Dewa Memasak – Bagian 9: Di 92nd Street, New York (5)
“Jeli?”
Jessie bertanya sekali lagi. Bukan karena Jessie tidak tahu apa itu jeli. Tapi karena itu ide yang tidak terpikirkan olehnya. Jessie tahu dengan pasti ayahnya suka jeli. Tapi Jessie tidak terpikir bahwa ayah mendirikan pabrik dengan alasan itu.
Dan lagi dia tidak pernah terpikir untuk membuat jeli dan memberikan pada ayahnya sebagai sebuah hadiah. Menurutnya itu sama halnya seperti membuat pizza dan memberikannya pada pemilik toko pizza. Bagimanapun, sekarang dia baru memikirkan bahwa situasinya berbeda dengan keadaannya sekarang. Pabrik jelinya sudah tidak ada dan jeli yang paling ayah sukai tidak berada di sampingnya lagi.
Jika dia membuat jeli untuk ayahnya, maka… Jessie mengangkat kepalanya dan melihat Jo Minjoon sembari memikirkannya. Mata biru Jessie dengan lipatan kelopak mata yang indah menatap Jo Minjoon. Melihat tatapan itu, Jo Minjoon merasa dirinya aneh. Seseorang yang baru Jo Minjoon temui, memintanya untuk membuat jeli untuk ayahnya. Itulah yang membuat Jo Minjoon merasa aneh.
Tetapi Jessie nampak mempercayai Jo Minjoon. Meski Jessie tidak tahu kenapa. Mungkin keanehannya membuat Jo Minjoon dapat dipercaya. Jessie membuka suara,
“…Tapi aku tidak tahu cara membuatnya.”
“Tidak apa-apa. Aku bisa.”
Padahal sebenarnya dia juga tidak tahu cara membuat jeli namun dia berkata bisa membuatnya dengan percaya diri. Namun Jo Minjoon berpikir yang terpenting adalah membuat jeli dulu sedangkan rasanya nomor dua. Fakta bahwa Jessie yang membuat jeli itulah yang nantinya berkesan.
Ketika memikirkan itu, Jo Minjoon menyadari sesuatu. Meski itu adalah hidangan yang sama namun bisa berbeda bergantung siapa yang memasaknya.
‘Alasan apa yang harus aku pertahankan sembari memasak jeli?’
Tiba-tiba pertanyaan itu muncul dalam kepalanya, tapi itu bukan saat yang tepat untuk berspekulasi. Jo Minjoon berkata dalam hati ‘Dapur rumah ini adalah milik Jane, tapi Jane harusnya merelakannya saat ini. Seandainya Jane tidak memahaminya dan mengkritiknya karena ini, maka hasilnya akan sangat berbeda. Apapun hasilnya, hal yang terpenting adalah memperbaiki hubungan orang tua dan anak. Pikirkan hal itu saja.’
“Untuk sekarang, bisakah kau mengambil beberapa buah? Jika kau tidak punya jus buah tidak masalah.”
“Sepertinya ada apel. Tapi mungkin belum masak.”
“Maka itu lebih baik. Ketika membuat jeli, buah yang belum masak akan menghasilkan jeli yang lebih enak.”
“Oh…”
Jessie mengangguk dan membawa beberapa apel. Dan dia juga membawa gula. Dia tidak punya gelatin namun itu bukan masalah. Jo Minjoon tahu apa yang bisa menggantikan gelatin.
“Apakah kau pernah membuat jeli saat kau masih kecil?”
“Iya pernah. Tapi daripada membuatnya aku lebih suka memakannya.”
“Tidak apa-apa. Jika kau membuat suatu makanan yang kau sukai maka hasilnya akan lebih enak.”
Jo Minjoon berkata demikian dan tersenyum dengan ceria. Jessie memandang Jo Minjoon sekilas dan bertanya,
“Apakah kau seorang chef?”
“Tidak, tapi aku berencana menjadi chef”
“Apakah kau yakin bisa membuatnya dengan baik?”
“Kenapa? Apa kau cemas rasanya nanti tidak lezat?”
Jessie tidak menjawab dan memilih diam saja. Jo Minjoon memberikan pisau pada Jessie sambil menatapnya. Melihat Jessie yang kebingungan, Jo Minjoon berkata,
“Belah apelnya menjadi 4 dan buang bijinya. Setelah itu belah lagi menajdi 4 bagian dan jangan dikupas.”
“Kenapa kulitnya?”
“Karena ada enzim pektin di kulitnya. Itu yang akan menggantikan gelatin.”
Di dalam kulit apel dan bagian bawahnya terkandung pektin, bahan yang paling penting untuk membuat jeli.
“Kau bisa melakukannya?”
“…Ini mudah sekali.”
Jessie mengatakan itu seolah-olah dia tidak ingin diremehkan oleh Jo Minjoon. Jessie mengambil pisau itu. Namun cara dia memegang pisau masih kurang mantap. Ketika memegang apel dengan tangannya dan tangan yang lain memegang pisau, dia mencoba memotong apel tapi pisau itu tertahan saat sampai di tengah. Namun Jessie tidak mencoba untuk menekan punggung pisau dengan tangan yang lain. Jo Minjoon berkata,
“Cobalah untuk menekan punggung pisau dengan tanganmu.”
“Baiklah. Seperti ini?”
Setelah Jessie selesai memotong apel, Jo Minjoon tidak mau melanjutkan. Setelah ini jika Jo Minjoon yang membuatnya maka tidak akan berkesan. Jessie harus membuatnya sendiri. Untuk ayahnya dan karena dirinya sendiri.
“Sekarang masukkan apel ke dalam panci dan tuangkan air ke dalamnya hingga semua apel terendam. Dan nyalakan api ukuran kecil.”
“Apakah kau benar-benar ingin aku melakukan ini semua?”
“Apakah kau ingin aku membantumu?”
“…Tidak perlu. Aku akan melakukannya. Aku bisa.”
Jessie menuangkan air perlahan. Sebenarnya, ini adalah bagian dimana banyak pemula membuat kesalahan. Jo Minjoon juga melakukan kesalahan. Setelah menuangkan banyak air, tahap selanjutnya adalah merebusnya hingga semua air menguap. Namun, jika terlalu banyak air, maka buahnya akan rusak.
Jadi seberapa banyak air yang dituangkan akan mempengaruhi jeli yang dihasilkan sukses ataukah gagal. Jo Minjoon hanya melihat ke dalam panci itu, yang sudah mulai mendidih.
“Sekarang apa yang harus dilakukan?”
“Setelah menunggu sedikit lebih lama, saat apelnya sudah mulai lunak, mulailah untuk melumatkannya. Tapi siapkan dahulu peralatannya. Bisakah kau bawakan kain saring dan mangkok?”
“Oke.”
Jessie, seolah menyerah kemudian melakukan perintah Jo Minjoon. Setelah meletakkan kain saring dan mangkok di sebelah meja, Jessie dan Jo Minjoon terdiam sambil memandangi panci di atas kompor. Jo Minjoon membuka obrolan.
“Kau siswa SMA?”
“Bukan. Aku masuk SMA tahun depan. Dan kau?”
“Panggil saja aku Minjoon. Aku mahasiswa. Ngomong-ngomong, kita belum memperkenalkan diri dengan benar”
“…Jessie Dean. Kau berasal dari mana? Jepang?”
“Menurutmu dari mana asalku?”
“Hmm… China? kalau bukan pasti Korea? karena Orang-orang Jepang tidak berpikiran setenang dirimu.”
Jo Minjoon mengangguk sambil membayangkan anak-anak dari Jepang. Jo Minjoon berkata,
“Aku orang Korea. dan aku sedang bepergian.”
“Aku tidak tahu kenapa orang-orang sangat suka dengan New York. Ini adalah kota yang tidak punya banyak tempat indah untuk dikunjungi.”
“Ini seperti kau tidak tahu nilai dari sesuatu yang berada di dekatmu.”
Yang Jo Minjoon katakan, bukan lah New York. Jessie memahami maksud perkataan Jo Minjoon. Dia membalas dengan nada tenang.
“Aku ingin kau tahu bahwa aku belum memaafkan ayah.”
“Itu tidak perlu. Tapi bisa kah kau mencoba memahami? Semua mimpi yang dia kejar hancur dalam sekejap. Pada situasi itu, tidak semua ayah bisa menjadi superman.”
Jessie mengangguk mendengar perkataan Jo Minjoon dan terdiam. Setelah beberapa saat, dia membuka suara.
“Tapi, semua anak perempuan berharap ayahnya menjadi superman.”
Dia benar. Jo Minjoon mengangkat sendok yang ada di sebelahnya dan menutupkan ke mata Jessie. Sambil sendok tersebut dimainkan dan diputar-putar, dia berkata
“Bahkan superman punya waktu untuk bersembunyi. Jika kamu melihat spiderman kau akan paham.”
Jessie tertawa dan menatap lantai dengan pandangan sedih. Jo Minjoon berkata,
“Sudah cukup obrolan tentang superman, sekarang aduk apel perlahan-lahan. Apelnya pasti sudah lunak. Agar menjadi bubur, tekan-tekan lah dengan sendok.”
“Oke.”
Dibandingkan saat pertama bertemu, suara Jessie sekarang lebih lembut. Setelah membuka tutup panci, Jessie mulai mengaduk. Bunyi letupan terdengar dan aroma manis tercium, sebuah aroma segar yang unik yang mirip dengan selai.
Ketika bubur hampir matang, Jo Minjoon melapisi mangkuk dengan kain saring yang sudah dibasahi. dan berkata,
“Tuangkan itu ke atas kain perlahan-lahan.”
Jessie mengangkat panci. Dari dalam panci mengalir bubur dan sari apel. Bubur dan sari apel terkumpul di atas kain saring. Kemudian. Jessie meraih kain saring mencoba memerasnya. Jo Minjoon segera berteriak,
“Jangan!”
“lhoh kenapa?”
“Jika kau melakukan itu maka bubur apel akan menyumbat pori-pori kain sehingga hasil saringan kekurangan oksigen. Biarkan saja tersaring perlahan seperti ini.”
“…mmm. Ini akan lama.”
“Kau harus sabar dalam membuat jeli.”
Pada akhirnya Jessie menghela nafas dan menunggu bubur apel selesai tersaring semua. Setelah itu, tahapan selanjutnya mudah, yaitu sari apel ditaburi gula dengan perbandingan 4:3, lalu diaduk sambil dipanaskan. Kau harus memanaskannya hingga kira-kira terbentuk jeli dan licin saat disendok.
Kemudian dinginkan, setelah dingin, baru masukkan kedalam cetakan. Setelah selesai, jam menunjukkan pukul 01:00 dini hari. Jessie meregangkan tubuh, matanya sudah sayu. Jo Minjoon tersenyum dan berkata,
“Bagaimana rasanya memasak untuk orang lain?”
“Aku tidak tahu. Rasanya seolah-olah aku sukses meraih sesuatu. Dan herannya ini mengobati stress.”
“Selamat. kau sudah melewati tahap pertama.”
“Tahap apa?”
“Memahami ayah? atau belajar memasak?
Dia penasaran namun tidak bisa bertanya. Jika dia menanyakan itu maka dia kan diperlakukan seperti anak kecil yang tidak paham makna tersirat. Dan bagaimanapun juga Jessie tidak ingin diperlakukan seperti anak-anak.
Pagi hari sangat cerah. Cahaya matahari masuk melewati celah pagar besi dan melelehkan tumpukan salju di atas tanah. Lucas membuka matanya perlahan. Hal pertama yang dia lihat adalah tengkuk istrinya. Dia merasakan kehangatan dengan pemandangan itu. Namun, pada saat yang sama, dia teringat wajah Jessie yang marah terhadapnya, senyuman Lucas seketika sirna.
Dia tidak bisa berbuat apa-apa hanya menghela nafas. Dia tidak tahu bagaimana cara meredakan amarah putrinya. Dia tidak menemukan ide apapun. Lucas keluar kamar dengan lesu.
Dia ingin mengembalikan energinya dengan minum segelas air, tapi dia melihat sesuatu yang aneh ketika dia membuka lemari pendingin. Di sebelah botol air minum ada sebuah mangkok besar. Sesuatu di dalam mangkok besar itu adalah jeli. Sebuah jeli buatan tangan.
“Ini jeli Apel.”
“Jessie…!”
Jessie menatap Lucas dengan matanya yang bengkak. Mungkinkah putrinya yang membuat jeli ini? Lucas bingung memikirkan itu, kemudian Jessie berterus terang.
“Cobalah! Itu sangat sulit dibuat hingga dini hari.”
“Ba…Baiklah.”
Lucas memakan beberapa jelly dan setelah menelannya, matanya sedikit … Sedikit ada yang kurang, tapi untuk buatan sendiri ini sangat enak. Dan kualitas bukanlah yang pertama, bahkan itu tidak penting. Dia bahkan tidak bisa merasakan rasa jeli ini dengan baik.
“Enak! Ini enak.”
“…Baguslah.”
Saat itu Jessie merasa ingin dipeluk ayahnya. Lucas memeluk Jessie. Jessie bahkan tidak mundur atau mendorong Lucas. Lucas menahan air matanya dan berkata, namun tidak ada satu katapun yang keluar. Lucas menangis. Jessie juga menangis, dia mengusap matanya dan berpura-pura baik-baik saja.
Jo Minjoon melihat pemandangan itu, kemudian berbalik arah. Dia membiarkan momen tersebut untuk mereka berdua. Namun saat dia berbalik, dia melihat Jane dan air matanya berlinang. Jo Minjoon berkata dengan canggung,
“Aku minta maaf. Aku menggunakan dapurmu tanpa seijinmu.”
“….Tidak apa-apa. Terima kasih telah membantu anakku membuat hidangan yang paling enak di dapur.”
Jo Minjoon berbalik dan tersenyum mendengar perkataan Jane. Di matanya muncul skor memasak untuk pembuatan jeli. Namun Jo Minjoon tidak melihat skor itu. Dia tidak memerlukannya. Karena jeli itu tidak patut dinilai dengan poin. Jo Minjoon membalas,
“Itu salah satu hidangan terbaik yang pernah aku lihat.”
Di 92nd Street, New York (3) > Selesai