjoon tidak pernah mengatakan pada siapapun bahwa dia pernah menjalani kehidupan militer. Jo Minjoon memutar bola matanya sedikit.
“Iya. Aku juga bisa menembakkan pistol dan mendapat pelatihan fisik.”
Tidak ada yang perlu dikatakan bahwa pemerintah Korea mewajibkan penduduk pria menjalani kehidupan militer. Jadi, Jo Minjoon hanya mengarang kata-kata terakhir itu. Kaya memutar bola matanya dengan wajah bingung seolah-olah dia syok dengan kenyataan yang tak terduga itu. Kemudian, dia bertanya dengan hati-hati,
“Lalu kau melakukannya?”
“Apa?”
“Itu… Membu… Bukan, Apa kau pernah menembak seseorang?”
Meskipun dia berusaha menutupinya, matanya menunjukkan kilat cahaya yang tidak pernah Jo Minjoon lihat seelumnya dan ada banyak gerak tangan yang tidak perlu. Apa karena itu? Meski Jo Minjoon tahu bahwa itu kekanak-kanakan, dia ingin menggoda Kaya lebih jauh. Pria yang pernah berusia 30an tahun ini menjawab dengan suara yang meyakinkan.
“Korea sedang gencatan senjata.”
Sejujurnya, Kaya tidak tahu apa yang Jo Minjoon bicarakan. Kaya lemah pada kata-kata yang tidak langsung pada intinya. Apakah di sana tidak ada pilihan lain selain menembakkan pistol karena terjadi gencatan senjata, atau lebih tepatnya, karena negara sedang kacau. Hanya mendengar betapa berat suara Jo Minjoon, sepertinya memang itu yang terjadi.
‘Apa begitu sulit baginya untuk menjawab pertanyaanku?’
Bisa dimengerti Kaya berpikir seperti itu. Kaya malu untuk menunjukkan bahwa dia tidak paham. Kaya membuka lebar-lebar matanya lalu berkata,
“Aku tidak berpikir itu buruk meski itu benar terjadi. Aku paham.”
“Terima kasih.”
Jo Min Joon menyeringai. Pada pemikiran Kaya, Jo Minjoon bertanya-tanya apakah menurut Kaya, Korea adalah wilayah yang berbahaya seperti timur tengah. Jo Minjoon tidak tahu kapan dia harus menjernihkan kesalahpahaman Kaya, dan saat itu terjadi, Jo Minjoon akan ditonjok oleh Kaya karena dia kesal.
‘Mari kita bahas lagi lain kali… Pertama, ayo berolahraga.’
Namun, hari it, Jo Minjoon akhirnya tidak jadi berolahraga karena saat dia hendak meraih dumbbell, stafmenghampiri mereka dan berteriak,
“Kita akan pergi ke tempat misi berlangsung. Semuanya bersiaplah lalu pergi ke garasi!”
–
Saat mereka di dalam bus, topik utama pembicaraan mereka jelas berhubungan dengan misi. Sasha berkata,
“Kita akan pergi ke restoran, bukan? Hanya ke tempat seperti itu kalau menjalani misi diluar asrama.”
“Bisa juga hotel. Tapi hal yang pasti adalah bahwa kita akan pergi ke dapur, entah apapun tempatnya.”
“…hanya satu orang yang akan tereliminasi hari ini, kan?”
“Aku tidak tahu. Memikirkan jumlahnya, menurutku seharusnya begitu, tetapi mungkin ada sesuatu yang tak terduga sehingga yang tereliminasi 2 orang. Sebaiknya jangan pikirkan tentang eliminasi. Itu lebih nyaman.”
Anderson berkata dengan suara berat. Mendengar hela nafas Sasha, lalu Jo Minjoon memalingkan pandangan ke luar jendela. Sudah berapa lama sejak dia keluar dari asrama Grand Chef? Terakhir kali, reporter yang berkumpul sangat banyak hingga mereka tidak bisa keluar. Karena dia bisa melihat pemandangan luar seperti ini, rasa sesak di dadanya berkurang.
Tepat di belakang tempat duduknya, Kaya melihat punggung Jo Minjoon. Hanya dengan memperhatikan Jo Minjoon yang sedang menerawang ke luar jendela, Kaya bertanya-tanya apakah dia sedang mengingat kenangan menyakitkan saat di kemiliteran.
‘…Betapa berbahayanya negara yang sedang gencatan senjata?’
Tidak mungkin dia mengetahui tentang itu, atau bahkan tertarik dengan hal itu. Kaya menepuk badan Chloe yang duduk di sebelahnya. Chloe menoleh pada Kaya dengan ekspresi bingung.
“Kenapa?”
“Sssst. Mendekatlah.”
Kaya berkata dengan suara yang sangat pelan.
“Apakah Korea, maksudku Korea Selatan, negara yang masih berbahaya? Dan apakah di sana terjadi tembak menembak?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Aku punya teman yang bahkan berlibur ke sana. Yaa, Aku memang melihat orang-orang yang berkelahi melalui berita. Tapi kenapa?”
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
“Ada apa ini? Kau membuatku penasaran. Apa kau sungguh tidak akan menceritakannya padaku? Jika kau berbicara tentang Korea, apa ada hubungannya dengan Minjoon?”
“Sssst! Aku bilang jangan keras-keras!”
Kaya berekspresi galak lalu menekan bibir Chloe dengan jarinya. Chloe menaikkan alisnya dan melihat wajah Kaya dan jarinya bergantian. Kaya melepaskan jarinya lalu berkata.
“Berhati-hatilah, Chloe.”
“Jadi kenapa aku harus berhati-hati?”
“…Kau tidak boleh mengatakan ini pada siapapun.”
Kaya melihat ke sekelilingnya dengan tatapan waspada. Jo Minjoon masih memandang ke luar jendela, Anderson dan Sasha membicarakan tentang misi, sedangkan Ivanna tidur. Tidak ada seorang pun yang akan mendengarkan pembicaraan mereka. Kaya berkata,
“Minjoon bilang bahwa dia seorang tentara.”
“Menurutku, pelayanan militer diwajibkan di Korea, jadi jelas, dia pernah menjalani kehidupan militer. Kenapa dengan itu?”
“Jadi jika kau tentara kau harus pergi ke tempat perang atau semacamnya. Ada beberapa pamanku yang masuk kemiliteran, masing-masing dari mereka menderita karena ingatan saat mereka masih di militer. Minjoon tidak menunjukkkannya tetapi…Apakah dia menderita sendiri? Kau tahu, memang ada gejala seperti itu. PT…itulah pokoknya.”
Chloe melihat Kaya dengan ekspresi aneh. Apa yang sebenarnya dibayangkan wanita muda ini? Namun, Kaya masih tampak tenggelam dalam pikirannya.
“Jika dipikir-pikir, dia akan kembali lagi ke Korea. Aku tidak banyak memikirkan hal itu sebelumnya, tetapi bukankah itu berbahaya? Dia harus membantu di divisi kemanusiaan. Haruskah aku mengatakan pada Minjoon untuk mendaftar sekarang?”
“…Menurutku, kau salah paham besar, Kaya. Korea berbeda dengan apa yang kau bayangkan.”
“Korea sedang gencatan senjata. Dia bilang perang bisa terjadi kapan pun.”
“…Itu benar.”
Chloe tidak tahu bagaimana menjelaskannya, dan yang paling utama, dia tidak tahu banyak tentang Korea. Masalahnya adalah dia membiarkan Kaya terus salah paham seperti ini dan merasa khawatir seorang diri. Kaya menjadi cukup menggemaskan. Namun, Chloe tidak percaya diri untuk bisa menangani sikap Kaya setelah dia mengetahui kebenarannya dan setelah melihat Chloe yang pura-pura tidak tahu.
“Kaya, sebenarnya…”
“Kita sampai!”
“Oh, iya. Mari kita bicarakan ini lain kali.”
Namun, niat Chloe terpotong oleh teriakan staf. ‘Yaa, memang tidak harus sekarang.’ Chloe berpikir seperti itu lalu menoleh. Hal yang dia lihat di luar jendela adalah sebuah restoran. Sebuah restoran yang sebagian berada di atas air, dan sisanya di atas daratan. Karena separuh lebih restoran dibangun dari pohon berwarna putih, tampaknya cukup romantis berada di dalamnya .
Siapa pun yang melihatnya, akan terpesona, tidak terkecuali dengan Kaya. Dia, yang turun dari bis, lupa akan Jo Minjoon yang pernah masuk militer. Dia menunjukkan kekagumannya dengan restoran itu. Namun, suara yang terdengar setelah itu, dan mik yang tiba-tiba muncul menghancurkan kekagumannya.
“Ini Jessica Prada dari Daily Street. Kami menerima tuduhan yang mengatakan bahwa kau merundung teman sekolahmu dengan penuh kebencian, apa itu benar?”
< Beban di restoran (1) > Selesai