Dewa Memasak – Bagian 94: Empat peserta dan empat impian (2)
Momen saat Jo Minjoon menatap mata Chloe, dia membayangkan satu hal di kepalanya. Matanya semakin tajam… Mungkinkah? Bagi seorang pria, mau tak mau dia membayangkan hal yang tidak berguna. Namun, Jo Minjoon berusaha menolak kenyataan. Chloe lembut dan hangat pada siapa saja. Jika dia salah paham dengannya, itu akan menjadi hal yang paling buruk dan kejam.
“Jadi di mana kau akan membuka restoran?” tanya Kaya.
“Aku tidak tahu. Entah itu akan bergantung dengan situasi.”
“Meski begitu, akankah di AS?”
“Mungkin. Jika kau tidak bisa menjadi sebagus Rachel dan Joseph hingga bisa membangun cabang restoran di negara lain…menurutku kau harus pergi ke tempat lain. Ah, apakah situasi Jo Minjoon sedikit berbeda?” kata Chloe sambil melihat Jo Minjoon sekilas.
Jo Minjoon mengangkat bahu. Melihat Chloe bertanya dengan santai, Jo Minjoon berpikir bahwa apa yang dia rasakan sebelumnya hanya sebuah kesalahpahaman.
“Kemungkinan besar aku akan kembali ke Korea.”
“Di Amerika Serikat saja. Aku bilang padamu untuk imigrasi ke sini.”
“…Kenapa kau begitu terobsesi dengan imigrasi akhir-akhir ini? Menurutku, kau lebih sering mengucapkan kata imigrasi.”
Kaya hanya menatap Jo Minjoon dengan ketus tanpa berkata apa-apa. Alih-alih menjawab, dia mulai memakan sandwich hingga mulutnya penuh. Samar-samar, Chloe bisa tahu alasan Kaya bertingkah seperti itu, dan tersenyum sedikit.
“Sepertinya Kaya khawatir kau akan kembali ke Korea.” Jelas Chloe dengan santai.
“Apa? Memangnya ada apa?”
“Pertama, Korea sedang gencatan senjata. Terlepas bagaimana realita yang ada, sepertinya itu tempat yang berbahaya di mata Kaya.”
Jo Minjoon menghela nafas berat mendengar perkataan itu. Kesan yang kau dapat saat kau memahami itu baik dari dalam maupun dari luar akan berbeda. Akan tetapi, Jo Minjoon bertanya-tanya apakah Kaya sebegitu khawatir terhadap dirinya. Kaya berpikir bahwa ini kesempatannya untuk mengatakan dengan serius.
“Carilah pekerjaan di restoran di Amerika. Mereka bilang bahwa itu memungkinkan dirimu untuk mendapat kewarganegaraan AS jika bekerja di sini selama beberapa tahun.”
“…Kaya, terima kasih telah mengkhawatirkan aku, tapi situasi yang kau pikirkan sangat berbeda. Tidak ada seorang pun di Korea yang khawatir akan terjadi perang.”
“Aku khawatir.”
Suasana berubah hening sejenak. Barulah Kaya sadar, itu terdengar berbeda. Namun, dia tidak berusaha mengubah topik. Memang benar dia mengkhawatirkan Jo Minjoon. Anderson berkomentar pedas.
“Sang istri miskin sudah keluar.”
“Mau kuhajar?! Tutup mulutmu!”
“Oh, astaga! Mulutmu seperti istri miskin yang kasar.”
Anderson tidak berhenti meski Kaya mengancamnya sembari menodongnya dengan garpu. Kaya melotot pada Jo Minjoon sejenak lalu menyeringai dan mengangkat bahunya. Anderson mengerutkan dahi. Namun, Kaya sudah memalingkan pandangan dari Anderson. Sikap Kaya itu seolah-olah berarti bahwa beradu mulut dengan Anderson itu tidak penting.
“Omong-omong, Minjoon, pikirkan itu. Selain kemungkinan perang, kau lebih populer di AS. Kau juga bilang sendiri sebelumnya, kau ingin menjadi chef yang sukses. Lalu, tidak ada yang lebih baik dari pada di sini, kan?”
“Aku tahu itu tapi…pertama, bukankah masalahnya adalah melihat dulu bagaimana hasil Grand Chef?”
“Kenapa mengkhawatirkan hasilnya? Kemenangan adalah milikku, omong-omong.”
Tatapan Anderson sengit mendengar kata-kata Kaya.
“Aku tidak bisa membiarkan kata-kata itu begitu saja. Kau akan mengalahkan aku?”
“Kau, apa kau pernah mendapat 9 poin?”
Wajah Anderson beku seperti batu saat mendengar kata-kata Kaya. Kaya menyeringai.
“Aku mendapat 9 poin, saat di restoran On The Lake. Minjoon mengatakannya secara langsung. Chloe juga pernah saat misi prasmanan. Dia juga mendapatkan 9 poin. Sedangkan kau tidak pernah.”
“…Jangan bangga pada sesuatu yang kau dapat karena keberuntungan. Skor darinya bukan hal yang mutlak.”
“Dengan bersikap seperti itu, saat kau bahkan tidak pernah mendapat 9 poin dari hal yang mutlak, kau memang tidak beruntung. Jadi, berhentilah bertingkah sok kuat dan bertahanlah.”
Mulut Anderson bergetar. Dia berdiri dari tempatnya.
“Aku akan pergi ke mobil.”
“Abaikan itu, Anderson. Kaya masih bocah. Kau seharusnya memahami itu.”
“Aku tidak suka dengan bocah.”
Bahkan setelah Jo Minjoon menahannya, Anderson tetap meninggalkan tempatnya tanpa menoleh ke belakang.
“Bocah juga tidak menyukaimu.”gerutu Kaya sambil memajukan mulutnya.
–
“Lakukan itu perlahan. Pelan-pelan.”
“Jangan melebih-lebihkan.”
Tangan Kaya sedang membuka perban di leher Jo Minjoon. Dia berekspresi lebih gugup dari pada Jo Minjoon. Dengan gerakan tangannya yang hati-hati, dia membuka perban, kulit Jo Minjoon tertarik. Kaya menghela nafas.
“Meski begitu, luka bakarnya agak mereda.”
“Karena ini sudah seminggu.” jawab Jo Minjoon sambil mengerutkan dahi.
Dia bisa merasakan lehernya bergetar karena terkena udara setelah sekian lama. Kaya perlahan meletakkan tangannya di bahu Jo Minjoon. Telapak tangan kaya juga gemetar.
“Ini sakit, bukan?”
“Aku sudah bilang kau tidak perlu merasa bersalah.”
“Aku tidak merasa bersalah tapi mengkhawatirkan dirimu.”
“Itu bahkan juga tidak perlu. Ini sudah terjadi. Bahkan sekarang sudah tidak sakit.”
“Akankah lukanya membekas?”
Jo Minjoon tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan segera. Dokter sudah bilang itu akan membekas. Dia berusaha tertawa.
“Tidak buruk bagi laki-laki, memiliki bekas luka yang mulia.”
“…Maafkan aku.”
“Aku sudah bilang kau tidak perlu merasa bersalah.”
Setiap kali dia melihat sisi lemah Kaya, perasaannya terasa aneh. Baginya, Kaya adalah idola yang kuat dan sempurna. Akan tetapi setiap kali dia bersikap seperti seorang gadis, Kaya terlihat seperti dia membuka hati untuk Jo Minjoon.
“Tapi apa kau sudah memikirkan soal itu?”
“…Apa soal imigrasi lagi?”
“Sebelumnya, kau bilang akan memikirkannya.”
“Ini bukan sesuatu yang dipikirkan dalam beberapa hari. Aku harus memikirkan itu dengan matang.”
“Adikku menyukaimu.”
Entah dari mana. Jo Minjoon melihat Kaya seolah-olah bertanya apa yang dia maksud. Kaya mengangkat bahu.
“Ibuku juga menyukaimu. Ibuku bilang kau baik.” Kata Kaya lagi.
“…Tapi kenapa kau tiba-tiba mengatakan itu?”
“Bagaimana dengan keluargamu? Mereka tidak bilang apa pun tentang aku?”
“Entahlah. Mereka bertanya beberapa hal, tapi kami bukan tipe orang yang berbicara panjang lebar di telepon. Baiklah…Mereka bertanya…apakah kita sungguh berkencan?”
“Lalu apa yang kau katakan pada mereka?”
Mata Kaya semakin tajam menatap Jo Minjoon. Jo Minjoon berusaha tertawa.
“Memangnya aku harus bilang apa? Bukankah sudah jelas. Aku mengatakan realitanya.”
“Jadi, apa realitanya?”
Jo Minjoon menaikkan alisnya. Kaya membuka matanya lebar-lebar.
“Tidak, aku hanya ingin bertanya. Aku penasaran.”
“Aku bilang pada mereka kau teman dekatku. Kali ini, kau tidak akan mengatakan apapun jika aku bilang kau temanku, bukan?”
“…Tidak, tidak lagi.” jawab Kaya dengan muka cemberut. Dia menekan bibirnya beberapa saat.
“Mereka tidak mengatakan apapun tentang Chloe?”
“Entahlah. Kita tidak muncul bersama secara khusus dalam siaran. Kau dan aku menjadi ‘bersama’ ini yang aneh.”
“Apa yang aneh?”
Jo Minjoon berdiri dari tempatnya. Kaya, yang menyilangkan kakinya, buru-buru berdiri dengan sempoyongan. Jo Minjoon meraih lengan Kaya.
“Pelan-pelan. Coba lihat Chloe, betapa anggunnya dia.”
“Jadi sekarang kau membanding-bandingkan aku? Kalau begitu, kau juga, jadilah lebih maskulin. Aku sudah bilang untuk melatih ototmu.”
“Sudah. Aku akan pergi ke tempat olahraga sekarang.”
“Kau baru akan pergi setelah satu minggu.”
“…Aku tidak bisa pergi karena terluka. Berhentilah mengomel. Yag paling penting, itu tidak begitu berbeda.”
“Tapi kau tidak begitu kekar.”
Jo Minjoon menutup mulutnya rapat-rapat. Saat dia masuk ke ruang olahraga, Anderson yang melihat mereka mengirimkan sinyal aneh.
“Apa kalian bertengkar?”
“Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?”
“Karena mukamu jelas memperlihatkannya.”
Jo Minjoon hanya mengangkat bahu. Chloe mengusap keringat di dahinya lalu meminum air.
“Tidak banyak waktu yang kita miliki untuk bisa bersama-sama. Ayo kita habiskan waktu dengan cara yang baik.”
“Karena kau bilang begitu, aku jadi tertekan.”
“Hehehe, maaf.”
Pipi Chloe membuat sudut mulutnya tertarik.
“Semifinal pastinya menjadi misi tim, bukan?” tanya Anderson.
“Mungkin.”
“Sekarang, kalau aku ingat-ingat, sebelumnya Martin bilang sesuatu yang membuat suasana hatiku buruk.”
“Apa yang dia katakan?”
“Akan ada acara yang tak terduga. Jadi, jangan takut.” Jawab Kaya.
–
Sebuat pesawat terbang melintasi danau Michigan menuju ke Chicago. Jika kau mempunyai pesawat, orang-orang tentu berpikir hal yang indah, sebuah perjalanan bisnis, CEO internasional…Jika bukan, hanya kebenaran bahwa kau berada di atas peasawat sudah membuatmu iri.
Namun pada saat ini, Rachel Rose tidak merasakan suasana indah sedikit pun. Itu bisa terkonfirmasi dari mata, hidung, dan telinganya. Hal itu karena pria tua di hadapannya. Seorang pria kulit putih yang terlihat seperti beruang, dengan rambut berwarna coklat campur pirang dan janggut yang berwarna sama, sedang makan makanan di pesawat dengan ribut. Pesawat pribadi serta istilah kaya dan mewah kehilangan warnanya saat melihat dia sedang makan.
“Serguei. Jika kau seorang chef, makanlah dengan sopan. Kau masih sama dengan masa lalu.”
“Duuh, jangan bersikap angkuh. Memangnya kenapa? Di usiamu sekarang, kau ingin bertingkah semakin angkuh? Lalu apa yang sebaiknya aku lakukan. Sepertinya, aku tidak bisa melakukan sesuatu yang nantinya bisa membuatku muntah. Yag paling penting, ini tidak sebegitu lezat hingga aku harus memakannya dengan sopan.”
Suaranya kasar dan tebal, dia mengucapkan kata-katanya dalam bahasa Rusia dan Inggris. Rachel ragu-ragu sejenak lalu memasukkan biskuit ke mulutnya. Memikirkan tentang hidangan yang akan Rachel lihat sebentar lagi, bodoh jika dia mengisi perut, apalagi setelah melihat bagaimana Serguei makan, dia jadi tidak lapar. Sekarang, karena dia sudah tua, dia tidak merasa begitu lapar, entah karena dia di sebelah orang yang banyak makan atau bukan. Setelah biskuit di dalam mulutnya remuk, dia berkata.
“Bagimana makanannya? Kau seharusnya bersyukur bahwa makanan di pesawat seenak ini. Tidak berubah di usiamu adalah hal yang memalukan, tapi tetap bertingah seperti bocah nakal setelah kau menjadi tua itu lebih memalukan lagi.”
“Heei, Beethoven dan Gogh juga bocah nakal. Berpendirian teguh bukan merupakan suatu kecacatan bagi seniman.”
“Beethoven and Gogh tidak setua dirimu.”
Serguei tidak membalas lagi lalu dia mengambil banyak salad. Bukan dengan garpu, tapi dengan sumpit. Rachel melihat salad di ujung sumpit itu sambil menyeringai lalu berkata.
“Tidak ada yang lebih baik dari pada sumpit, untuk mengambil sejumlah besar makanan dalam sekali ambil. Kau tidak bisa menggunakan benda seperti garpu karena hanya sedikit yang bisa terambil, ya kan?”
“Kau sungguh…Bagaimana mungkin kau menjadi chef?”
“Bagaimana aku bisa? Aku menjadi chef karena aku suka makan.”
Glek. Rachel, yang melihat salad yang disantap Serguei sedemikian banyaknya, berekspresi ingin muntah. Jumlah itu seharusnya membuatmu kesulitan merasakan cita rasanya. Bagi seorang pria yang menjadi representatif dari ‘Season Madbadge’ yang terkenal, Serguei sebanding dengan Rachel Rose. Di antara para chef muda, meski penampilannya kasar mungkin terlihat gagah dan terhormat tapi itu adalah kelakuan yang Rachel tidak bisa pahami.
“Jadi, apa yang kau rencanakan? Setelah Daniel, pria tua itu meninggal, kau juga bersembunyi seperti orang dungu.”
“..Kau masih belum memperbaiki kebiasaan buruk mengatakan sesuatu dalam pikiranmu dengan blak-blakan.”
“Itu kebenaran. Satu-satunya hal sempurna dari orang itu adalah masakannya…sekaligus orang yang sungguh gila. Jadi, benar bahwa kau orang dungu yang tertekan karena pria brengsek yang sudah meninggalkanmu “
Seperti yang dia katakan dengan sangat jelas, Rachel bahkan tidak bisa marah. Rachel berkata dengan suara kesal.
“Ada anak yang menjadi perhatianku. Lebih rendah dari pinkymu. Jika kau tetap bertingkah begitu dangkal, aku juga bisa marah.”
“Hehehe… Aku ingin melihat sifat asli Rachel Rose yang Agung setelah sekian lama.”
“Karena kau bertingkah seperti ini, istrimu terus menelponku.”
“Apa? Apa kau bilang?”
“Rahasia adalah hal dasar pada konten konsultasi. Jadi tutup mulutmu yang bau itu. Apa kau sudah melihat siarannya?”
“Aku bahkan tidak punya waktu untuk makan, jadi mungkinkah aku punya waktu untuk menontonnya? Oh, kau membicarakan anak itu? Anak yang punya indera pengecap yang mutlak?”
Rachel mengangguk. Serguei mengangguk seolah-olah bisa mengerti.
“Aku tahu kenapa kau tertarik, jadi bagaimana keahliannya?”
“Aku masih belum tahu. Aku akan mengetahuinya hari ini.”
“Dia semestinya akan gugup. Tidak ada yang lebih mengganggu dari pada mencocokkan indera pengecap dari seorang janda tua.”
“Dia pasti bisa.”
“Bagaimana kau begitu yakin?”
Tatapan Rachel berubah santai.
“Karena jika dia tidak bisa, aku berencana membuatnya menguasai kemampuan itu.”
<Empat peserta dan empat impian (2)> Selesai