Dewa Memasak – Bagian 89: Beban di restoran (2)
Wajah Kaya membeku, matanya bergetar. Tidak ada seorang pun yang bisa mengatakan bagaimana perasaannya saat ini. Jantungnya, berdegup lebih cepat dari biasanya, serta dikuasai amarah dan ketakutan yang tidak seorang pun bisa tahu.
Dia sulit untuk bernafas. Kepalan tangannya bergetar, dan nafasnya yang kasar keluar dari celah bibirnya. Dibalik poninya, wajah culas Kaya terlihat. Jessica spontan mengangkat kameranya untuk merekam ekspresi Kaya. Martin dengan cepat menginterupsi dan menutupi lensa kamera Jessica. Jessica melihat Martin tanpa ekspresi.
“Oh, lama tak jumpa Martin?”
“…Kenapa kau di sini? Tidak, aku akan mengubah pertanyaannya. Bagaimana kau tahu lalu datang ke sini?”
“Hei, seorang reporter tidak boleh mengungkapkan sumber informasinya.”
“Aku tidak yakin. Terlepas dari itu, menurutku mengambil foto tanpa izin juga bukan cara yang benar.”
“Hei, kenapa kau bertingkah seperti ini? Di antara kita…”
Senyumnya menyilaukan seperti rambutnya yang pirang. Jika kau seorang pria, mau tak mau kau akan goyah oleh senyumannya, tapi Martin tidak. Dia tahu, banyak orang tertipu oleh senyuman itu. Omong-omong itu senyum palsu, sama seperti rambutnya yang diwarna pirang.
“Menurutku bertingkah seperti ini di antara kita tidak aneh. Pergilah untuk saat ini. Kami tidak meminta untuk wawancara, dan tidak berencana menerimanya. Atau haruskah aku mengirim komplain pada Daily Street?”
“Kenapa kau seperti itu? Jangan mengancamku. Memangnya para tikus di gudang akan keluar jika mereka sedikit ditakuti? Mereka hanya perlu sedikit kenyang.”
“Setelah kenyang mereka akan mempertimbangkan gudang sebagai rumahnya. Mereka akan beranak pinak dan membuat sarang tikus. Haruskah aku menyerahkan gudangku hanya untuk seekor tikus?”
Tatapan Martin dingin. Mata Jessica terbuka lebar lalu dia memutar bola matanya. lau mengangkat bahunya seolah-olah dia tidak bisa melakukan apa-apa tentang itu.
“Menurutku, akan susah mengharapkan perbuatan baik darimu. Baiklah, untuk sekarang, aku akan pergi. Tapi ingat, si tikus masih lapar. Meskipun pemilik rumah takut, pada akhirnya si tikus akan melubangi dinding dan memakan biji-bijian.”
“Kemudian, pemilik rumah akan memasang jebakan tikus.”
Martin menjawab dengans suara kesal. Jessica tersenyum ceria, tidak menjawab, lalu berbalik pergi. Tatapannya mampir pada Kaya sejenak, tapi segera beralih ke Jo Minjoon.
“Jo! Aku penggemarmu. Aku mendukungmu. Berusahalah sampai kau menang.”
“Cepat pergi. Tidakkah kau tahu, kau mengganggu pekerjaan kami!”
“Iya, aku paham. Aku akan pergi. Daaah. Oia, nona Lotus, maaf telah menodongmu dengan mik sebelumnya. Lain kali, aku akan bertanya dengan sikap yang sopan.”
Pada saat itu, Kaya hendak mengacungkan jari tengahnya sebagai jawaban. Jo Minjoon segera menahan tangan Kaya. Kaya melihat Jo Minjoon dengan matanya yang memerah. Tidak perlu kata-kata spesial. Jo Minjoon dan Kaya, keduanya bisa menebak apa yang orang lain akan katakan jika melihat jari tengah Kaya teracung.
“…Ayo pergi. Aku sudah tenang.”
Suara Kaya terdengar lebih santai. Memikirkan angin yang baru saja lewat, akan aneh jika merasa baik-baik saja. Jo Minjoon perlahan melepaskan tangannya dari kepalan tangan Kaya. Kaya menggigit bibirnya dan melotot menatap punggung Jessica yang pergi menjauh. Chloe menepuk pundak Kaya.
“Jangan pedulikan dia. Tidak hanya satu dua orang yang seperti itu.”
“Tidak.”
Meski setelah mengatakan itu, tatapan Kaya tetap sengit. Kaya menghela nafas dan mengusap-usap tangannya. Sepertinya sensasi saat Jo Minjoon memegangi tangannya masih terasa. Tangan yang kasar tapi lembut, juga aneh. Namun, dia tidak membencinya.
‘…Kenapa aku tidak membencinya?’
Bagaimanapun, Jo Minjoon tetap seorang pria. Meski dia hanya berusaha membantu, jikalau Kaya merasa tidak senang adalah hal yang normal. Namun, momen saat Jo Minjoon memegangi tangannya, terasa begitu dalam. Apakah itu karena Jo Minjoon bersikap seperti kakaknya. Ataukah…?
Tatapan Kaya tertuju pada Jo Minjoon. Banyak pikiran terlintas tentang Jo Minjoon dan hanya satu yang tertinggal. Kaya menatap Jo Minjoon dengan mantap.
‘Benar. Hal yang penting adalah apakah dia kembali atau tidak, karena dia akan kembali ke daerah yang kapanpun perang bisa terjadi…’
Memikirkan situasi itu, dia merasa masalahnya dengan Tess Gilly tidak seberapa. Jo Minjoon, yang merasakan tatapan Kaya, menoleh lalu berekspresi aneh.
“Ada apa? Kenapa kau menatapku dengan iba?”
“Jangan mengartikan tatapan orang lain semaumu. Ayo cepat pergi. Aku tidak bisa masuk karena kau.”
“…Lalu kenapa kau begitu terburu-buru?”
Jo Minjoon melangkahkan kaki memasuki restoran On the Lake. Di dalam aula restoran, para juri duduk di meja yang berbeda. Pada masing-masing meja, ada 2 kursi diseberang mereka duduk. Joseph, yang duduk di tengah, mengangkat tangannya dan berkata,
“Oh, kalian sudah datang. Duduklah agar lebih nyaman. Silahkan pilih dengan siapa kalian merasa lebih nyaman.”
Meski kata-katanya terucap dengan nada marah, Anderson tidak ragu bahkan sesaat pun, lalu duduk di depan Joseph. Jo Minjoon ragu sesaat. Pertama, dia tidak mau duduk di depan Emily, bukan karena dia tidak menyukainya, melainkan dia akan merasa terganggu. Di sisi lain, dia lebih nyaman bersama dengan Alan dan Joseph, dia bisa bergantung pada mereka.
Pada akhirnya, meja yang di pilih Jo Minjoon adalah meja Alan. Chloe yang melihat Jo Minjoon, ingin ikut di belakangnya, Tapi Kaya sudah selangkah lebih dulu. Dia duduk disebelah Jo Minjoon dan menyilangkan lengan. Saat Chloe masih ragu-ragu, Sasha sudah duduk di sebelah Anderson. Tentu, Chloe dan Ivanna harus memilih meja Emily. Masing-masing juri berkata dengan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka yang duduk bersama.
“Apa kalian tahu restoran apa ini?”
Jo Minjoon dan Kaya menggeleng. Tidak mungkin Jo Minjoon tahu restoran yang berada jauh dari tempat tinggalnya, apalagi Kaya, dia tidak mungkin tertarik dengan hal semacam restoran mewah ini. Alan lanjut berbicara dengan suara santai.
“On the Lake. Meskipun tidak meraih bintang Michelin, bukan karena hidangannya tidak lezat, melainkan para evaluator tidak datang ke sini. Restoran ini memiliki reputasi yang bagus. Periksalah sekelilingmu.”
Di dalam restoran itu tampak bersih dan semuanya putih, tidak seperti tempat yang suasananya sengaja dibuat remang-remang. Cahaya matahari masuk menembus jendela besar dan lampu yang tergantung di atap berkilauan sehingga membuat mata silau jika melihatnya.
Yang paling spektakuler adalah pemandangan yang terlihat di atas danau. Melihat pemandangan danau yang bersinar biru, akan membuat perasaan menjadi damai sama seperti saat sedang berlibur. Pada saat itu, banyak jenis ikan dan seafood disajikan di depan mereka. Mereka berpikir itu wajar karena restoran berada di danau. Tapi masalahnya adalah sesuatu yang berada di sebelah hidangan.
‘…Resep?’
Itu adalah benda yang dilihat Jo Minjoon dengan mata kepalanya sendiri bukan layar sistem. Selembar kertas yang bertuliskan resep di letakkan di sebelah hidangan. Saat dia melihat sekilas ke meja lain, situasinya sama. Hanya, isi dari hidangan yang berbeda. Di depan Joseph adalah pasta atau risotto, dan di depan Emily, itu jelas hidangan penutup meski dilihat sekilas pertama kali. Saat dia melihat itu, Jo Minjoon dapat menebak dengan samar tema misi kali ini. Joseph menaikkan suaranya.
“Hidangan di depan kalian adalah tema misi kali ini. Kalian harus memasak hidangan di depan kalian sebagai chef dari restoran ini untuk makan malam. Kalian punya waktu 4 jam dari sekarang… dan itu juga berarti, kalian harus mengingat resep dan menguasainya.”
“…Yang di sebelah kami adalah tim kami?”
“Iya, itu benar. Metode evaluasinya akan berdasarkan opini pelanggan. Jikalau kalian mendapat keluhan bahwa cita rasanya tidak seperti biasanya, peserta yang membuat hidangan itu akan mengganti rugi biayanya. Kalian tidak boleh membuat satu pelanggan pun kecewa, paham?”
Kata-kata Joseph membuat tertekan. Sembari Jo Minjoon tenggelam dalam pikirannya, Sasha mengangkat tangan. Joseph melihat Sasha.
“Katakan.”
“Apakah identitas orang yang memasak hidangan ini diungkapkan?”
“Tidak. Kau tidak perlu khawatir soal itu. Kami akan mengatakan bahwa peserta Grand Chef yang akan memasaknya, tetapi kami berencana merahasiakan identitas yang memasak hidangan itu.”
Sasha menghela nafas lega. Mungkin, jika pemilik hidangan diungkapkan, mana tahu akan menjadi pemilihan siapa yang lebih populer. Jika berubah menjadi seperti itu, seseorang yang beruntung adalah Kaya dan Jo Minjoon. Bagi peserta selain mereka berdua, pasti sangat khawatir soal itu.
Daging salmon matang dengan tepat. Jo Minjoon mengirisnya lalu memasukkannya ke mulutnya. Dia bisa merasakan aroma amis sedikit, tapi sepertinya itu disengaja, bukan karena chefnya tidak bisa menghilangkan itu. Aroma amis itu justru terasa lezat karena salmon digoreng dengan mentega.
Sama halnya dengan mousse ikan cod. Aroma khas ikan cod begitu kental. Karena teksturnya lembut, cita rasanya terasa lebih jelas. Aka tetapi hanya terasa itu saja. Mungkinkah karena restoran ini masih berkembang? Tidak ada hidangan yang luar biasa lezat.
‘Itu adalah bagian yang sulit.’
Mudah membuat hidangan yang lezat. Meskipun kau seorang amatir, jika mengikuti resepnya, kau bisa membuat makanan yang layak dimakan. Namun, jika kau tidak tertarik pada dunia masak-memasak, kau tidak akan memasak makanan yang bisa membuat orang lain terkesima.
Meski itu restoran yang diduga akan menerima bintang Michelin, tidak ada hal yang spesial. Sebenarnya, itu hanya restoran yang bagus, alih-alih restoran luar biasa berbintang satu.
“Dari yang aku lihat, aku dengar ada sebuah percekcokan. Apa kau baik-baik saja?”
Di tengah-tengah sesi makan, Alan melihat Kaya dan bertanya padanya. Mulut Kaya menegang lalu dia menjawab,
“Aku baik-baik saja.”
“…Kau memang tumbuh semakin dewasa. Jika kau masih seperti sebelumnya, kau pasti akan marah.”
“Apa aku monster yang hanya bisa marah?”
Kaya menjawab dengan suara jengkel seolah-olah dia harus makan kerang laut yang dicelukan ke dalam saus krim. Alan tertawa. Apakah dia sudah lupa bahwa dia pernah bertingkah seperti ayam ketakutan? Dia melihat Jo Minjoon kemudian berkata,
“Kau sungguh mengalami banyak penderitaan.”
Pada saat itu, saat Jo Minjoon tertawa dengan canggung, Kaya memikirkan tentang hal lain soal penderitaan yang Alan baru saja katakan, yaitu tentang Jo Minjoon yang akan kembali ke Korea. Memikirkan peluru dan bom yang akan meledak di Korea, dia bahkan tidak bisa merasakan cita rasa makanan dengan benar.
Pada akhirnya, Kaya mengeluarkan ponselnya lalu memeriksa di internet. Apa yang dia coba cari tahu adalah -syarat untuk mendaftar sebagai pengungsi-. Namun, tidak ada untuk orang Korea. Alan mengerutkan dahi melihat tingkah Kaya.
“Kaya, kau tidak mau makan?”
“…Oh, tunggu sebentar. Aku harus mencari tahu sesuatu yang darurat.”
Pada jawaban Kaya yang terang-terangan, Alan jadi sedikit marah, tapi sejujurnya sulit mengharapkan Kaya bersikap sopan di meja makan karena dia pun tidak pernah pergi ke restoran. Terutama, dia berkata bahwa itu darurat, jadi Alan merasa tidak yakin untuk mengatakan sesuatu pada Kaya.
Q : Bagaimana cara paling cepat bagi orang Korea berimigrasi ke Amerika Serikat?
Dia mengirimkan pertanyaan pada situs tanya jawab lalu mematikan layar ponselnya. Untuk sekarang…setidaknya dia berpikir demikian. Perang… Meski bagi Kaya, yang punya kehidupan sengsara, kata-kata perang tetap terasa berat dan menakutkan.
‘Aku pikir Minjoon hidup dengan nyaman.’
Mempertimbangkan fakta bahwa Jo Minjoon menjadi tentara, dia berpikir mungkin Jo Minjoon hidup lebih sengsara dari yang dia bayangkan. Saat dia membayangkan fakta itu, Jo Minjoon menoleh pada Kaya seakan-akan ada yang aneh.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?”
“…Aku tidak akan mengomel mulai sekarang.”
“Tidak. Kenapa kau tiba-tiba seperti ini? Apa aku melakukan kesalahan?”
“Apa seseorang mengatakan kau salah? Aku hanya…Oh, tunggu. Ada balasan datang.”
Kaya mengeluaran ponselnya yang bergetar dari sakunya. Dia mengedipkan matanya lalu mulai membaca komentar. Ada begitu banyak komentar hingga membuatnya gembira. Seperti semua orang yang tidak menerima pendidikan yang bagus, dia lemah dalam kata-kata.
“Imigrasi kerja… Imigrasi keluarga. Untuk imigrasi kerja, butuh beberapa tahun dan dengan kondisi tertentu.. Sepertinya imigrasi keluarrga bisa dilakukan cukup cepat.”
Namun, sejauh yang dia tahu, Jo Minjoon tidak punya keluarga dengan status warga negara AS. Saat dia hendak menghela nafas kecewa, perhatiannya tertuju pada komentar terakhir.
A : Jika kau tidak punya keluarga, menikah dengan seorang warga negara Amerika adalah cara yang paling cepat. Tentu hanya jika kau punya seseorang yang akan kau nikahi.
< Beban di restoran (2) > Selesai