Dewa Memasak – Bagian 95: Empat peserta dan empat impian (3)
Saat pesawat pribadi tiba di bandara, orang pertama yang Rachel dan Serguei temui adalah Martin. Serguei menyeringai.
“Sepertinya, teman kita ini tidak sopan.”
“…Aku bilang jaga sopan santunmu.”
Rachel mulai melangkah pergi lebih dulu dari Serguei seakan-akan dia malu. Dengan mempertimbangkan bahwa itu adalah percakapan antara dua lansia dengan keriput di wajahnya, jelas itu adalah hal yang kekanak-kanakan tetapi penuh kasih sayang. Martin menjabat tangan keduanya dengan senyum sumringah memenuhi wajahnya.
“Anda berdua sudah jauh-jauh datang ke sini. Ini sungguh kehormatan bagi saya.”
“Kehormatan apa? Sejak kapan orang Amerika mulai membicarakan hal yang tidak familiar ini?”
“Atas nama Serguei dan Rachel, tidak ada yang tidak familiar pada pertimbangan sebanyak ini.” jawab Martin sambil menyeringai.
Martin sungguh merasa tidak berlebihan untuk menyanjung mereka seperti itu. Nama mereka berdua memiliki arti masing-masing. Serguei bukan orang yang sering terlihat dalam siaran, dan tidak ada lagi yang bisa dikatakan soal Rachel. Namun, jumlah penonton yang merindukan mereka di AS tidak bisa dihitung. Sebelumnya, betapa besar reaksi saat Rachel menunjukkan dirinya, meski hanya sebentar dalam misi truk makanan?
Dia akan bahagia setengah mati memikirkan bagaimana reaksi penonton nantinya melihat siaran ini. Pikirannya terlihat di wajahnya, itu sesuatu yang memang tidak perlu disembunyikan. Serguei mengusap-usap jenggotnya lalu berkata.
“Omong-omong, sudah lama sejak aku tidak ke Chicago…”
“Maaf, tapi saat misi…”
“Iya, aku paham. Kau tidak perlu bersikap demikian karena aku hanya bertingkah seperti bajingan di depan dua macam orang, yaitu pertama, si brengsek yang memasak seperti tai kucing. Kedua, orang-orang yang makan makanan lezat seperti tai kucing. Kau bukan seorang chef dan masih belum menjadi pelanggan brengsek bagiku. Jadi… Aduh! Apa yang kau lakukan!”
“Bertingkahlah sesuai umurmu.”
Serguei mengusap tulang keringnya yang ditendang Rachel sambil meringis.
“Si janda tua gila ini…! Aku datang karena kau memohon padaku untuk datang!”
“Aku tidak memintamu untuk mempermalukanku.”
“Tidak ada jawaban. Tidak ada. Hei! Aku juga berusia 70 tahun! Jika tulangku patah, tidak akan bisa tersambung lagi dengan baik!”
“Jika patah karena tendangan wanita, itu juga sama. Berhentilah mengatakan kata-kata yang buruk karena aku sudah lelah mendengarnya. Martin, ayo pergi. Di mana mobilnya?”
“Oh, di sebelah sana.”
Martin memimpin jalan seperti seorang pramusaji yang ramah. Mobil yang dia persiapkan adalah mobil van yang lebar, tapi saat Serguei masuk ke dalamnya, mobil itu tidak terlihat lebar karena dia tinggi dan cukup tegap. Setelah melihat bandara yang semakin jauh dari luar jendela, Serguei bertanya.
“Jadi, berapa banyak peserta yang tersisa?”
“Empat orang. Haruskah aku menjelaskan tentang mereka?”
“Iya, singkat saja.”
“Iya.”
Martin menunjukkan beberapa foto pada Rachel dan Serguei. Martin berkata dengan suara tenang,
“Pertama, aku akan menjelaskan tentang Jo Minjoon. Dia populer dikalangan penonton karena punya indera pengecap yang mutlak, dan keahliannya cukup baik. Pertama, dia punya beberapa poin kekurangan di banding ketiga peserta yang lain, tapi melihat bagaimana dia berkembang, kau tidak akan tahu bagaimana dia nanti. Dan Anderson Rousseau…..”
“Samar-samar aku tahu tentang anak ini. Aku kenal dengan orang tuanya. Dia salah satu yang menjanjikan. Jelaskan peserta yang lain. Lebih singkat dari sebelumnya.”
“Iya, aku akan menjelaskan tentang Chloe Jung. Sepertinya, dia belajar memasak dari ibunya. Dia bisa memasak makanan China dengan baik. Sedangkan Kaya Lotus, dia tidak hanya memasak hidangan khas suatu negara, tapi alih-alih memasak makanan mewah, dia memberikan kesan dia spesial dalam makanan keluarga. Sepertinya dia belajar memasak dengan menonton bagaimana orang-orang di pasar memasak…”
“Tunggu.”
Serguei mengangkat tangan. Dia mengerutkan dahi seolah-olah dia telah mendengar sesuatu yang aneh.
“Dia belajar dengan menonton? Apa itu mungkin?”
“Itu…dia memang sungguh luar biasa soal itu. Saat dia muncul dalam kompetisi, dia membakar belut dan meninggalkan kesan mendalam pada orang-orang.”
“Hmm… Seharusnya tidak ada yang perlu dilihat dari kemampuannya, kan? Apa dia beruntung? Meski jika mereka memasak di pasar, itu seharusnya hanya sesuatu yang diolesi saus barbeku atau hanya dibumbui garam. Jika masakan Italia atau Spanyol, kau hanya menggoreng nasi lalu menyajikannya. Bukankah normalnya seperti itu?”
“Sebenarnya, di awal, dia dipilih sebagai kandidat pemenang yang paling kuat dan pada realitanya, dia memenuhi ekspektasi itu. Tapi sekarang, karena peserta yang lain juga berkembang, kemungkinan itu tidak sebesar sebelumnya. Ada yang menyebut dia seorang jenius.”
“Jenius.”
Serguei memegangi jenggotnya dan jatuh ke dalam pikirannya. Setelah sejenak dia melihat Kaya.
“Mungkin Kaya, bukankah gadis itu lebih cocok dari pada bocah bernama Jo Minjoon itu, Rachel? Aku membicarakan anak berbakat yang sedang kau cari. Dia, anak kecil yang tumbuh di pasar dan tak punya apa-apa.”
“Itu sama saja dengan Minjoon. Dia juga punya indera pengecap yang mutlak.”
“Hmm. Entahlah. Pasar adalah tempat yang kau bisa belajar banyak sekali budaya memasak, akan tetapi lidahnya mungkin sekaligus tidak bisa terbiasa dengan makanan berkualitas rendah…Di mataku, itu lebih mempesona dari pada indera pengecap yang mutlak.”
Rachel melihat foto Kaya dengan tatapan terkejut. Meskipun Kaya tertutup bayangan Jo Minjoon, mendengar kata-kata Serguei, Rachel mulai memikirkan tentang gadis berwajah ketus yang seperti kucing itu, yang mungkin sebuah permata dalam lumpur.
“Aku harus memeriksanya sekarang.”
“Apa yang harus diperiksa? Kau akan tahu setelah kau mencicipi hidangan mereka hari ini…”
Mulut Serguei sedikit berkerut.
“…Entah itu enak atau tidak.”
–
PD mengatakan pada mereka bahwa misi akan dimulai malam ini. Kaya menghapus perlahan eyeliner sembari berdiri di depan kaca.
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa sekeliling matanya mungkin menjadi gelap, tapi saat riasan di matanya hilang, orang yang terpantul di cermin itu bukan si galak Kaya Lotus. Bintik di hidung, pupil mata yang berwarna hitam yang berada di tengah-tengah selaput iris berwarna biru, bibir yang tipis dan berkilau, hidung yang mancung, dan matanya tidak cekung. Jika bertemu Kaya di jalan, orang akan mengira dia seorang siswi yang cantik dan ceria. Kaya ingin terlihat seperti itu.
‘…aku hanya akan memakai pelembab saja.’
Kaya mengoleskan pelembab di mukanya dengan lembut. Dia tahu dengan baik ukuran wajahnya, jadi hanya mengeluarkan setetes pelembap untuk dioleskan ke seluruh mukanya. ‘secara ekonomis ini hal yang baik.’, Kaya tersenyum puas dan berbalik badan.
Saat dia keluar kamar, dia hanya melihat Chloe di aula. Kaya, yang melihat wajah Chloe, tanpa sadar menyentuh pipinya sendiri. Kulit Chloe sungguh mulus. Dia tidak bisa melihat ada bintik ataupun cacat di wajahnya. Dia punya beberapa tahi lalat, tapi orang-orang yang tidak memiliki tahi lalat justru jarang. Sinar matahari yang masuk melalui jendela terpantul di pipi Chloe dengan jelas.
Kaya menenlan ludah karena iri, lalu bertanya.
“Anak-anak belum keluar ya?”
“Sepertinya mereka masih menata rambut.”
“Betapa pesoleknya mereka…”
Keheningan yang canggung menghampiri mereka. Alasannya sudah jelas, mereka hanya bisa mengkhawatirkan tentang misi yang akan segera berlangsung. Suara hela nafas keluar dari bibir Chloe.
“Akan lebih baik jika tidak ada misi.”
“Jika tidak ada misi, kau tidak bisa menang.”
“Jika aku harus memilih antara menang atau mempertahankan momen ini…mungkin aku memilih yang kedua.”
Mendengar kata-kata Chloe, Kaya membuka dan menutup mulutnya berulang kali. Pada akhirnya, saat kata-kata yang sulit itu keluar dari mulutnya, Kaya tidak bisa sambil memandang Chloe.
“…Sebenarnya, aku juga seperti itu.”
Chloe terkejut lalu menatap Kaya. Dia tahu dia terbuka, tapi meski begitu, ini pertama kalinya dia mengekspresikan dirinya. Sebuah senyuman terukir di mulut Chloe, tapi menghilang dengan cepat. Kaya tidak terlihat begitu ceria. Dia membuka mulut setelah ragu-ragu sejenak.
“Aku, ini pertama kalinya aku melewati masa-masa yang rileks. Mohon maaf untuk ibuku dan adikku, tapi biasanya aku merasa itu berat. Berat menjalaninya. Tapi di sini, aku bisa bertingkah sebagai gadis cuek dan aku tidak perlu mengkhawatirkan tentang makanan untuk besok. Selain itu…orang-orang di sini.”
Kaya menutup mulutnya, tapi kau bisa menebak apa yang akan dia katakan meski kau tidak mendengarnya. Chloe mengulurkan tangan untuk meraih tangan Kaya. Kaya tidak menolak.
“Jangan khawatir. Mulai sekarang, kau bisa tetap melakukannya. Selepas dari misi, kau bisa mengunjungiku. Memangnya kau tidak ingin menemuiku lagi?”
“…Akankah aku bisa? Sejujurnya, kita tinggal berjauhan dan kita akan lebih sibuk…. Akankah kita…bisa?”
“Jika kau punya rasa rindu, kita harus saling bertemu. Dan aku…”
Chloe mengulurkan tinjunya. “Berjanji.” Kaya ragu-ragu sejenak, lalu dia juga menjulurkan tinjunya perlahan. Buk. Saat tinju mereka saling bertemu, Kaya batuk lalu bersandar di dinding. Dengan karakternya, ini sungguh memalukan. Chloe tertawa riang. Anderson dan Jo Minjoon keluar kamar.
“Oh, kalian sudah keluar.”
“Kalian terlambat.”
Kaya melihat Jo Minjoon dan bertanya.
“Kau bahkan tidak banyak berdandan. Kenapa kau terlambat sekali?”
“Rambutku kaku, sulit dirapikan. Jadi, aku mencuci rambutku lagi.”
“Kau seharusnya keluar saja. Aku suka rambut yang tidak rapi.”
“Jika kau melihatku tadi, kau tidak akan bisa mengatakan itu.”
Jo Minjoon menggelengkan kepala mendengar kata Chloe. Mereka berempat pergi menuju dapur. Mereka ingin menang, tapi mereka tidak ingin berpisah. Perasaan itu ditunjukkan melalui langkah kaki mereka yang lambat. Di depan dapur, mereka semua berhenti seolah-olah mereka sudah sepakat sebelumnya. Jo Minjoon melihat sampingnya. Saat mereka berempat saling berpandangan satu sama lain, mereka hendak berkata sesuatu tapi membatalkannya. Kaya berkata. Suaranya pelan.
“Ayo.”
Berbeda dari biasanya, para juri sudah menunggu di dapur. Jo Minjoon melihat sekilas ke sekelilingnya. Dia mendengar bahwa ada acara yang mengejutkan, tapi dia tidak melihat apapun yang spesial.
“Apa kabarmu baik?” tanya Joseph.
“Ini waktu yang baik.”
“Aku akan berdoa pada hari ini agar menjadi hari yang baik. Tentu, bagi satu orang, mungkin hari ini tidak akan menyenangkan.”
Jo Minjoon menutup mulutnya. Kegugupan yang sempat dia lupakan sekarang menekan dadanya. Ambisi, ketakutan, dan ekspektasi. Perasaan-perasaan itu membuat jantungnya berdegup kencang.
“Sebelum mengungkapkan misi, kita akan melakukan permainan sederhana. Permainan pilih acak.”
Alan mengulurkan tangannya yang terkepal. Di atas kepalan tangan, ada beberapa lembar kertas.
“3 di antaranya bertanda X dan satu lagi bertanda O. Orang yang memilih kertas dengan tanda O berhak memilih rekan timnya.”
Misi tim. Hanya empat peserta yang tersisa, mereka berpikir bahwa misi hari ini jelas menjadi misi tim. Chloe maju duluan. Dan saat dia menarik kertas, hasilnya membuat ketiga peserta lain tidak perlu maju, karena di ujung kertas, tertulis huruf O. Chloe tersenyum canggung. Memilih satu orang berarti juga tidak bisa memilih dua orang.
“Pilih rekan timmu. Chloe!”
“Ah, iya. Tunggu sebentar.”
Chloe lanjut berpikir. Tidak, sebenarnya, orang yang dia inginkan sudah jelas. Masalahnya apakah kombinasinya akan cocok. Namun, semakin lama dia berpikir, justru perasaan yang menguasainya. Mungkin ini yang terakhir untuk lawannya, maupun untuk dirinya sendiri. Dengan hanya memikirkan itu, pilihan menjadi mudah. Chloe berkata.
“Minjoon, Maukah kau satu tim denganku?”
Jo Minjoon terkejut sesaat, lalu tertawa ringan dan mengagguk. Namun, ada orang yang lebih terkejut lagi. Chloe yang satu tim dengan Jo Minjoon tidak masalah. Kaya melihat Anderson dan Anderson melihat Kaya. Saat mereka saling melihat dengan tatapan sengit, mereka berdua memikirkan hal yang sama.
‘Aku… dengannya?’
< Empat peserta dan empat impian (3)> Selesai