Dewa Memasak – Bagian 90: Beban di restoran (3)
Wajah Kaya membeku karena bingung. Menikah? Itu adalah kata-kata yang tak pernah terbayangkan. Jo Minjoon melirik Kaya. Kaya terkejut lalu spontan bertanya,
“Apa, apa? Kenapa?”
“Kenapa kau begitu terkejut? Aku hanya melihatmu.”
“Tatapanmu mesum.”
“Aku tidak berikir bahwa tatapanku mesum.”
Jo Minjoon mengerutkan dahi dan hanya memutar bola matanya. Dia tidak punya kelopak mata dan kelopak mata bagian atasnya bahkan tidak cekung ke dalam. Dia seperti orang kulit putih yang tidak bisa menduga tatapan mendalam darinya. Kaya batuk-batuk.
“Diamlah. Makan saja. Kau harus memahami cita rasanya.”
“Tapi kau, satu-satunya yang tidak makan sampai detik ini dan melakukan hal lain.”
“Karena siapa aku … Lupakan.”
Kaya marah dan menatap Jo Minjoon dengan tajam, lalu menggertakkan giginya dan mengunyah makanan dengan sekuat tenaga sampai-sampai kau bertanya-tanya apakah dia bisa merasakan cita rasa dengan benar.
Jo Minjoon perlahan melihat ke seluruh hidangan. Hidangan-hidangan itu kebanyakan berskor 7 atau 8 poin. Di banding reputasi restoran, itu skor yang rendah, tapi juga lumayan. Keahlian chef kepala pasti lebih baik dari yang lain, tapi peran chef kepala lebih pada mengatur hidangan alih-alih memasak hidangan-hidangan ini.
Tentu, jika kau hanya berlatih menu yang sama, kualitas masakanmu akan berkembang. Tapi sejujurnya ini kurang sesuatu. Tidak sia-sia kenapa harus chef kepala sendiri yang memasak makanan untuk pelanggan VVIP. Menunjukkan diskriminasi pelanggan seperti, tentu juga bisa menjadi masalah.
Itulah mengapa mereka begitu terkesan saat mereka datang ke Rose Island terakhir kali. Tidak hanya manajemen resep oleh chef kepala, tetapi juga bakat para chef dengan bagiannya masing-masing cukup signifikan. Mereka harus mempertimbangkan banyak hal, tapi tetap saja itu mengesankan.
Di banding Rose Island, dia bisa melihat beberapa poin kekurangan, tapi bukan berarti restoran On The Lake berkualitas rendah. Restoran itu penuh dengan pelanggan, jadi membuat hidangan 9 poin secara konstan bukan hal yang mudah. Bukankah restoran berbintang dua yang dia kunjungi saat di New York hanya punya 2 hidangan dengan skor 9 poin?
“Apakah ini cocok dengan seleramu?”
“Iya, tidak masalah. Berapa harganya di sini?”
“Aku tidak yakin jika disajikan a la carte, tapi jika kau memilih menu yang paling mahal, harganya $60.”
“Menurutku, ini cukup pantas dengan harga itu, tapi bukan berati tidak ada kekurangan dalam hidangan ini.”
Alan tidak secara khusus menanyakan tentang skor. Melihat reaksi Jo Minjoon, dia tampaknya kurang terkesan. Jika dia tidak berbicara baik tentang hidangan tersebut, lebih baik jangan tanyakan skornya dahulu. Itu tidak akan bisa membuatnya senang, terlebih jika dia akan segera bekerja di dapur restoran.
Sesi makan berakhir, Kaya dan Jo Minjoon sedang membaca resep sembari berdiri di dapur. Jo Minjoon bertanya dengan suara santai.
“Apa kau mengingat semuanya?”
“…Aku lemah dalam mengingat.”
“Jangan memikirkan kata-kata di dalamnya, tapi ingatlah metode memasaknya. Atau haruskah kita melakukannya seperti ini? Kau bagian memanggang, dan aku akan mengerjakan semuanya selain memanggang. Jika kita membagi tugas seperti itu, kita akan bisa bekerja dengan cukup efektif.”
“Tapi apakah restoran membagi tugas seperti itu?”
“Entahlah. Mereka seharusnya punya gaya kerja masing-masing.”
Jo Minjoon berkata dengan suara santai. Kaya melihat sikap Jo Minjoon dengan tatapan tajam lalu ia mulai membaca resep seolah-olah daya saing dalam diriya mulai bergelora.
Yang menjadi tanggung jawab mereka adalah ikan-ikan yang dimasak untuk hidangan utama. Tidak ada yang lain selain ikan, karena restoran On The Lake berada di sebelah danau Michigan dan memiliki citra sebagai restoran spesial hidangan seafood. Tapi mereka tidak hanya menggunakan ikan yang di tangkap dari danau.
‘Itu hanya konsep restoran.’
Seafood yang dijual di restoran di sebelah danau. Jika kau pelanggan restoran, tempat itu merupakan kombinasi tempat makan dengan nuansa romantis.
“Bagaimana makanannya?” Jo Minjoon sambil melihat Kaya
“Bagaimana apanya? Makanannya?” sahut Kaya.
“Itu juga… Kau bilang sebelumnya bahwa kau tidak pernah pergi ke restoran seumur hidupmu. Tempat ini cukup bagus. Apa kau menyukai ini sebagai pengalaman yang bagus?”
“…Oh, benar. Ini pertama kalinya.”
Kaya mengernyit. Jika dipikir-pikir, ini memang pengalamannya yang pertama mengunjungi restoran. Aka tetapi, memikirkan ini akan menjadi misi, dia tidak bisa menikmatinya dengan benar. Dia merasa tertekan.
“Hari ini tidak termasuk.” Kata Kaya malu-malu.
“Kenapa? Kau tidak menyukainya?”
“Tidak mungkin aku akan menyukainya, Tempat ini penuh kamera, jadi aku tidak bisa makan dengan membungkukkan punggungku.”
“Bukankah itu normal makan tanpa membungkukkan punggungmu?”
“Aku tidak makan sambil menghirup udara bebas. Menundukkan kepala melihat makanan itulah yang normal. Menggerakkan garpu saja tidak nyaman, jadi bagaimana bisa menikmati makanan?”
“Lalu kenapa kau tidak membungkuk saja?”
“Jika aku seperti itu, orang brengsek di luar sana akan mengejekku lagi. Lihatlah Kaya tidak bisa belajar bagaimana makan dengan sopan. Meskipun itu benar, aku tetap tidak menyukainya.”
Kaya memajukan bibirnya dan merasa kesal. Jo Minjoon melihat bibir Kaya yang seperti paruh bebek, matanya tampak seperti sedang memikirkan hal lain.
“Jika aku punya restoran, aku akan membuat kau makan apapun yang kau inginkan.”kata Jo Minjoon dengan suara lembut.
“…Lalu kapan kau akan menepatinya?”
“Entahlah. Mungkin aku akan terlambat, aku pasti bisa menepatinya dalam 20 tahun ke depan.”
Usia normal saat chef punya restoran sendiri adalah sekitar 30 tahun, itu jika karirnya cepat. Tentu, ada beberapa kasus para chef jenius memiliki restoran sendiri dan sudah mendapat bintang Michelin saat usia 20-an. Keahlian adalah yang utama, tetapi kau juga perlu popularitas dan modal. Itu adalah kasus yang jarang terjadi, yang bisa dihitung dengan jari.
“Kalau dipikir-pikir, aku seharusnya bisa segera bertanggung jawab dengan satu hal. Pemenang Grand Chef sesi pertama, orang bilang dia menjadi chef kepala di sebuah restoran, meskipun bukan dia pemiliknya… Bagi seseorang yang datang dari pasar untuk menjadi seseorang yang luar biasa seperti itu, kau sudah mengatakan semuanya… Jika aku menang, aku bisa melakukan itu untukmu dengancukup cepat.”
“…Lagi pula, kemenangan adalah milikku, yaa kan? Jangan membicarakan hal lain, ayo kita diskusi tentang restoran. Jika kau bisa membuka restoran, di mana kau akan membukanya? Bukan di Korea, kan?”
“Aku tidak tahu. Dengan mempertimbangkan pengetahuanku dengan bahan-bahan dan budaya makan di Korea, maka yag terbaik adalah membuka restoran di Korea…”
“Kau punya penggemar lebih banyak di AS. Bagaimana kalau membuka satu di sini?” kata Kaya dengan suara cukup lembut.
Sejujurnya, imigrasi pernikahan itu omong kosong, jadi Kaya bertanya-tanya apakah Jo Minjoon ingin bermigrasi ke AS jika dia ingin bekerja sebagai chef di sini. Kaya tidak suka jika Jo Minjoon pergi ke tempat yang bisa terjadi perang kapan pun.
Namun, sepertinya Jo Minjoon tidak memahami Kaya. Jo Minjoon menatap Kaya dengan aneh.
“Tapi kenapa kau tiba-tiba membicarakan ini?”
“Tidak ada apa-apa.”
Kaya memalingkan muka. Itu agak mencurigakan, tapi dia tidak bisa terus bertanya karena dia akan terganggu. Peserta lain di dapur sudah bersiap memasak.
“Sekarang, ayo kita berlatih.”
“…Oke.”
Kaya pun tahu, sekarang bukan waktunya mencemaskan hal itu karena dia mau membersihkan dan menyisik ikan, Seorang remaja yang memakai seragam memasak datang lalu memberikan keranjang. Di dalam keranjang terdapat bahan-bahan, salah satunya ikan. Remaja kulit putih itu tersenyum.
“Aku sudah menyisiknya dan aku sudah menuangkah minyak zaitun dan saus. Jika kau berencana memasukkannya ke dalam puree secara terpisah, kau tinggal memanggangnya.”
“Oh, terima kasih. Apa kau chef di sini?”
“Aku malu disebut chef. Aku masih magang, aku selalu menonton kalian berdua dalam siaran. Oh, namaku Eddy Reedus.”
“Oh, aku Minjoon. Ini…”
Jo Minjoon menoleh pada Kaya, tapi Kaya hanya memandangi remaja itu tanpa berkata apa-apa. Jo Minjoon menepuk badan Kaya.
“…Perkenalan diri ini benar-benar klise. Kaya Lotus. Kau pasti sudah tahu namaku.” Kata Kaya dengan ekspresi tidak ramah.
“Ahahaha, temperamenmu sama dengan yang aku lihat di TV. Aku suka kesungguhan kalian!”
“Jika kau sungguh menyukainya, aku akan mengatakan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Kau menggangguku, jadi menjauhlah. Aku tidak punya waktu untuk bergosip.”
Eddy mengangkat tangannya, lalu segera mundur menjauh. Jo Minjoon mengerutkan dahi melihat Kaya.
“Aku sudah bilang perbaiki sikapmu.”
“Jika aku memperbaiki karakterku, apa itu masih disebut karakter? konsep itu namanya.”
“…Aku juga paham itu, tapi kenapa kau bertingkah begitu ketus pada seseorang yang datang dengan niat baik?”
“Dia menggangguku. Dia bahkan bukan pelanggan atau pun atasanku, apa aku perlu ramah padanya?”
“Memangnya ramah tidak diperlukan agar terbangun hubungan saling memahami?”
“Hubungan saling memahami atau apa pun itu, berhentilah menggunakan kata-kata sulit. Ayo kita memasak ikan sekarang. Kau juga harus memahami api di sini.” bantah Kaya sembari meletakkan wajan penggorengan di atas kompor.
“Bagaimana kita membagi tugas? Jika kita bertanggung jawab atas satu hidangan itu kurang efektif. akankah lebih baik kita berbagi tugas satu memanggang dan yang lain menangani ikan dan plating?” tanya Jo Minjoon sambil mengambil keranjang.
“Menangani ikan sudah dilakukan anak itu. Si Ed- itu?”
“Eddy. Meski begitu, jika kita membuat sesuatu seperti mousse, kita harus memisahkan dagingnya sendiri.”
“…Baiklah, ayo kita lakukan seperti itu. Aku akan bertanggung jawab dengan apa pun yang berhubungan dengan api. Sisanya kau yang mengerjakan. Apa kau yakin, tanganmu bisa menangani semuanya?”
Jo Minjoon tersenyum dengan percaya diri. Sebenarnya, tangannya tidak selamban itu, karena akhir-akhir ini, memasak telah menjadi bagian dari hidupnya. Dibanding sebelumnya, gerakan tangannya semakin cepat. Masalah yang tersisa adalah stamina. Namun, setelah dia mengalami misi truk makanan dan misi prasmanan, dia percaya diri bisa kuat menanganinya.
“Minjoon, Jika kau senggang, periksalah lampu yang menyorot penggorengan di sana.”
“Baiklah. Ada yang lain?”
“Tidak. Untuk sekarang, aku akan memanggang ikan. Potonglah sayurannya.”
“Baiklah.”
Ini perasaan yang aneh. Ini pertama kali mereka bekerja sama lagi setelah misi eliminasi Kaya. Lebih tepatnya, sudah lama sejak mereka bekerja sama dalam misi. Jo Minjoon teringat waktu itu dan dia tidak menyangka bisa bertahan.
Di sisi lain, Kaya yang sedang berkonsentrasi memasak, juga sedang memikirkan tentang bagaimana mengatakan pada Jo Minjoon tentang topik yang mengganggunya. Tidak. Lebih tepatnya, alih-alih mengatakan pada Jo Minjoon, dia bertanya-tanya bagaimana meyakinkan Jo Minjoon.
‘…Pikirkan hal itu nanti saja, Kaya. Sekarang, berkonsentrasilah memasak.’
Saat dia menuang wine putih ke atas steak salmon yang mulai matang, yang warnanya mulai bersemu merah muda, apinya naik dan membuat udara di sekitarnya panas. Dia memanggang seperti biasanya, tapi setiap kali api menyambar ke atas, dia merasa sedikit takut dengan panas di dekat tangannya. Sebelumnya, ada saat tertentu dia harus membalik wajan. Sekarang, dia semakin terbiasa…
“Dinginkan ini untukku. Aku akan membuat garnish untuk melengkapinya.”
“…Aku tidak punya sesuatu untuk dilakukan.”
“Setelah kau melakukan itu, aku akan menggoreng ikan sea bass, kenapa kau tidak menambahkan tepung kentang di atasnya?”
“Baiklah. Paham. Ini, sayurannya.”
Setalah Kaya membumbui sayuran dengan minyak zaitun dan garam, lalu dia memangganggnya. Setelah itu, saatnya mencoba hidangan. Jo Minjoon memasukkan stik salmon ke mulutnya lalu mengangguk-angguk. 7 poin. Meskipun ini dibuat tanpa saus spesial dan hanya dibumbui dengan garam dan aroma wine putih, cita rasanya tetap enak. Dia berpikir bahwa cita rasa sederhana ini, bisa mendapat reaksi yang baik dari pelanggan.
Kaya melihat bibir Jo Minjoon dengan cemas. Pada akhirnya, dia tidak tahan lagi lalu mengatakannya lebih dulu
“Apa ini enak?”
“Makanlah. Kau juga bakal tahu kalau rasanya enak.”
“Jika aku makan sesuatu yang aku buat sendiri, lidahku menjadi tumpul.”
“Ada juga yang seperti itu. Tapi ini enak. Pelanggan akan menyukainya jika seenak ini.”
Masalahnya adalah mereka harus mempertahankan kualitas ini. Kaya menghela nafas sambil membawa wajan penggorengan menuju ke bak cuci. Dia berencana membilasnya, tapi Kaya mengernyit sejenak.
“Kenapa ini tidak keluar?”
Ngik Ngik. Setelah memutar keran berulang kali, air tidak kunjung keluar. Setelah beberapa saat kerannya tersumbat, kemudian air keluar seperti air terjun. Air mengenai wajan lalu memantul menyembur ke atas. Saat Kaya masih membeku karena terkejut, mata Minjoon mengikuti gerakan air. Jo Minjoon melihat air akan jatuh ke dalam minyak panas.
“Merunduk!” teriak Jo Minjoon.
Badannya lebih cepat dari teriakannya. Jo Minjoon dengan cepat berlari dan melompat ke atas badan Kaya. Blaarrr! Suara ledakan yang terdengar seperti tembakan senjata bergaung terus tanpa henti. Meskipun akhirnya ledakan berhenti, akan tetapi minyak dan air telah terciprat kemana-mana. Tatapan Kaya kosong, dia syok. Kemudian dia terkejut, dan mendorong badan Jo Minjoon.
“Kau… Kau baik-baik saja?”
Dia begitu terkejut hingga suaranya bergetar. Jo Minjoon tidak menjawab dan justru mengubah ekspresinya. Tatapan Kaya tertuju pada leher Jo Minjoon sebelah kanan. Kulitnya memerah karena terkena cipratan minyak. Kaya mengulurkan tangannya dengan wajah ingin menangis, lalu dia mengusap sisa minyak yang masih menempel. Setiap kali dia menyentuh minyak, dia merasakan panas di tangannya, tapi dia mengabaikannya.
“Minjoon, Minjoon! Dokter! Apa yang kau lakukan!” teriak Kaya ketakutan.
< Beban di restoran (3) > Selesai