Dewa Memasak – Bagian 92: Beban di restoran (5)
“…Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Kaya dan membuat Jo Minjoon tersadar kembali.
Ekspresi Jo Minjoon terlihat tidak biasa. Kenapa dengan ekspresinya? Jo Minjoon tahu bahwa Kaya jenius dan betapa banyak dia telah berkembang, tapi momen saat levelnya naik, sudut hati Jo Minjoon terasa sakit.
‘…Apa aku iri?’
Meski benar, itu wajar karena Jo Minjoon juga manusia. Walaupun mereka dekat, melihat Kaya berkembang jauh ke depan, Jo Minjoon merasa sedih. Dia merasa iri seperti anak kecil, dia iri pada perkembangan seseorang yang dia kagumi.
Hidangan 9 poin tidak muncul hanya sekali. Meski tidak semua hidangan berskor 9 secara terus menerus, jumlah hidangan yang berskor 9 semakin bertambah banyak. Bisakah dia memanjat dinding? Pada pengalaman Jo Minjoon, level tidak naik saat kau mengumpulkan pengalaman. Saat kau mempunyai cukup keahlian, keahlian tersebut akan ditunjukkan dalam level. Barangkali, Kaya berada dalam lingkaran level 7 dan 8, dan hanya menunggu saat yang tepat untuk melampaui itu.
Jo Minjoon berhenti memikirkan itu. Dia tidak boleh memasukkan perasaan iri dan kesal ke dalam hidangan yang akan disajikan pada pelanggan. Tatapan Jo Minjoon fokus pada hidangan.
Lukanya terasa sakit.
–
“… Hah?”
Alan menatap curiga. Suasana di antara orang-orang di dalam aula mulai tenang. Itu sulit terjadi. Orang-orang yang datang ke restaurant bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok orang yang memang hanya menikmati waktu mereka dan kelompok orang yang ingin mengevaluasi hidangan.
Rasionya bervariasi bergantung pada restorannya. Jika di restoran terkenal, kelompok pertama lebih banyak. Tapi untuk restoran seperti On the Lake yang baru saja buka, kelompok kedua yang lebih banyak dan itu tak bisa dihindari. Terlebih saat diumumkan bahwa para peserta Grand Chef yang akan memasak menu restoran, alih-alih chef yang biasanya. Ada beberapa yang berekspektasi, tapi keraguan mereka sama besarnya dengan ekspektasi mereka.
Orang-orang sepertinya berpikir demikian saat mereka tengah makan. ‘Ayo kita lihat seberapa baik kau bisa memasak.’ Kata-kata itu tertuang jelas pada sikap mereka. pada saat mengiris daging, mengunyah, dan di dalam mata mereka. Sikap mereka seperti itu bahkan sebelum mereka makan. Jadi, rasa puas setelah mereka kurang dari biasanya, apa boleh buat. Perasaan yang didapatkan akan sangat berbeda saat makan sesuatu dengan berekspektasi tertentu. Meski itu hidangan yang sama, skornya bisa berbeda.
Oleh karena itu, sementara mereka makan, tidak ada reaksi khusus yang terlihat. Mereka baik-baik saja. Namun, pada suatu waktu, perasaan itu menghilang. Penyebabnya hanya satu, entah mereka memakan hidangan Kaya dan Jo Minjoon atau bukan.
Bukan seperti itu yang terjadi dari awal. Perubahan terjadi hanya setelah 10 meja sudah kosong. Namun, dampaknya setelah itu sangat jelas. Senyum mereka menjadi lebih lebar dan suara tawa terdengar semakin keras. Sesekali, terdengar seruan dari mereka.
‘Kita akan tahu bagaimana hasil evaluasinya.’
“Hmmm, apakah lebih baik jika kita makan juga?” kata Emily pada Alan sambil menelan ludah melihat reaksi pelanggan.
Alan sedikit tertawa. Saat Emily makan, dia berubah menjadi gadis periang. Para juri duduk di kursi. Emily membalik menu lalu berkata,
“Apa kita akan memesan hidangan yang sama?”
“Terserah apapun itu?”
Lebih baik memesan banyak makanan lalu berbagi.”
“…Aku menghargai pengecapanmu, tapi aku tidak suka berbagi makanan dengan orang lain. Itu jorok dan aku tidak bisa fokus dengan cita rasanya.”
“Kau menyebalkan. Joseph, bagaimana denganmu?”
“Maaf, tapi aku sependapat dengan Alan.”
“Wuaah, ternyata hanya aku yang tidak sopan.” kata Emily sambil memajukan bibirnya karena kecewa.
Alan melihat Emily dengan ragu. Alan menghela nafas.
“Sebelum aku memasukkan makanan ke mulutku, aku akan memberimu sebagian. Hanya itu yang bisa aku lakukan.” kata Alan.
“Benarkah?”
“Aku bukan tipe orang yang berbohong pada hal seperti ini.”
Emily gembira mendengar kata-kata Alan yang sangat blak-blakan Alan berdehem lalu melihat ke arah lain.
Hidangannya cukup baik. Sup safron kerang laut buatan Chloe dan Ivanna serta mousse ikan cod tidak begitu berbeda dibanding yang dibuat chef sebelumnya. Tentu, kalau mereka mengikuti resep dan mengerjakannya seperti chef asli, maka tidak akan ada banyak perbedaan. Akan tetapi bisa mengikuti resep, juga merupakan hal yang menakjubkan.
Tentu, yang menjadi sorotan adalah hidangan utama. Melihat pesanan dan kualitasnya, Alan berseru setelah memasukkan sea bass goreng ke dalam mulutnya tanpa ragu. Itu salah satu hidangan terlezat yang dia makan di Grand Chef, yang hanya bisa dihitung dengan jari. Hidangan itu begitu lezat hingga bisa dikatakan itu adalah hidangan buatan Kaya yang paling lezat hingga saat ini. Cita rasa yang begitu sedap, stimulasi, kelembutan, dan…
“…Ini yang terbaik hingga saat ini, kan?”
Bagi seorang epicurean, itu ekspresi yang cukup lemah, tapi Alan tidak secara khusus menunjukkannya. Terbaik. Itu hanya hidangan yang cukup diekspresikan seperti itu. Sea bass Alan dan stik salmon Emily…
“Para pelanggan akan sangat bahagia memakannya.”
Poin yang menakjubkan adalah bahwa mereka tidak hanya menyajikan kualitas ini dalam satu hidangan. Mereka tidak menyajikan hidangan yang lebih baik hanya karena mereka juri. Yang paling utama, mereka tidak bisa tahu siapa yang memesannya. Jika semua pelanggan yang memakan hidangan ini, seandainya tidak punya indera pengecap yang handal, mereka pasti puas.
“Jika seenak ini, aku bahkan bisa mempercayakan bagian utama…tidak, bahkan tidak masalah jika aku mempercayainya sebagai sous chef. Haha……. Hari di mana level peserta meningkat sangat banyak. Aku tidak tahu apakah kita akan bisa puas dengan sesi berikutnya.” Kata Joseph sambil tersenyum.
“Maka harus ada lebih banyak juri yang galak.” jawab Alan sambil menyeringai.
Sesi makan pelanggan berakhir. Alan yang melihat catatan hasil, mengangguk seolah-olah dia sudah paham. Jika cita rasa hidangan yang dia dan pelanggan makan tidak berbeda, hasilnya sudah sangat jelas.
Dari hasil penilaian itu, hampir tidak ada keluhan untuk Kaya dan Jo Minjoon. Hidangan mereka mempunyai cita rasa melampaui hidangan asliya dan mendapat komentar yang bagus, sekaligus tidak banyak mendapat catatan. Catatan datang kebanyakan dari pelanggan saat Kaya belum terbiasa pada awal-awal.
Di antara dapur dan aula, lobi yang berbentuk bar, para juri memanggil semua peserta. Kebanyakan dari mereka tampak gugup, bahkan Kaya, yang telah menunjukkan perkembangannya, juga gugup. Dia tidak tahu bahwa masakannya telah berkembang selangkah lebih baik karena dia bahkan tidak bisa mencicipi rasanya. Hanya saja, dia merasa hidangannya lebih baik dari biasanya.
“Bagaimana perasaan kalian hari ini?” tanya Joseph pada para peserta.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Joseph, yang perlahan melihat semua peserta, menghentikan tatapannya pada Jo Minjoon. Lebih tepatnya, melihat ke arah luka Jo Minjoon.
“Ada hal seperti ini terjadi di restoran. Normalnya, dalam situasi saat kau seharusnya pergi ke rumah sakit, kau bahkan tidak bisa menangis karena rasa sakitnya. Kasus saat kau tetap harus bekerja sambil berbalut kasa, ada lebih banyak dari yang kau pikirkan. Entah kau merasa sakit atau tidak, itu tidak mengubah pelanggan yang sedang menunggu di aula. Itulah arti tanggung jawab.” tutur Joseph perlahan.
Kaya menggertakkan giginya. Tidak ada hari di mana kata tanggung jawab begitu menamparnya seperti hari ini. Joseph perlahan melihat Kaya, lalu tepuk tangan dengan ekspresi ceria.
“Saatnya pengumuman hasil. Tentu, tidak semua dari kalian bisa mendapat komentar yang bagus. Mungkin, komentar itu lebih buruk di banding dengan apa yang kalian buat. Namun, itu memang sesuatu yang harus kalian lakukan.” Kata Joseph.
Alan melanjutkan. “Mendapat komentar yang baik di misi kali ini lebih sulit dari pada yang kalian pikirkan. Lidah pelanggan terselimuti dengan ekspektasi, kewaspadaan, dan kecurigaan. Yang paling penting, perasaan-perasaan itu lebih dalam karena bukan chef yang biasa memasak di restoran ini, tetapi kalian. Terlepas dari situasi itu, ada satu tim yang bisa mendapat komentar yang bagus dan sekaligus terhindar dari misi eliminasi. Tim yang lain akan menjalani misi eliminasi, dan satu orang dari masing-masing tim akan tereliminasi.”
Suasana berubah hening sejenak. Ivanna memegang erat tangan Chloe. Dia tidak boleh kalah. Dia tidak mau. Matanya, yang memantulkan harapan besar, melihat ke arah mulut Alan.
“Kaya, Minjoon. Selamat.”
Tapi tidak ada keajaiban bagi Ivanna.
–
“Itu akan sakit.”
“Agh…”
Jarum besar dan panjang ditusukkan tanpa ragu ke lengan Jo Minjoon. Itu lucu bagi seseorang, yang bukan anak kecil, takut dengan jarum suntik. Meski begitu, tetap saja membuat Jo Minjoon takut.
“Tenang saja. Jika ototmu setegang ini, akan terasa lebih sakit.” Kata perawat sambil tersenyum.
“Terima kasih.” Jawab Jo Minjoon sambil tertawa canggung.
Sementara keempat peserta menjalani misi eliminasi, Jo Minjoon harus pergi ke rumah sakit atas anjuran dokter. Kaya tentu harus melihat misi eliminasi. Sebenarnya, Jo Minjoon juga harus…tapi tidak ada yang mengatakannya karena mereka tidak tahu bahwa Jo Minjoon akan dibawa ke rumah sakit akibat luka bakarnya itu.
‘Sekarang…’
Jo Minjoon melihat jam dinding. Dia tidak tahu apa tema misi eliminasi, sekarang seharusnya sudah waktunya kesimpulan. Dia berpikir hendak mengirim pesan pada Kaya, tapi membatalkannya. Entah kenapa, dia tidak merasa nyaman saat ini. Apa itu karena dia harus berpisah setidaknya dengan satu orang? Atau bahkan jika tidak…
Dia tidak bercerita pada orang tuanya kalau dia terluka. Meskipun mereka akan tahu saat mereka menonton siaran. Akan tetapi pada saat itu, lukanya sudah cukup membaik sehingga dia bisa mengatakan pada mereka untuk tidak perlu khawatir dengan suara lebih percaya diri.
Kepalanya sakit. Apa karena pengaruh obat? Saat dia perlahan memejamkan mata karena mengantuk, dia membukanya lagi. Tapi itu aneh. Lampu ruangan di rumah sakit padam.
‘Apa aku tertidur?’
Dia merasa sesuatu yang aneh di tangan kanannya. Dia menoleh sambil mengedip-ngedipkan matanya perlahan. Dia melihat rambut, rambut hitam yang panjang dan ikal. Itu rambut Kaya. Dia tertidur, rambutnya terurai menutupi wajahnya. Tangannya menggenggam tangan Jo Minjoon.
Dia tidak ingin membangunkannya. Jo Minjoon meletakkan tangannya di atas rambut Kaya sejenak, lalu meraih ponselnya. Ada pemberitahuan pesan masuk.
[Chloe: Apa kau baik-baik saja?]
[Chloe: 2 orang telah tereliminasi. Ivanna dan Sasha. Sepertinya tidak patut untuk menjelaskan bagaimana misi dan metodenya saat ini, ya kan? ]
[ Chloe : Aku ingin berada disampingmu, tapi maaf. Aku bahkan tidak bisa mengatakan sesuatu karena kau sedang tidur. Mereka bilang hanya satu orang yang boleh menemanimu di malam hari. Kau akan lebih suka …Kaya yang menemanimu dari pada aku, benar kan?]
Itu adalah pesan yang tampaknya tidak mengandung perasaan yang baik karena bagi Chloe, dia benar-benar putus asa. Namun, Jo Minjoon berpikir mungkin itu karena Chloe berpisah dengan Ivanna dan Sasha, Chloe akan terluka siapa pun yang tereliminasi. Jo Minjoon membuka pesan masuk yang lain.
[Kaya: Aku akan pergi sekarang.]
“Benar. Kau sudah datang.”
Jo Minjoon menyeringai dan melihat Kaya. Apa yang dia mimpikan hingga dia sering bergumam ‘imigrasi … imigran.’
‘Dengan posisi seperti ini, wajahnya terlihat sungguh kecil.’
Tidak hanya wajahnya yang kecil, tapi kepalanya juga kecil. Pada beberapa komentar tertulis ‘Bagaimana dia bisa berpikir dengan benar jika kepalanya kecil?’. Tapi dia paham dengan perkataan itu.
Karena sebenarnya, hanya wajah yang bisa dilihatnya di layar TV. Dia seharusnya tidak bisa melihat Kaya seperti ini. Dia bisa mencium aroma buah yang matang dari tubuhnya. Dia merasakan tangan Kaya kasar tapi telapak tangannya halus. Di balik ke angkuhan Kaya, Jo Minjoon tahu ada kegugupan dan kecemasan. Seharusnya dia tidak bisa mengetahui semua itu.
Jo Minjoon semestinya bahagia, tapi kenapa hatinya seperti ini? Kenapa dia berpaling melihat ke layar yang menyembul di sebelah wajah Kaya? Tidak. itu bukan masalah layarnya. Meskipun dia mengabaikannya, dan memilih melihat yang lain. Di dalam kepalanya, dia masih memikirkan level Kaya dan juga levelnya sendiri.
Jo Minjoon hanya melihat wajah Kaya. Karena ruangan gelap, dia tidak bisa melihat seluruh wajah Kaya,. Hidungnya, bibir, dan dagu Kaya bersinar samar-samar. Meskipun dia tidak berbeda dengan gadis kecil yang kasar, nantinya dia juga akan menjadi wanita dan akan menjadi chef. Seorang chef yang tak tertandingi.
“Akankah aku bisa menggapai Kaya?’
Jo Minjoon mencengkeram tangannya dengan kuat. Kaya bergerak lalu mendesah. Lalu, Jo Minjoon bisa melepaskan tangannya dari tangan Kaya. Jo Minjoon melihat ke luar jendela. Malam begitu gelap, tetapi dia tidak bisa tidur.
< Beban restoran (5) > Selesai