Dewa Memasak – Bagian 97: Empat peserta dan empat impian (5)
Jika Jo Minjoon mendengar ini, dia akan merasa senang sekaligus sedih. Kemampuan yang dia punya berbeda dengan indera pengecap yang mutlak. Beruntungnya, dia tidak mungkin mendengar ini. Dia tidak punya waktu luang untuk berkonsentrasi pada hal lain selain merancang resep dengan Chloe.
“Kau mau membuat puding untuk hidangan penutup?”
“Iya, puding kastanye atau almond boleh juga. Puding mangga yang segar juga enak.”
“Seberapa bagus kau harus membuat puding agar menang? Tapi menurutku, keselarasannya dengan hidangan yang lain cukup bagus.”
“Oke. Jadi cheviche salmon trout, galbi domba, dan puding… Jika dipikir-pikir, kita bisa menggunakan buah-buahan sebagai garnish puding almond. Bagaimana jika merendam buah dalam air madu? Mangga, jeruk, dan persik akan enak.”
“Persik memang enak. Oh, benar, alpukat. Kita mencampurkan alpukat dan jeruk nipis dan membuatnya sebagai sorbet.”
“Sorbet dan ceviche…enak. Kalau begitu, mari kita membagi tugas.”
Saaat Jo Minjoon memutar kepalanya, Chloe menggigit apel yang ada di dalam kotak. Lalu tertawa.
“Aku sungguh lapar. Aku tidak bisa makan apapun setelah berolahraga.”
“Para juri tertawa.”
“Memangnya kenapa? Keutamaan seorang chef adalah setidaknya dia harus mengisi perutnya sebelum memasak lebih dari biasanya.”
“Itu lucu menyebutnya keutamaan.”
Chloe tidak menjawab apapun lalu hanya menggigit apel itu lagi. Mencium aroma samar dari apel, Jo Minjoon berkata.
“Sekarang, ada 3 tahapan, pembagian tugasnya berdasarkan langkah memasak, bagian memotong atau memasak, atau jika tidak, kita bisa mengerjakan sesuai alur situasi. Pilihan yang terakhir adalah yang terbaik jika kita bisa melakukannya.”
“Kalau begitu ayo lakukan seperti itu.”
“Bekerja sesuai alur?”
“Iya. Pada akhirnya, kita hanya harus mengatur diri kita sendiri. Kita melakukan misi tim sebelumnya. Menurutku, kita juga bisa melakukannya dengan baik kali ini.”
“Maka, kita berbagi tugas berdasarkan hidangan…”
Dia memasak bersama Chloe sebanyak dua kali. Namun, mereka tidak tahu bagaimana kordinasi di antara mereka. Pada akhirnya, Jo Minjoon mengangguk, seperti Chloe yang menghormati pendapat Jo Minjoon, Jo Minjoon juga ingin menghormati pendapat Chloe. Chloe menyodorkan apel di tangannya.
“Kau mau?”
“…Segigit saja.”
Jo Minjoon menggigit apel. Perasaan segar yang menyebar di dalam mulutnya membuat rasa lelah di kepalanya berkurang. Chloe berkata sambil menggigit apel sambil duduk di atas meja masak.
“Bagaimana? Energi mengalir keluar kan?”
“Tidak sampai seperti itu. Tapi, yaa..aku merasa segar kembali.”
“Lalu hanya sampai mana? Sekarang, coba rasakan lagi. Masih tidak yakin?”
“Ini bukan apel ajaib.”
Mendengar kata Jo Minjoon, Chloe mencebik.
“Kau tahu kan, efek sugesti. Jika kau yakin, maka itu akan terjadi. Kau terlalu berpikir bahwa kita sungguh akan bisa berkoordinasi. Jika menurutmu begitu, hasilnya akan baik.”
“…Baiklah, aku yakin. Jika di tengah-tengah misi kita berpikir bahwa kita tidak bisa berkoordinasi dengan begitu baik, kita akan segera membagi tugas : satu memasak di kompor dan satu lagi menangani bahan.”
“Oke, baiklah.”
“Sekarang, aku akan menghitung rasio saus atau puding.”
“Itu bagus bagiku, untuk seseorang yang punya indera pengecap yang mutlak yang memberi aku saran dan semuanya.”
Jo Minjoon tersenyum canggung. Chloe terpikir hal yang aneh. Dia berpikir bahwa Jo Minjoon merasa tidak nyaman saat seseorang membicarakan indera pengecapnya yang mutlak. Jika dia malu memiliki kemampuan yang bagus itu, itu bisa dipahami tetapi jika dipikir lebih dalam lagi, Chloe berpikir bahwa perhatian yang dia dapat karena itu justru mengganggunya. Chloe cepat-cepat berkata.
“Bagi chef, mendapat saran adalah hal yang baik.”
“Bukan tentang sarannya dan…”
“Ini saatnya! Semuanya silahkan mulai memasak!”
“Nyalakan api sekarang! Aku akan mengambil bahan-bahan.”
Dengan cepat, Jo Minjoon mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan dari pantri dan dari kotak sementara Chloe menyalakan kompor. Jo Minjoon luar biasa cepat dalam memilih bahan-bahan di antara para peserta. Pembagian tugas seperti itu logis.
Chloe segera menggoreng kacang almond. Dua jam, sejujurnya, waktu yang cukup untuk membuat 3 set menu. Itu juga berarti bahwa mereka tidak ingin menekan peserta dengan waktu yang terbatas. Hanya saja, itu berarti bahwa mereka harus mengerjakan tahapan memasak tanpa kesalahan.
Dengan demikian, mereka harus mengerjakan tahapan dengan benar. Jika waktu yang diberikan terbatas, jelas mereka harus membuat hidangan penutup terlebih dahulu. Orang-orang yang tidak tahu akan berpikir bahwa tahapan dalam memasak dimulai dari membuat hidangan pembuka, hidangan utama, lalu hidagan penutup…tapi ada banyak kasus bahwa hidangan penutup membutuhkan waktu pengerjaan lebih lama, terlebih cake dan cookie. Sulit juga untuk membuat puding, jeli, es krim, dll. dalam waktu singkat.
Tentu, dalam kasus membuat buah-buah yang digoreng ala hidangan China, itu tidak butuh waktu lama. Tapi setidaknya, puding almond yang mereka buat saat ini, meski mereka membuatnya dengan cepat, setidaknya butuh waktu satu jam lebih.
“Minjoon”
Mereka tidak perlu berbicara lama-lama. Jo Minjoon menyodorkan mangkok untuk menampung almond dari wajan penggorengan. Sekarang, mereka harus menggilingnya dalam mixer dan membuatnya menjadi bubuk. Dibanding dengan yang dijual di pasaran, akan ada beberapa butir yang masih utuh, tapi mereka berpikir bahwa itu justru menarik membiarkannya seperti itu.
Chloe menuang tepung beras dan susu ke dalam mangkok, lalu mencampurnya. Dia juga memasukkan bubuk almond, susu, dan gula ke dalam wajan, lalu mulai mendidihkannya. Selanjutnya, dia harus mencampur keduanya bersama-sama, lalu harus memindahkannya ke dalam wajan lagi dan mendidihkannya. Mereka perlu untuk tetap mengaduknya selama 30 menit, jadi perlu seseorang yang harus tetap di depan mangkok.
“Minjoon, krim ikan teri.”
“Oke. Kau bisa sekalian membuat air gula untuk digunakan dalam sorbet ikan teri, bukan?”
“Iya, kau kerjakan bahan yang lainnya.”
Mereka tidak perlu berbicara lama-lama. Secara mengejutkan, kordinasi antara Jo Minjoon dan Chloe sempurna. Sebenarnya, membuat 3 set menu tidak begitu sulit, dan tugas mereka tidak campur aduk… Mereka mencari tugas lain setiap kali mereka selesai dengan tugasnya masing-masing, itu hal yang cukup natural. Terlebih, ini pertama kalinya mereka berkordinasi dengan benar dalam sebuah misi.
Jo Minjoon mengupas ikan teri, dam memasukkannya ke dalam minyak zaitun dan perlahan mulai memanaskannya. Saat mulai layu, Jo Minjoon mematikan api membumbuinya dengan garam dan lada. Dia menuangkan sari lemon untuk membuang aroma amis. Setelah itu, meletakkannya ke dalam lemari es, dan selesai. Dia harus memfermentasikan dengan cara seperti itu selama beberapa waktu agar cita rasanya dalam. Jika memungkinkan, membuat itu selama satu hari sebelumnya akan lebih baik, tapi dalam situasi ini, mereka mau tak mau harus membuat semuanya sempurna.
Saat dia melirik Chloe, dia sedang memasukkan air gula untuk sorbet alpukat ke dalam lemari es sembari mengaduk beberapa kali, mengaduk sari lemon, sari jeruk, dan alpukat yang ada di dalam mangkok, asal-asalan dengan tangan kirinya. Jo Minjoon menerima mangkok itu lalu berkata.
“Aku akan melakukannya.”
“Whah, terima kasih.”
Ada tetes keringat di dahi Chloe. Jo Minjoon mengeluarkan handuk dari apronnya dan mengusap keringat Chloe. Dia teringat masa lalu, bukan, mungkin itu seharusnya di masa depan. Saat dia bekerja sebagai yang paling junior di sebuah restoran, dia harus mengusap keringat seniornya beberapa kali.
“Jangan paksa dirimu. Kita tidak perlu buru-buru. Kerjakan dengan lebih santai.”
“..Ini karena aku tidak ingin menjadi pengganggumu.”
“Kau mengerjakannya dengan sangat baik.”
Mata para juri yang melihat mereka berdua sangat puas. Lebih tepatnya, hanya Sergei yang tidak. Dia berkata dengan suara seolah-olah itu membosankan.
“…Tidak lucu, brengsek. Kau harus bertarung, berjuang, dan berteriak selama di dapur.”
“Kumohon, hentikan omong kosongmu Sergei. Orang-orang yang mendengarmu mulai lelah.”
“Kau melihat ini sebagai omong kosong?”
“Iya. Omong kosong lebih murni dari pada garam kasar.”
Mendengar kata-kata Rachel, Sergei menggerutu dan memutar bola matanya. Bagi seorang pria tua yang mempunyai aura seorang jenderal, itu ekspresi yang menganggap sesuatu tidak penting. Rachel melihat Jo Minjoon dan Chloe sejenak, lalu melihat ke tim yang lain. Barulah saat itu dia tahu alasan Sergei berbicara baik tentang Kaya Lotus, Rachel mulai melihat poin yang sebelumnya dia tidak bisa lihat.
‘Inderanya menakutkan.’
Pada pandangan pertama, mungkin tampak bahwa dia hanya memasak dengan kasar, tapi pemilihan waktu dalam membumbui atau menggerakkan wajan sungguh seperti seni. Orang biasanya hanya akan melihat ini sebagai keahlian dalam memotong dengan cepat, atau takjub oleh api yang menyambar ke atas wajan, tapi Rachel adalah seorang ahli. Memasak tepat pada saat yang tepat. Dia tahu dengan baik lebih dari siapapun soal poin kunci dalam memasak.
Kaya menunjukkan poin itu dengan sangat canggih. Anderson, yang disebelahnya, juga tipe yang jenius, tapi Kaya memberi kesan bahwa dia tidak punya apapun untuk ditunjukkan dibanding Anderson yang menerima edukasi elit. Bagi Kaya, yang tidak belajar apapun, dan hanya melihat bagaimana para amatir memasak di pasar, itu kemampuan yang sungguh luar biasa. Ada batasan pada apa yang dia pelajari dari para amatir, itu berarti bahwa dia berkembang dengan kemampuannya sendiri pada akhirnya.
“Omong-omong, secara tak terduga mereka berdua cukup diam. Aku pikir aku akan mendengar beberapa teriakan.”
“Iya. Aku juga terkejut saat ini.”
Secara tak terduga, Kaya dan Anderson tidak membuat perdebatan apapun. Meskipun temperamen mereka berdua seperti api, ada alasan mereka harus menahannya saat ini. Meskipun mereka bertengkar sedikit saat merancang resep, itu tak terhindarkan. Karena filosofi chef tidak selalu sama.
Hal yang menguntungkan adalah Anderson membungkukan sikap keras kepalanya sedikit, entah karena dia tidak ingin menunjukkan sisi piciknya di depan Rachel. Alan berkata.
“Tim merah semestinya dalam bahaya. Sepertinya salah satu poin kelemahan tim biru telah hilang.”
“Poin kelemahan?”
“Iya. Sejujurnya, Anderson dan Kaya adalah yang terbaik di antara peserta yang bertahan jika dilihat dari kemampuannya. Meskipun Chloe juga bagus, aku merasa bahwa ada sesuatu yang sedikit tidak pasti dalam masakannya. Aku juga mengakui potensi Jo Minjoon, hanya saja masih panjang jalannya hingga ini selesai.”
“Jadi apa poin kelemahannya?”
“Karakter mereka dan hubungan di antara mereka berdua. Sejujurnya, orang yang bisa menerima temperamen Kaya dengan lembut hanya Chloe dan Minjoon. Jika dia satu tim dengan salah satu dari mereka berdua, kau tidak akan tahu, tapi jika tidak, Kaya bukan orang yang bisa diterima oleh banyak orang dalam timnya terlebih jika dia satu tim dengan Anderson.”
“Pada akhirnya, jelas mereka akan bertengkar, itu adalah poin kelemahan. Apa itu yang kau maksud?”
“Iya. Namun, aku tidak tahu kenapa tapi sepertinya mereka telah mematikan temperamen mereka. Anderson membuat kesan bahwa dia lebih tenang dari pada biasanya…Mungkin, itu karena dia ada di depan kemenangan sehingga dia menjadi lebih serius.”
Setelah Alan menyelesaikan penilaiannya, para juri melihat peserta dengan mata penuh ketertarikan. Siapa yang akan menyajikan hidangan yang lebih unggul? Ekspektasi dan degup jantung mereka bisa terdengar.
Waktu hampir habis. Hidangan yang dipersiapkan Jo Minjoon dan Chloe hampir selesai. Sorbet dibuat dengan mencampurkan sari lemon dan jeruk nipis, parutan kulit jeruk nipis, dan alpukat. Di bawahnya ada beberapa potongan daging ikan salmon trout seukuran dadu yang direndam dalam saus yang dibuat dengan mencampurkan coriander, bawang merah, cabai, minyak rapa, sari jeruk nipis, garam, gula, dan lada hitam. Beberapa daun diletakkan di antara daging ikan salmon trout yang berwarna merah muda sebagaidekorasi, dan di atasnya, sorbet alpukat yang diletakkan dengan acak, membentuk formasi yang manis.
Para juri yang melihat itu menelan ludah. Meski mereka memakan sesuap, betapa lembut tekturnya dan betapa enak dan manis hidangan itu. Mereka mau tak mau berekspektasi seperti itu. Alih-alih plating yang meriah, sepertinya mereka lebih menunjukkan kesan lezat yang sepenuhnya. Mereka merasa sangat gembira saat mencicipinya, betapa lembut tekturnya dan betapa lezat dan manis rasa hidangan itu.
Puding almond memiliki bentuk yang rapi. Chloe meletakkan puding almond ke dalam cangkir wine yang berbentuk segitiga, tapi puding yang berwarna putih dan licin itu bisa terlihat melalui dinding gelas. Satu-satunya yang ditempatkan di atas puding adalah kacang pinus, tapi terkesan mewah.
Galbi domba yang menjadi hidangan utama, agak kurang mengesankan dibanding dua hidangan yang lain. Galbi domba, yang dipadukan dengan sayur-sayuran panggang, krim ikan teri, dan wine dressing, terlihat menarik, tapi tidak semenarik dua hidangan yang lain. Chloe meletakkan hidangan terakhir, galbi domba, di atas nampan. Selesai. Chloe tersenyum simpul lalu menoleh menatap Jo Minjoon. Tidak lama lagi, hidangan-hidangan ini akan dievaluasi. Sebelum itu, Chloe ingin menikmati waktu luang.
“Kau sudah melakukan dengan baik, Chloe!”
“…Ini karenamu.”
“Aku tidak banyak melakukan tugas.”
“Bukan. Kau sudah melakukan lebih dari yang kau pikirkan. Jadi, bagiku, aku harus berterima kasih.”
Chloe mengulurkan tinjunya. Jo Minjoon melihat kepalan tangan Chloe sejenak lalu membalas tos. Perasaan hangat mengalir selama beberapa waktu, saat kepalan tangan mereka menempel. Namun, kehangatan itu tidak bisa meredakan kegugupan Jo Minjoon karena dia bisa melihat sesuatu dengan matanya.
Dia ingin sebuah keajaiban, tapi di akhir perjuangannya yang singkat, semua hidangan yang dihasilkan berskor 8 poin. Skor masakan bukan segalanya, dia selalu berpikir seperti itu, tetapi tidak pernah terjadi saat skor masakan berbeda dengan hasilnya.
Itulah mengapa saat dia melihat hidangan Kaya dan Anderson, dia tidak punya keberanian. Dia takut. Skor 8 poin sungguh skor yang bagus, tapi dia takut untuk mengalahkan lawannya hanya dengan itu.
Ketakutannya membuat Jo Minjoon mengabaikan skor mereka tetapi sekaligus membuatnya penasaran. Mungkin, jika skornya tidak bagus, tidak seperti yang dia takutkan, kegugupannya akan sirna. Pada akhir perjuangannya, Jo Minjoon menoleh seolah-olah dia didesak oleh seseorang. Akan tetapi, seperti yang dihasilkan oleh kelemahan itu… hasilnya sama.
Chloe melihat Jo Minjoon. Apakah dia begitu gugup dan takut hingga dia tidak bisa tersenyum. Saat dia melihat wajah Jo Minjoon, dia merasa kecewa. Dia ingin menjadi kekuatan Jo Minjoon, seperti yang Jo Minjoon lakukan terhadap segala kekawatirannya saat dia sedang dalam masalah. Dia juga ingin menjadi langkah pertahanannya.
Chloe mengulurkan tangannya. Tangannya yang kecil, ramping, dan hangat menyentuh pundak Jo Minjoon.
“Jangan gugup. Aku bisa menerima apapun hasilnya. Kita telah mencurahkan kemampuan terbaik kita. Kita melakukannya dengan baik”
“…Iya. Benar.”
Sesi mencicipi dimulai.
<Empat peserta dan empat impian (5)> Selesai