Dewa Memasak – Bagian 93: Empat peserta dan empat impian (1)
Selain Jo Minjoon, ada satu orang lagi yang tidak bisa tidur malam itu. Chloe. Dia berbaring di atas tempat tidur. Dia membuka dan memejamkan mata beberapa kali hingga fajar tiba. Akhirnya, dia memakai pakaian olahraganya lalu keluar ke halaman. Dia berpikir jika dia sedikit berkeringat, dia akan bisa berpikir lebih jelas.
Namun, pikirannya hanya separuhnya benar. Saat dia berolahraga hingga paru-paru dan jantungnya sakit, serta ototnya terasa hampir sobek, dia mulai memikirkan beberapa hal dengan kepala jernih.
Sambil melihat langit biru dan gumpalan-gumpalan awan, Chloe mulai berpikir. ‘Apa ini fajar?atau pagi?’ Itu menjadi rangkaian hal yang terpikir di kepalanya. Dia tidak tahu apakah perlu untuk membedakan momen antara fajar dan pagi, ataukah hanya disebut batas di antara itu.
Dan rangkaian pikiran berlanjut tentang dirinya. Sebagai seseorang yang memasak dan sebagai perempuan, dia tidak berdiri teguh sebagai siapa pun itu. Dia tidak yakin. Dia ingat perkataan Ivanna sebelum dia pergi.
‘Jangan takut, Chloe. Aku akan mendukungmu.’
Tidak perlu dipikirkan lagi apa yang menjadi ketakutan Chloe karena itu terlalu jelas. Bagaimana bisa Ivanna paham dengan baik tentang dirinya? Itu mengejutkan. Benar bahwa Chloe tidak yakin, meski lebih tepat disebut bimbang, dalam memasak…maupaun dalam sikapnya terhadap Jo Minjoon.
Semalam, saat Kaya bilang bahwa dia akan menjaga Jo Minjoon di RS, kenapa Chloe tidak mengatakan apapun?Kau istirahatlah, aku akan menjaganya. Kata-kata itu menyesakkan dadanya, tapi kenapa dia diam saja? Apa karena Chloe pikir itu jelas bagi Kaya untuk melakukannya? Luka Jo Minjoon terjadi memang karena Kaya, maka dari itu Kaya yang seharusnya berada di sampingnya?
‘……..Bodohnya aku.’
Alih-alih mempertimbangkan yang lain, itu berarti dia mengakui apa yang menjadi miliknya. Pengakuan itu juga berarti bahwa setiap kali dia melakukannya, Chloe akan kehilangan sesuatu yang bisa menjadi miliknya. Chloe sudah terbiasa dengan itu sejak kecil: pengakuan, pertimbangan, dan kehilangan.
Mungkin lingkungannya yang menyebabkan Chloe memiliki karakter seperti itu. Bersikap lembut berarti kau harus waspada dengan orang lain. Chloe hanya bisa seperti itu sejak kecil. Darah Asia dalam dirinya dan penampilannya membuat Chloe sulit untuk berbaur. Dia bukan orang kulit putih maupun orang China.
Mungkin, jika dia kurang menawan, dia akan sungguh terasingkan. Tapi beruntungnya, Chloe punya wajah yang cukup cantik. Sekaligus, dia tahu cara melihat sekelilingnya. Dia tidak membuat orang lain merasa tidak senang. Melalui pertimbangan apa yang orang lain pikirkan, dia membuat pencitraan dirinya yang bagus. Orang-orang yang tidak mengenalnya akan berpikir bahwa dia punya temperamen yang baik, tapi itu adalah caranya untuk bertahan…bertahan agar dia tidak dibenci.
Saat dia merasa lelah dengan kehidupan seperti itu, Chloe merasa bahwa dia melupakan siapa dirinya, apa yang dia ingin miliki, dan kehidupan seperti apa yang dia inginkan. Orang-orang menyukai keramahan dan kebaikannya tapi Chloe tidak menyukai dirinya sendiri.
Dia tidak ingin kehilangan itu kali ini dan tidak ingin direbut. Tentu, dia tidak bisa menganggap itu direbut karena dia bahkan belum memilikinya… Jika dia punya sisa kesempatan, dia ingin mengambil semuanya. Itulah perasaan dia yang sejujurnya. Beberapa saat kemudian,
“Apa kau sudah selesai berolahraga?”
Dia menoleh ke asal suara itu, Anderson sedang melihatnya. Chloe mengusap keringat di dahinya.
“Aku bisa menyelesaikannya jika aku mau. Tapi kenapa?”
“Kita harus menjemput Kaya dan Minjoon.”
“…Benar. Aku akan datang setelah mandi sebentar.”
“Kau.”
Langkah kaki Chloe terhenti. Anderson melihat Chloe dengan tatapan dingin.
“Jika kau terus berekspresi muram seperti itu, kenapa kau tidak berkelahi saja dengan Kaya?”
Chloe hanya menatap balik Anderson. Dari tatapannya, dia bisa menebak samar-samar apa yang Anderson bicarakan. Chloe tertawa masam.
“Aku berusaha menyembunyikannya, tapi semua orang mengetahuinya. Apa terlihat jelas sekali?”
“Iya. Apa kau tahu betapa ceria wajahmu saat berada di sampingnya? Itu jelas sekali. Apa itu palsu jika terlihat dengan jelas?”
“Alih-alih itu palsu… Bukan, bukan. Aku akan menarik kembali kata-kata itu. Aku ingin sesuatu yang palsu, tapi sekarang tidak lagi.”
Chloe tersenyum sedikit. Anderson memasang wajah tidak setuju lalu berkata dengan suara meyakinkan.
“Maka berhentilah berekpresi sedih. Kenapa kau bersikap seperti pecundang?”
“…Akankah aku bisa menang?”
Anderson mengerutkan dahi.
“Kenapa kau bertanya padaku?”
–
Rawat inap Jo Minjoon di RS hanya berlangsung semalam. Setiap kali mereka ke sana, Kaya terus di samping Jo Minjoon. Bagi Kaya, itu menjadi tanggung jawab dan mungkin rasa bersalahnya. Bukan. Kemungkinan tinggi, entah secara langsung atau tidak, memang benar karena Kaya, Jo Minjoon berakhir cedera.
Dia mengatakan pada Kaya agar tidak perlu merasa bersalah, itu bukan kesalahan siapapun, itu hanya kecelakaan, tapi Kaya tidak membalas perkataan itu. Kaya memegangi lengan Jo Minjoon
“Aku mendapat luka di leherku, bukan kakiku. Tidak perlu membantuku.” Kata Jo minjoon dengan wajah bergetar.
“…Jika dipikir-pikir, itu benar. Apa kau punya cukup energi?”
“Apa aku harus punya energi yang cukup besar? Setidaknya, energiku cukup untuk berjalan.”
Setelah Jo Minjoon mengatakan itu, Kaya melepaskan tangannya. Anderson, yang membawa mobilnya ke parkiran, melambaikan tangannya. Ada Chloe duduk di kursi sebelahnya. Jo Minjoon memasang wajah bersalah.
“Kalian tidak perlu jauh-jauh ke sini.”
“Diam. Pasien harusnya diam saja.”
Anderson menjawab dengan suara sinis. Jo Minjoon tertawa canggung. Chloe membuka jendela mobil dan mengeluarkan kepalanya. Ada senyum muncul di wajahnya.
“Ayo cepat masuk! Ayo kita ekskursi.”
“…Ekskursi?”
“Berapa lama kita berempat bisa bersama-sama? Ayo kita bermain selagi kita punya waktu. Jika tidak dalam kesempatan ini, kita bahkan sulit keluar dari asrama Grand Chef. Kita sudah mengemas bekal makanan.”
Jo Minjoon tertawa masam mendengar kata-kata Chloe. Dia baru menyadari, hanya empat orang yang tersisa. Itu berarti mereka berempat telah bertahan dengan baik hingga sekarang, tapi itu juga berarti bahwa impian peserta yang lain telah hancur. Tentu, kepuasan dan kebahagiaanya lebih besar dari pada rasa bersalah, meski demikian, rasa bersalahnya tidak hilang.
Jo Minjoon, yang baru masuk ke dalam mobil, melihat ke luar jendela. Dia merasakan sesuatu yang dingin di lehernya. Saat dia terkejut dan menoleh, Kaya meletakkan jari-jarinya di leher Jo Minjoon.
“Apa yang kau lakukan?”
“Mengukur suhu lukamu. Mereka bilang agar melepas perban dan menempelkan es dengan lembut jika suhunya naik.”
“Aku baik-baik saja.”
“Berhentilah membual hanya karena kau laki-laki. Tidak ada orang yang baik-baik saja setelah terluka. Kau tidak akan tahu apa kau punya otot. Tapi untuk seseorang yang lemah sepertimu…”
“…Aku akan berolahraga karea aku merasa yang kau katakan tidak adil.”
Kaya memalingkan muka, mengabaikan ekspresi protes Jo Minjoon. Dia melihat Chloe.
“Ke mana kita pergi?”
“Danau Michigan, ke tempat yang tidak banyak orang.”
“…Hmm. Makanannya?”
Chloe mengangkat tangannya alih-alih menjawab. Sebuah kotak makan besar di tangannya. Kaya mengangguk.
Setelah memarkir mobil, mereka keluar. Seperti yang Chloe bilang, di sana tidak banyak orang. Mereka melihat beberapa orang, tapi mereka berada jauh sekali, jadi mereka tidak perlu khawatir.
Juni. Cuacanya hangat. Jo Minjoon melepas sepatunya. Hangatnya pasir yang menempel di sela-sela jari kakinya terasa nyaman. Karena pasir dan matahari yang hangat, mereka tidak kedinginan meski hanya memakai kaos.
“Aku tidak suka menyentuh pasir.” gerutu Kaya sambil mengerutkan dahi. Kemudian, Kaya mebuka lebar matanya.
“Kau tidak suka sensasi ini? Aku ke sini hanya untuk menapakkan kaki di atas pasir.”
“Entahlah. Aku merasa banyak serangga berjalan di kakiku.”
Kaya gemetaran. Namun, tidak ada rerumputan yang dekat dengan danau. Alih-alih danau, tempat itu tampak lebih seperti pantai. Pada akhirnya, mereka hanya duduk di bangku pasir datar.
Beberapa saat kemudian, mereka membuka bekal makanan.
“Ini…apa ini kimbap?” seru Jo Minjoon
Bahkan ini bukan norimaki. Dengan mempertimbangkan bahwa ada aroma minyak wijen, itu memang kimbap ala Korea. Chloe menjawab sembari senyum malu-malu.
“Aku pikir setelah kau terluka, kau mungkin akan merindukan makanan dari kampung halamanmu. Tapi makanan Korea apa yang seharusnya aku buat? Aku dengar kau membuatnya dengan Anderson sebelumnya, jadi aku meminta bantuan Anderson untuk membuat itu bersama-sama.”
“…Terima kasih.” jawab Jo Minjoon dengan ekspresi terharu.
Ada makanan lain dalam kotak bekal, tidak hanya kimbap, ada sandwich, gorengan ala China, dumpling kukus, salad, buah, dll. Tidak sangat istimewa, tapi itu bekal makanan yang sangat baik. Sandwich yang diisi daging ham mentah, keju, alpukat, dll. Tidak bagus sekali, tapi bekal yang kaya rasa; gorengan dan dumpling membuat sensasi renyah dan lengket. Kau akan segera tahu itu buatan sediri. Kaya mengunyah dumpling.
“Astaga…ini..sungguh.”
“Telan dulu makananmu sebelum berkata.” Omel Jo Minjoon sambil membungkam mulut Kaya dengan tangannya.
Kaya membuka mata lebar-lebar lalu menelan semua dumpling di mulutnya.
“Bagaimana kau membuat semua ini? Bukankah ini sulit? Ini semua membutuhkan kerja keras.”
“Betapa sulitnya untuk pergi berlibur?”
Setelah mereka kenyang, topik perbincangan mereka semakin dalam dan berat.
“Kalian ingin membuka restoran seperti apa? Anderson, kau pasti ingin mewarisi restoran orang tuamu, bukan?” tanya Jo Minjoon.
“Iya, separuh separuh. Sebelumnya, Aku biasa berpikir seperti itu, tapi seiring berjalannya waktu, aku berubah pikiran. Itu juga berarti aku akan melanjutkan pekerjaan orang tuaku… biasanya, orang-orang seperti itu. Alih-alih melanjutkan sesuatu yang dimulai orang lain, aku lebih suka untuk memulai sesuatu sendiri.”
“Aku paham apa yang kau bicarakan.”
Chloe mengangguk. Mewarisi sebuah restoran dari orang lain terasa lemah. Tentu, beberapa orang mungkin lebih memilih meninggalkan sesuatu yang berharga alih-alih mempertahankan eksistensi bisnis keluarga. Chloe melihat Jo Minjoon.
“Minjoon, kau ingin membuka restoran seperti apa?”
“…Sejujurnya, aku tidak pernah memikirkan itu dengan baik. Aku hanya berpikir bahwa aku ingin menjadi chef. Aku masih belum memutuskan aku ingin menjadi chef seperti apa, aku belum tahu akan membuat hidangan fusion, Italia, ataukah Spanyol… Jadi sulit untuk tahu restoran seperti apa yang aku inginkan. Begitulah…”
Jo Minjoon menggaruk hidungnya malu-malu.
“Aku sudah memikirkan ini. Di dalam restoran, dengan setidaknya ada 5 meja, aku memasak saat pelanggan memesan. Itu cukup indah. Dengan mengumpulkan pelanggan tetap, rasanya tenteram. Namun, aku, bekerja di tempat seperti itu, tidak mungkin terjadi.”
“…….Kenapa?”
“Karena selain indah, tidak ada apa-apa lagi. Mungkin kau bisa menganggapku materialistis…Tapi aku ingin memanjat bagian tertinggi dunia ini. Aku akan berkata jujur, aku ingin menjadi chef di restoran mewah, seperti Rachel Rose dari Rose Island dan juri kita, Joseph. Aku ingin mencapai tempat tertinggi.”
Mungkin, beberapa orang hanya akan fokus untuk memberikan makanan dan rasa yang enak. Tentu, itu adalah hal dasar yang harus dipenuhi. Hanya saja, masalahnya adalah kepuasan karena keahlian chef yang bekerja di restoran murah sama dengan yang bekerja di restoran mahal, hanya harga bahan yang mempengaruhi harga makanan.
Jadi, setiap kali kau pergi ke restoran mewah, pelanggan yang datang akan lebih sensitif dan peka dari apa pun. Gampangnya, bandingkan saja dengan keluargamu. Mereka tidak akan menghalangimu berlatih memasak dengan bahan masakan murah seperti telur, tapi kadang kau ingin membuat sesuatu dengan bahan berkualitas tinggi seperti lobster atau lidah sapi, maka mereka akan mengahalangimu karena itu bahan yang sungguh berharga untuk dipercayakan pada anak kecil.
Jo Minjoon ingin menjadi chef yang bisa membuat orang lain tidak perlu ragu untuk memberinya bahan masakan apapun. Dia ingin memanjat ke tempat di mana seluruh dunia akan mengakuinya dan tidak ada seorang pun yang meragukan cita rasanya.
“Aku tidak mau.” Timpal Kaya.
“… Apa?”
“Membaginya ke dalam kelas atas dan kelas rendah. Meski begitu, memang seberapa besar perbedaannya? Aku…hanya ingin membuka restoran untuk semua orang. Bukan restoran yang orang tertentu hanya bisa melihatnya lalu merasa iri …melainkan sebuah restoran untuk siapa pun yang ingin datang. Sebuat tempat yang tidak hanya untuk para babi kaya, tapi juga untuk para orang brengsek.”
Secara realistis, itu sulit. Biaya pengoperasian, biaya bahan, dan yang paling dasar, pengeluaran pribadi. Dengan memperhitungkan semua itu, mau tak mau kau harus menyerah untuk membuka restoran yang baik. Dengan memperhitungkan keahlian Kaya, Jo Minjoon berpikir bahwa itu akan sia-sia. Chloe berdehem.
“Baru-baru ini, aku terpikir satu hal.”
“Apa?”
“Restoran seperti apa yang aku inginkan? Jadi begini. Aku….”
Chloe menyentuh pasir seolah-olah dia malu untuk mengatakannya. Seperti pipinya yang merona, pasir yang berwarna merah menempel di tangannya. Matanya yang malu-malu tertuju pada Jo Minjoon sejenak, lalu kembali ke kotak bekal.
“Aku ingin seperti orang tua Anderson. Sebuah restoran pasangan. Aku juga… Aku ingin membuka restoran bersama orang yang aku cintai.”
<Empat peserta dan empat impian (1)> Selesai
belom lanjut lagi ne novel ??
Komen dlu, nyoba baca
Seru banget, cuma grand chef nya lama bet wkwk
Di tunggu chap selanjutnya
MANA NIH LAJUTANNYA???
Baguss bgtt. Jadi inget shokugeki no soma wkwk ?
Min add yg raw mtl dari website candemo
Next~ ty for the update~
semangat tlnya min
Up min?
Chapter 74 isinya sama kaya chapter 73
ty infonya dah udah di perbaiki gan
166 = 165
sudah di perbaiki ty infonya