Pain, Pain, Go Away - Chapter 7 Vol 1 Bahasa Indonesia
Bab 7: Pilihan Bijak
Translator: Kaon Nekono
Suara gemuruh guntur membangunkanku. Saat aku duduk untuk melihat jam, seluruh tubuhku terasa sakit.
Tubuhku bergemtar hebat dan kepalaku pusing. Rasa lemas, bahkan seperti butuh pemandu sorak untuk menggerakkan jariku, memenuhi tubuhku.
Aku sama sekali tidak banyak mengingatnya, tetapi aku merasa aku bermimpi tentang taman bermain lagi. Mungkin aku hanya dihantui oleh rasa nostalgia kekanak-kanakan setelah mengalami beberapa kali shok.
Di mimpiku, lagi, seseorang menggandeng tanganku. Dan entah apapun alasannya, saat kami berjalan, banyak orang yang kami lewati melihat ke arah kami.
Apa ada sesuatu di wajah kami? Atau keberadaan kami yang tidak cocok dengan tempat ini? Yang manapun, aku hanya menggelengkan kepala dan berkata “Silahkan saja; kau pikir aku peduli?”, dan bagai memamerkannya aku menarik tangan orang yang kugandeng.
Di situlah mimpi itu berhenti. Suara dari fotoplayer melekat dalam pikiranku.
Tiba-tiba, aku mendapat pemikiran. Mungkin ini bukan yang kedua, atau bahkan yang ketiga kalinya aku memimpikan hal ini. Déjà vu ini terlalu sering terjadi. Aku pasti telah mengunjungi tempat ini di mimpiku lagi dan lagi, dan melupakannya dengan mudah.
Apa aku punya keinginan kuat tentang taman bermain?
Atau mungkin mimpi itu hanya melambangkan masa muda yang tidak terpenuhi, dan secara tidak sengaja berwujud sebagai taman bermain?
Jam menunjukkan sekitar pukul 2. Awan tebal menutupi langit, membuatnya begitu gelap hingga membuatmu mengira sekarang sudah malam, tapi nyatanya pukul 2 siang, bukan pagi.
“Sepertinya kita tertidur cukup lama.”
Gadis itu, melihatku dengan siku di meja dan dagu yang ia sandar di tangan satunya, hanya mengangguk. Semua kebaikannya semalam hilang, dan ia kembali ke diri yang dingin-menusuk.
Setelah membasuh tangan dan wajah, aku kembali ke ruang tamu dan bertanya “Siapa target balas dendammu hari ini?” Tapi lalu, gadis itu segera berdiri dan meletakkan tangannya di dahiku.
“Apa kau demam?”
“Ya, sedikit. Mungkin aku juga masuk angin.”
Ia menggelengkan kepalanya. “Dipukul berkali-kali bisa membuatmu demam. Aku juga begitu.”
“Eh,” kataku mengulang, merasakan dahiku sendiri. “Ya, tidak perlu khawatir, ini tidak seperti aku tidak bisa bergerak. Sekarang, kemana aku harus pergi hari ini?”
“Ke kasur.”
Gadis itu mendorongku ke belakang. Dengan kaki yang tidak siap, aku dengan mudahnya terjatuh dan mendaratkan pantatku-dulu di kasur.
“Tolong, istirahatlah sampai demammu membaik. Kau tidak akan berguna jika seperti ini.”
“Setidaknya, aku bisa menyetir…”
“Menyetir apa, maksudmu?”
Akhirnya aku ingat jika kami kehilangan mobil kemarin.
“Dengan suhu seperti ini, dengan hujan ini, kau akan pingsan berjalan dengan kondisimu. Dan kau tidak bisa menggunakan kendaraan umum dengan baik, juga. Untuk hari ini, sebaiknya kita diam disini.”
“Apa kau tidak masalah dengan itu?”
“Aku tidak bisa bilang ya. Tapi aku pikir tidak ada pilihan lain yang lebih baik.”
Dia benar. Rencana terbaik saat ini adalah istirahat.
Aku berbaring menyamping dan membiarkan semua energi meninggalkanku, dan gadis itu menarik selimut yang ditata-rapi hingga kakiku.
“Maaf membuatmu repot. Tapi terima kasih, Akizuki,” kataku dengan biasa padanya.
“Kau bebas meminta maaf padaku kalau kau mau,” katanya, membalikkan badan padaku, “tapi setelah aku membalaskan dendam pada orang keempat, selanjutnya giliranmu. Jangan lupakan itu.”
“Ya, aku tahu.”
“Dan tolong, jangan memanggilku seperti itu. Aku benci nama keluargaku.”
“Baiklah.”kupikir namanya terdengar bagus, tapi apa itu membuatnya tidak senang?
“Bagus. Aku akan membeli sarapan. Apa ada barang lain yang kau butuhkan?”
“Perban besar dan penurun demam. Tapi kupikir kau harus menunggu hingga hujan sedikit reda sebelum kau pergi.”
“Tidak ada alasan untuk mengharapkan sesuatu mereda dan hanya menunggu. Kehujan atau tanpa apapun.”
Meninggalkanku setelah mengatakannya, gadis itu keluar kamar.
Tak berapa lama, aku mendengar pintu dibuka. Kupikir ia pasti kelupaan sesuatu, tapi bukannya gadis itu yang masuk, melainkan mahasiswi seni dari kamar sebelah.
“Woah, memang benar, kau terlihat buruk,” ia mengatakannya setelah melihat wajahku.
Ia mengenakan pakaian rajut yang terlihat-hangat, dan kontras dengan kakinya yang mengenakan celana pendek dan membuatnya terlihat lebih kurus dari biasanya.
“Setidaknya bunyikan bel,”saranku.
“Gadis itu yang meminta padaku,”katanya memberitahuku dengan sedikit ketidak nyamanan. “kami bertemu di lorong dan saling menyapa, dan ia menangis lalu memohon, “Dia demam, dan dia sangat kesakitan!””
“Itu bohong.”
“Ya, memang. Tapi bagian tentang ia meminta tolong padaku itu benar. Ia datang ke kamarku dan bertanya, “bisakah kau menjaganya sebentar ketika aku pergi belanja?””
Aku berpikir sebentar. “Itu juga bohong, kan?”
“Tidak, itu benar. Maksudku, bukan aku yang memulai percakapan itu, kan?”
Mahasiswi seni itu berjongkok untuk melihat wajahku dengan jelas. Lalu, ia mengalihkan pandangan pada tangan kananku yang keluar dari selimut, dan mengeluarkan kata “astaga.”
“Tanganmu terluka. Gadis itu juga terluka parah, tapi tanganmu terlihat lebih buruk dari semuanya. Jangan bilang kau terluka di semua bagian tubuhmu?”
“Tangan yang terparah. Lainnya tidak terlalu.”
“Hee. Tapi tetap saja, luka itu cukup parah. Tunggu sebentar, aku akan membawakan kotak pertolongan-pertama dari kamarku.”
Ia segera meninggalkan kamarnya, dan berjalan lebih cepat ketika kembali, memotong perban yang dipenuhi-darah dengan gunting dan memeriksa kelingkingku.
“Apa kau membasuhnya?”
“Ya. Sangat hati-hati dengan air mengalir.”
“Dan aku akan terus terang, apa kau ingin pergi ke rumah sakit?”
“Tidak.”
“Sudah kuduga.”
Ia mulai mengobati lukaku dengan kemampuan yang cakap.
“Kau mahir melakukannya,”kataku, melihat lukaku yang diperban.
“Adik laki-lakiku selalu terluka saat kecil. Aku membaca buku di kamar, dan ia masuk ke kamar dan berkata “Kak, aku terluka,” dan dengan bangga menunjukkan lukanya padaku. Jadi aku yang mengobatinya. Dia tidak pernah mendapat luka separah ini. Jangan beritahu dia, dia mungkin iri.”
Setelah memeriksa kondisi lukaku yang lain juga, ia menggelengkan kepala dan berkata, “Ya. Apa yang sebenarnya terjadi pada kalian?”
“Kami sangat kompak hingga terjatuh dari tangga bersama.”
“Hmm?”mahasiswi seni itu menyipitkan matanya dengan curiga. “dan setelah terjatuh, kau entah kenapa mendapat dua luka di kelingkingmu seperti dipotong dengan sesuatu yang tajam?”
“Benar sekali.”
Mahasiswi seni itu tanpa berkata memukul kelingkingku. Ia tersenyum puas melihatku merintih karena kesakitan.
“Jadi, ada rencana untuk segera jatuh dari tangga lagi?”
“Aku tidak bisa bilang tidak.”
“Apa kalian berdua berhubungan dengan dua perempuan yang ditusuk beberapa hari yang lalu?”
Aku memandangi gunting jahit gadis itu di meja- bagiku adalah sebuah hal yang sangat ceroboh dilakukan. Tapi mahasiswi seni itu sepertinya tidak menyadari pergerakan tidak biasa mataku.
Aku secara mental memuji intuisi bagusnya.
“Waktu yang berbahaya, ya? Baiklah, kami akan berhati-hati.”
“Jadi kalian benar-benar ada hubungannya?”
“Tidak. Sayangnya.”
“…Hee. Sungguh membosankan.”katanya mengambek. “Jika kau pembunuh yang membunuh dua orang, aku pikir kau mungkin membunuhku juga kalau kau mau.”
“Apa maksudmu?”, tanyaku.
“Ya, intinya, jika aku tahu kalian berdua adalah pembunuh, lalu aku bisa mengancammu. “aku tidak peduli apa alasanmu, aku tidak bisa melihat temanku melakukan hal buruk. Aku akan melaporkannya pada polisi!”, kataku, pergi ke kantor polisi. Kau mencoba menghentikanku apapun yang terjadi, tapi niatku sudah bulat, jadi kau memutuskan untuk membunuhku juga, dan menusukku hingga mati sama seperti ketika kau membunuh perempuan lainnya. Lalu bahagia selamanya.”
Aku berbicara penuh tuduhan. “Aku tidak bertanya soal bagaimana kelanjutannya. Kenapa kau ingin dibunuh?”
“Pertanyaanmu itu sama sulitnya dengan “kenapa kau ingin hidup?””, ia merosot. “Aku menganggapmu sebagai seseorang yang, diantara dua pilihan, dan tidak ingin hidup. Tapi apa aku salah? Apakah itu perubahan yang ada di matamu selang beberapa hari karena gadis itu memberimu alasan hidup?”
Aku tetap diam, lalu mendengar kebisingan di pintu. Gadis itu telah kembali.
Memasuki ruang tamu dengan tas belanja, ia mengamati suasana tegang mengisi ruangan dan berhenti.
Mahasiswi seni itu melihat ke arah gadis itu dan aku, lalu mendekat ke kakinya dan menarik tangan gadis itu.
“Hei, aku bisa merapikan rambutmu,”katanya pada gadis itu sembari mengelus rambut gadis itu. Lalu ia berbisik padaku, “Tenang saja, aku tidak akan mencurinya.”
“Aku percaya pada kemampuan memotong rambutmu, tapi kau harus meminta izinnya dulu,”saranku.
“Kau akan memotong rambutku?”, Tanya gadis itu tanpa ekspresi.
“Yup. Serahkan saja padaku.”
“…Oh begitu. Terima kasih. Silahkan saja.”
Aku tidak yakin dengan pilihan yang kuucapkan, tapi memutuskan untuk menyerahkannya pada gadis itu. Kupikir ia tidak terlalu mengkhawatirkan tentang rambutnya, jadi itu cukup mengejutkan.
Aku punya perasaan tidak enak tentang apa yang mahasiswi seni itu lakukan pada gadis itu, dan apa yang mungkin ia katakan, tapi di sisi lain aku berniat untuk mempercayai kemampuannya, dan sangat menantikan potongan rambut barunya.
Bagaimanapun, melihat sesuatu dibuat lebih cantik dari sebelumnya selalu menyenangkan.
Keduanya menghilang ke kamar mahasiswi seni. Aku memindahkan belanjaan dari tas ke kulkas, memasang CD Chaos and Creation in the Backyard dan memainkannya dengan volume kecil, lalu kembali tidur di kasur.
Aku berhenti mendengar guntur, tapi hujan sepertinya semakin deras. Hujan yang turun menembaki kaca dengan tetesan airnya.
Aku sendiri untuk pertama kali setelah beberapa waktu.
Sebagai anak yang sakit-sakitan, aku sering menghabiskan sore hari libur memandangi langit-langit atau keluar jendela seperti ini. Hujan di sore hari ketika aku izin dari sekolah karena sakit dan tidur sepanjang hari sendiri membuatku merasa seperti terlepas dari dunia.
Saat ini, aku tahu jika dunia tidak akan mudah berakhir, jadi aku tidak berkeliling dan mematikan suara mesin.
Sebaliknya, aku menulis surat.
———-
Aku sendiri sebenarnya hampir lupa, tapi kejadian selama beberapa hari terakhir dimulai karena tanggung jawabku pada Kiriko.
Semua karena aku memutuskan hubungan dengannya dan lalu, begitu lama waktu berlalu, meminta reuni, hingga aku menolong seorang gadis untuk membunuh dan terbaring terluka di kasur.
Mungkin ini bukan cara yang tepat menjelaskannya, tapi… Kenyataannya, bahkan setelah aku berhenti berkomunikasi dengan Kiriko, aku tetap menulis surat. Dan jika kau bertanya padaku kepada siapa surat itu, tentu saja, untuk Kiriko.
Tetapi, aku hanya menulisnya sekitar dua kali setahun, dan jelas sekali aku tidak akan pernah memasukkanya ke kotak pos.
Ketika aku punya hal menyenangkan untuk diceritakan, atau ketika aku punya hal yang menyedihkan untuk diceritakan, atau ketika aku merasa tidak kuat ketika sendirian, atau ketika segalanya bagai sia-sia.
Untuk menstabilkan pikiranku, aku menulis surat tanpa ada niat untuk mengirimnya, bahkan menempelkan perangko, lalu meletakkannya di laci. Aku sadar betapa anehnya hal itu, tapi aku tahu tidak ada cara lain menghibur diriku.
Jadi aku berpikir untuk melakukannya, untuk pertama kali setelah beberapa saat. Aku meletakkan peralatan menulis di meja dan memegang bolpoin. Aku tidak memikirkan apa yang akan kutulis, tetapi ketika aku mulai menulis tentang beberapa hari terakhir, aku sadar aku tidak bisa berhenti.
Aku menulis tentang mabuk dan menabrak seseorang. Gadis yang seharusnya meninggal berdiri di depanku tanpa luka. Kemampuan “penundaan” gadis itu. Membantunya membalas dendam.
Ia yang menusuk korbannya hingga meninggal dengan gunting jahit tanpa ragu. Kakinya yang lemas, atau muntah, atau tidak bisa tidur setelah membunuh. Kami yang menikmati permainan bowling dan makan setelah membunuh korban kedua.
Beberapa kali serangan balik menyakitkan dari korban ketiga. Dan aku menulis tentang bagaimana, walau berdarah dan terluka, kami berhasil pulang tanpa seorangpun yang menghentikan kami berkat parade Halloween.
“Dan aku pikir semua itu tidak akan pernah terjadi padaku jika aku tidak merasa sangat ingin bertemu denganmu.”
Setelah mengakhirinya dengan kalimat itu, aku pergi ke beranda untuk merokok.
Lalu aku kembali ke kasur untuk tidur.
Walau badai di luar, sore itu begitu tenang. Begitu tenang hingga terasa seperti disucikan.
Jika gadis itu tidak menunda kecelakaan, apa yang akan aku lakukan sekarang?
Aku mencoba menghindari pikiran itu terlalu dalam sebelumnya, tapi aku tidak bisa berhenti membayangkan pertanyaan fakta itu ketika aku duduk sendiri.
Jika aku menyerah tepat setelah kecelakaan, pasti saat ini adalah hari keempat aku ditahan.
Para detektif dan jaksa telah menyelesaikan investigasi mereka, dan aku entah bersiap untuk ditanyai di tempat kejadian, atau sudah selesai melakukannya dan memandangi langit-langit sel penjara.
Bagaimanapun, itu adalah prediksi optimisku. Ada kemungkinan, di dunia sebelum-penundaan, aku sudah lama memutuskan untuk bunuh diri.
Benar-benar menyerah akan kehidupan di titik aku menabrak gadis itu, mungkin aku menemukan pohon yang kokoh di dekat situ dan menggantungkan diri disana.
Kejadian itu sangat mudah dibayangkan. Meletakkan leherku di simpul, menghabiskan beberapa detik mengingat masa lalu, dan membiarkan kehampaan itu mendorongku untuk melompat. Dahan pohon itu akan berkeriat karena beratku.
Banyak orang berpikir jika bunuh diri butuh keberanian. Tapi aku merasa hanya orang yang tidak memikirkan bunuh diri dalam-dalam yang membayangkannya. Orang hanya salah menilai jika mengatakan “Jika kau punya cukup keberanian untuk bunuh diri, kau bisa menggunakannya untuk orang lain.”
Bunuh diri tidak butuh keberanian, hanya butuh sedikit keputusasaan dan sejenak kebingungan. Hanya satu atau dua detik dalam kehampaan bisa membuatmu bunuh diri.
Intinya, orang dengan keberanian untuk mati tidak berusaha bunuh diri – melainkan orang tanpa keberanian untuk hidup yang melakukannya.
Sel penjara, atau gantung diri di pohon (atau mungkin saat di tempat pembakaran mayat). Sebuah pemikiran yang pastinya muram.
Jadi sungguh ajaib karena saat ini aku bisa berbaring dengan nyaman di kasur dan mendengarkan musik kesukaanku.
CD mulai memainkan bagian keduanya. Aku bersiul ketika lagu Jenny Wren milik Paul McCartney terdengar.
Hujan akhirnya turun sepanjang hari.
———-
Sekitar pukul 6, aku terbangun karena lapar. Aku sadar jika aku tidak makan banyak hari ini.
Aku bangun dan pergi ke dapur, dengan satu-tangan membuka kaleng sup ayam Campbell yang gadis itu beli ke mangkuk, menambahkan air dan menghangatkannya. Tak lama, gadis itu kembali ke kamar.
Rambut panjang yang menjadi ciri khasnya dipotong pendek selehernya. Poni sebelumnya yang hampir-menutupi mata, masih cukup panjang untuk menutupi luka di bawah matanya tersembunyi, sekarang dengan kecerahan yang menyegarkan.
Ia melakukannya dengan baik, pikirku, terkagum pada kemampuan memotong rambut mahasiswi seni itu.
Ia sadar apa yang aku lakukan. “Aku akan melakukannya, jadi istirahatlah,”katanya dan mendorongku ke ruang tamu.
Aku sadar luka di wajahnya menghilang. Aku kira jika ia menundanya, tapi sepertinya bukan begitu; mahasiswi seni itu mungkin hanya menutupinya dengan riasan.
“Apa dia mengatakan sesuatu yang aneh padamu,?”tanyaku.
“Tidak. Dia sangat bersahabat. Aku merasa dia bukan orang yang jahat. Walau kamarnya sedikit berantakan.”
Aku bermaksud untuk menjelaskan jika itu bukan “berantakan,”, tapi memutuskan untuk mengurungkannya karena tidak ada gunanya untuk menjelaskan.
“Dia cukup handal, kan? Aku juga pernah memintanya memotong rambutku, dan dia memang lebih baik daripada penata rambut yang buruk. Ia selalu punya rasa benci pergi ke penata rambut, atau, kuduga rasa benci pada piñata rambut, jadi dia memotong sendiri rambutnya dan akhirnya menjadi sangat mahir melakukannya.”
“Tolong berhenti mengatakan hal yang tidak penting. Kalau begini demammu tidak akan turun.”
Beberapa menit kemudian, gadis itu datang dengan semangkuk penuh sup. “terima kasih,”kataku dan mencoba mengambilnya, tapi ia menyingkirkan tanganku.
“buka mulutmu,”perintahnya tegas.
“Tidak, kau tidak perlu melakukannya…”
“Lakukan saja. tanganmu terluka, kan?”
Tanpa waktu menjelaskan jika hanya tangan kananku yang terluka dan itu bukan tangan dominanku, gadis itu menyodorkan sesendok sup ke mulutku. Aku dengan enggan membuka mulutlebar, dan ia menyuapiku.
Supnya tidak terlalu panas hingga membuatku terbakar, tidak juga menjijikkan hingga membuatku ingin muntah. Nyatanya sup itu benar-benar aman dan sup ayam yang enak itu membuatku tidak nyaman.
“Tidak terlalu panas?”,tanyanya.
“Sedikit panas,”jawabku. Ia menyendok sup itu dan meniupinya sebelum menyuapiku. Suhu yang sempurna. Sendok itu meninggalkan mulutku. Sruut. Telan.
“Jadi, tentang targetmu selanjutnya…”, kataku memulai, tapi diganggu oleh sendok yang di masukkan ke mulutku. Sruut. Telan. “Diamlah dan makan,”kata gadis itu. Sruut. Telan.
Pemikirkanku tentang dirawat oleh orang yang kubunuh karena kecerobohanku begitu lebih daripada yang bisa kutangani.
“…Aku benar-benar tidak cocok melakukannya, ya?”, Tanya gadis itu setelah aku menghabiskan supnya.
“Tidak, kupikir kau hebat,”jawabku dengan sedikit keraguan, dan ia memiringkan kepalanya.
“Kupikir kau salah paham. Aku bicara tentang balas dendam.”
“Oh, begitu? Kupikir maksudmu tentang merawatku.”
Gadis itu merendahkan kepalanya dan memandang mangkuk kosong. “Jujur saja, aku takut akan kegiatan balas dendamku selanjutnya.”
“Siapapun pasti takut membunuh seseorang. Tidak seperti hanya kau yang merasakannya,” kataku menyemangati. “selain itu, kau sudah membunuh tiga orang sekarang. Kau tidak bisa bilang “tidak cocok” melakukannya, kan?”
Ia perlahan menggelengkan kepalanya. “Justru karena sudah membunuh tiga orang yang membuatku merasa ada di batasku.”
“Kau cukup penakut, ya. Kalau begitu, apa kau ingin menyerah pada balas dendammu, melupakan kemarahanmu, dan hidup dengan damai di sisa waktu empat harimu?”
Aku mengatakan hal itu bermaksud menghasutnya, tapi berbalik dari maksudku, ia sepertinya menanggapi apa adanya.
“…Jujur saja, itu akan jadi pilihan bijak, kan.”
“setelah semua ini,”gumamnya pelan, “seperti katamu, balas dendam tidak ada artinya.”
———-
1 November. Hari keenam setelah kecelakaan yang membunuh gadis itu, membuat kami berada setengah jalan perkiraan tenggat waktu sepuluh hari penundaannya.
Walau begitu, ia tidak bergerak sejak pagi. Demamku sudah sembuh, dan hujan sudah berkurang menjadi gerimis, tapi tepat setelah sarapan, ia kembali ke kasur dan menarik selimut hingga menutupi kepalanya.
“Aku tidak merasa sehat,”katanya. “aku tidak akan bergerak sementara.”
Jelas sekali ia hanya pura-pura sakit, dan ia berusaha menutupinya, jadi aku hanya bertanya langsung.
“Apa kau menyerah balas dendam?”
“…tidak sama sekali. Aku hanya merasa tidak dalam kondisi tebaikku. Tolong, tinggalkan aku sendiri.”
“Oh begitu. Baiklah, beritahu aku jika kau berubah pikiran.”
Aku duduk di sofa dan mengambil majalah musik dari lantai, membukanya ke halaman wawancara artis yang tidak pernah kudengar namanya. Aku tidak bisa acuh tak acuh tentang hal ini. Aku tidak punya alasan untuk bersantai dan membaca di situasi seperti ini.
Setelah menyelesaikan 5-halaman wawancara, aku membaliknya untuk membaca ulang dari awal, kali ini menghitung berapa banyak kata “menyedihkan” digunakan.
Jumlahnya sekitar 21, yang mana jauh terlalu banyak, dan aku juga merasa menyedihkan menghitungnya. Tidakkah aku punya hal lain untuk menghabiskan waktuku?
Gadis itu mengeluarkan kepala dari selimutnya. “Em, bisakah kau pergi jalan-jalan keluar sementara ini? Aku ingin sendiri.”
“Baiklah. Berapa lama sementara itu?”
“lima atau enam jam, setidaknya.”
“Telfon aku jika sesuatu terjadi. Ada telfon umum di luar apartemen, tapi aku yakin perempuan di kamar sebelah dengan senang hati akan meminjamkan miliknya.”
“Aku mengerti.”
Aku tidak membawa payung, jadi aku mengenakan tudung kepala jaket mod ku, memakai kaca mata hitam tidak terlupakanku, dan meninggalkan apartemen.
Hujan bagai-kabut perlahan meresap ke jaket. Orang-orang di jalan mengemudi dengan hati-hati dengan lampu depan mobil dinyalakan.
Tanpa tempat untuk dituju, aku berdiri di halte bus dan menaiki bus yang telat datang 12 menit.
Ramai di dalam, dan campuran bau pewangi badan membuat bau bis apak. Bis itu berguncang kasar, dan dengan lututku yang lemas, aku hampir kehilangan keseimbangan berkali-kali. Kata-kata tidak senonoh tertulis di kaca yang mengembun dengan tulisan khas anak kecil.
Aku turun di distrik perbelanjaan, tapi aku tidak punya banyak pikiran tentang bagaimana aku menghabiskan lima jam disini- lebih tepat aku tidak punya sama sekali. Aku pergi ke kafe untuk menyeruput segelas kopi sembari memikirkannya, tapi tidak satupun ide bagus yang terlintas.
Tidak peduli apa yang sekarang kulakukan, semua tidak akan berefek setelah penundaanku hilang. Kenyataannya, aku “sebenarnya” sudah ada di dalam jeruji besi, atau sejak aku membunuhnya.
Aku bisa menotal niat baik atau niat burukku, menghabiskan banyak uang, dengan terang-terangan mengabaikan kesehatanku – dan setelah gadis itu meninggal, semua akan hilang. Aku mendapat kebebasan terbaik.
Aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan, pikirku. Jadi aku bertanya pada diri sendiri: Apa yang ingin kulakukan?
Tapi aku tidak punya jawaban. Tidak ada sesuatu yang ingin kulakukan. Tidak ada tempat yang ingin kutuju. Aku tidak ingin apapun.
Apa yang kunikmati di masa lalu? Film, musik, buku… Mungkin aku punya kesukaan lebih pada semua itu dari orang kebanyakan, tapi semua itu bukan sesuatu yang benar-benar membuatku tergila-gila hingga aku tidak bisa hidup tanpanya.
Mungkin aku menikmati hiburan itu karena, pada suatu ketika, semua itu mengisi kekosongan luas dalam diriku. Aku menggunakan semua itu untuk membunuh rasa tidak kantuk dan kebosananku, seperti menelan obat pahit.
Tapi akhirnya, yang kudapat dari semua itu hanyalah pengetahuan akan betapa luas dan dalamnya kekosongan dalam diriku.
Sebelumnya aku berpikir jika ketika seseorang mengatakan lubang di dalam diri, maksudnya adalah sebuah jarak yang seharusnya terisi sesuatu tetapi tidak. Tetapi presepsiku itu berubah akhir-akhir ini. Lubang itu adalah celah yang membuat apapun yang kau lempar ke dalamnya menghilang. Sebuah kehampaan tanpa batas hingga kau bahkan tidak bisa menyebutnya “kosong.” Itulah yang ada dalam diriku, pikirku.
Pikiran sementara untuk mencoba mengisinya itu sia-sia. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain membangun tembok di sekelilingnya dan berusah semaksimal mungkin tidak menyentuhnya.
Setelah menyadari jika, hobiku berubah dari tipe “mengisi” menjadi “membangun dinding.” Aku mulai menyadari hal yang murni mengacu pada keindahan dan kebahagiaan, daripada introspeksi.
Itu bukan berarti aku bisa menikmati keindahan dan kebahagiaan dengan sungguh-sungguh, tapi hal itu lebih seperti menghadapi kekosongan dalam diriku.
Tapi sekarang, memikirkan bahwa aku bisa saja meninggal beberapa hari lagi, aku tidak merasa masih membangun dinding. Aku seperti anak kecil dengan mainan baru – Setidaknya bukankah aku harus lebih jujur bahwa aku bahagia?
Aku makan siang lebih awal dan berkeliling di sekitar distrik perbelanjaan, mencari sesuatu untuk membuat hatiku menari.
Aku menyadari sekelompok mahasiswa di trotoar seberang. Mereka terlihat tidak asing bagiku; mereka adalah teman sekelas satu fakultasku.
Segera menghitungnya, lebih dari 70% dari teman sekelasku ada di situ. Aku memikirkan perkumpulan untuk apa itu, dan menyimpulkan bahwa mungkin mereka telah menyelesaikan skripsi untuk topik tesis kelulusan. Karena kegiatan itu sekitar tahun ini.
Mereka semua tertawa bersama, rasa lega telah menyelesaikan sesuatu terlihat di wajah mereka. Tidak ada satu orangpun yang menyadariku; mereka mungkin telah melupakan bagaimana penampilanku sepenuhnya.
Sementara aku berdiri mematung, waktu berjalan seperti biasa bagi mereka. Sementara aku hidup dalam hari-hari yang tidak berubah, mereka semakin dewasa karena pengalaman sehari-hari.
Kenyataan ketika dihadapkan pemandangan yang membuat seseorang merasa-kesepian itu, aku sulit merasa terluka, adalah indikasi jelas dari masalah pokoknya.
Aku selalu seperti ini. Jika saja aku bisa merasa terluka di saat seperti ini seperti orang biasa, hidupku mungkin setidaknya akan jadi sedikit lebih berwarna.
Aku mengingat, ketika kelas tiga SMA, ada seorang gadis yang sedikit membuatku tertarik. Aku menndekripsikannya sebagai gadis pendiam, dan suka mengambil foto.
Ia selalu menyembunyikan kamera retro mainan di sakunya, dan akan menariknya untuk memfoto dengan ritme atau alasan yang seorangpun tidak bisa mengerti.
Ia punya kamera reflek lensa-tunggal, tapi sepertinya ia tidak menggunakannya, mengatakan “Aku tidak suka bagaimana kamera itu membuat orang merasa terancam.”
Dari waktu ke waktu, ia memilihku menjadi subjek fotonya. Ketika aku bertanya padanya, ia berkata “Kau subjeka yang sangat-cocok untuk film low-chroma.”
“Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi aku tidak merasa aku dipuji.”
“Tidak, tidak sepenuhnya pujian,”angguknya. “Tapi tetap saja menyenangkan memfotomu. Seperti memfoto kucing yang tidak tertarik pada apapun.”
Selang musim panas berakhir, sebuah kontes semakin dekat, dan ia membawaku berkeliling kota.
Kebanyakan tempat yang kami datangi dingin, dan terisolasi – taman yang dipenuhi rumput liar, sebuah tempat luas terbengkalai, stasiun yang bahkan tidak dilewati sepuluh kereta sehari, tempat parkir tak terpakai dengan jajaran semak tua. Aku hanya duduk di sana, dan dia akan menekan tombol foto lagi dan lagi.
Awalnya, aku sadar entah kenapa rasanya canggung gambarku dijadikan setengah-benda mati, tetapi setelah sadar ia memandangku murni dari sisi artistic, pikiran itu menghilang.
Tetap saja, ketika aku melihatnya menjaga foto yang terisi olehku, hatiku setidaknya entah kenapa tergerak.
Ketika ia mengambil foto yang bagus, ia menunjukkannya padaku dengan senyum seperti anak kecil yang tidak ia tunjukkan di kelas. Ia pikir aku mungkin satu-satunya yang tahu senyumnya itu membuatku bangga.
Suatu hari sabtu di musim gugur cerah, aku dengar foto yang ia ambil memenangkan penghargaan kontes, jadi aku berjalan-jalan ke tempat foto itu dipajang.
Melihat foto dengan aku di dalamnya di pajang di sebuah galeri, aku berpikir, aku akan mentraktirnya makan lain kali kami bertemu.
Dengan kesempatan sempurna, aku melihatnya di toko di jalan pulang.
Ada seorang laki-laki di sampingnya – seorang mahasiswa, berpakaian tampan dan rambut dicat coklat.
Gadis itu mencoba bergandengan tangan dengannya, yang membuat laki-laki itu memalingkan pandang tapi tetap melakukannya. Ia berekpresi dengan wajah yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Jadi ia bisa terlihat seperti itu juga, gumamku berpikir.
Setelah melihat keduanya bersembunyi dan berciuman, aku meninggalkan toko itu.
Setelah kontes berakhir, ia berhenti bicara denganku. Aku tidak terlalu peduli kami berbicara tanpa fotografi sebagai bahannya, jadi aku tidak merasa harus berbicara padanya juga. Jadi itulah akhir dari hubungan ala kadar kami.
Dan aku tidak merasa terluka, juga. Aku pikir mungkin aku tidak menyadarinya dan akan menggema padaku nanti, tapi ternyata tidak.
Aku tidak hanya segera pulih. Mengejutkannya, segera setelah aku melihatnya dengan laki-laki lain, aku tidak merasa sedikitpun rasa cemburu atau iri. Aku hanya berpikir “Sebaiknya aku tidak mengganggu mereka.”
Dari awal, aku pasti tidak punya keinginan agar ia menjadi “milikku.”
Mungkin orang bilang tidak lebih seperti pungguk merindukan bulan.
Kau tidak akan mendapat apapun, jadi kau hanya pura-pura seperti kau tidak pernah menginginkannya.
Jika memang benar, lalu seberapa hebatnya hal itu? Jika ada keinginan yang mendidih di dalam dadaku, siap untuk meletus kapan saja – aku mungkin tidak menyadarinya.
Tapi aku tentu saja mencarinya hal itu dalam diriku berkali-kali, dan tidak menemukan satu jejakpun. Hanya kebosanan abu-abu yang tersebar.
Akhirnya, aku adalah orang yang tidak bisa menginginkan sesuatu. Aku kehilangan kemampuan itu sejak dulu, aku tidak punya ingatan prnah memilikinya. Atau mungkin aku tidak pernah dilengkapi dengan hal itu sejak awal.
Dan dengan mudahnya terbuju dengan peraturan pengecualian, hubunganku dengan Kiriko, sekarang aku bahkan tidak bisa menemukan manfaatnya untukku.
Apa yang harus kulakukan dengan… dengan hal ini?
ku pergi ke gang dan menuruni tangga mendadak yang tipis. Disana aku menemukan arcade tempatku dan Shindo biasa bermain sepanjang waktu.
Seperti yang bisa dibayangkan dari tanda yang memudar, tempat itu dipenuhi kabinet yang semuanya mungkin lebih tua dariku, jadi sulit menyebutnya untuk “kalangan-muda.”
Mesin penukar uang dipenuhi solasi, asbak yang menghitam, poster yang warnanya pudar terkena sinar matahari, kabinet yang rusak di ujungnya dengan layar yang kabur dan suara bip dan bop yang terdengar murah.
Aku menghubungkan semua barang yang sudah lama kehilangan fungsinya ini setengah mati berusaha terus dipertahankan dengan ruang rumah sakit raksasa. Ya, lebih tepatnya rumah mati.
“Alasan aku memilih tempat membosankan ini,”kata Shindo, “adalah karena aku tidak merasa sesuatu memaksaku di sini.”
Aku menjadi rindu pada arcade ini dengan alasan yang sama.
Aku tidak pergi ke tempat ini berbulan-bulan. Aku berdiri di depan pintu otomati dan menunggu, tapi tidak terbuka.
Ada pemberitahuan di dinding tepat di sebelahnya.
“Arcade akan ditutup mulai 30 September. Terima kasih atas kunjungan Anda bertahu-tahun. (Catatan: Tutup jam 9 malam pada tanggal 30.)”
Aku duduk di tangga dan menyalakan rokok. Aku pikir seseorang membuang isi asbak itu, karena ada ratusan putung rokok yang terinjak-injak tersebar di sekelilingku.
Bagian belakang rokok, berkurang hingga ke filter coklatnya, terlihat seperti amunisi kosong yang terbasahi hujan.
Sekarang aku benar-benar kehabisan tempat untuk dikunjungi. Aku meninggalkan distrik perbelanjaan dan pergi ke taman acak.
Melihat tempat duduk tanpa sandaran, aku menyingkirkan daun yang gugur dan akupun berbaring, tidak peduli jika ada yang melihatku.
Langit dipenuhi awan berat. Daun maple merah perlahan menari hingga ke tanah, dan aku mengambilnya dengan tangan kiriku.
Meletakkan daun yang gugur itu di dadaku, aku menutup mata dan focus pada suara di taman. Angin dingin, daun yang baru jatuh di atas tumpukan daun, burung berkicau, sarung tangan menangkap bola softball.
Angin kuat bertiup, menjatuhkan banyak daun merah dan kuning di atasku.
Aku tidak ingin mengambil langkah selanjutnya, pikirku. Aku akan membiarkan diriku terkubur daun-daun ini.
Inilah hidupku. Tanpa menginginkan apapun, hidupku berdesis bahkan tanpa dinyalakan dengan api, hidup yang semakin lama akan membusuk.
Tapi aku masih tidak mengizinkan diriku menyebutnya sebagai sebuah tragedi.
———-
Aku selesai berbelanja dan kembali ke apartemen sedikit lebih cepat dari yang diberitahu. Aku berjalan sekitar satu jam membawa sebuah wadah seberat lebih dari 20 kilogram di punggungku, jadi seluruh tubuhku berkeringat.
Aku meletakkannya di lantai ruang tamu, dan gadis itu melihatnya, melepaskan headphone yang terhubung ke CD player, dan bertanya padaku, “Apa itu?”
“Piano elektronik,”kataku, sembari menyeka keringat. “Kupikir membosankan untukmu hanya duduk di sini.”
“aku tidak akan memainkannya. Aku sudah menyerah pada piano.”
“Oh, jadi percuma aku membelinya, kah?” aku mengerutkan alisku.
“Apa kau sudah makan sesuatu setelah aku pergi?”
“Belum.”
“Kau harus mengisi perutmu dengan sesuatu. Aku akan menyiapkan sesuatu segera.”
Aku pergi ke dapur dan menghangatkan sup kaleng yang sama dengan yang gadis itu berikan padaku kemarin.
Ia duduk di kasur memandang ke luar jendela, lalu melihatku membawa sendok ke arahny dan melihat di antara keduanya. Setelah sekitar lima detik kebingungan, ia dengan malu-malu membuka mulutnya.
Kemarin, sepertinya ia tidak menolak hal semacam ini, tapi sepertinya berbeda cerita lagi ketika ia yang dirawat.
Saat aku mendekatkan sendok ke mulutnya, ia menutup bibir tipis tapi halusnya.
“Aku tidak akan memainkan piano itu,”tolaknya setelah telanan pertama. “aku juga sakit.”
“Aku tahu. Kau tidak ingin memiankannya.” Aku menahan sendok penuh sup kedua.
Tetapi satu jam kemudian, gadis itu duduk di depan piano.
Sepertinya, dia tidak tahan mendengarku mencoba semua suara di sampingnya.
Aku memasangnya di depan kasur, dan ia dengan dengan lembut meletakkan ajrinya di tuts keyboard. Setelah beberapa saat menikmati saat ini dengan mata tertutup, ia memanaskan jarinya dengan memainkan beberapa etude Hanon paling penting, begitu tepat hingga kau tidak bisa mengharap yang lebih baik.
Volume nya cukup keras hingga bisa terdengar dari kamar sebelah, tapi tidak masalah, saat aku menyadari jika mahasiswi seni itu bisa menoleransi kualitas semacam ini.
Aku tidak punya telinga terbaik, tapi aku masih bisa mengatakan jika gadis itu membuat kesalahan besar dengan tangan kirinya. Dan tangan kanannya bermain begitu indah, jadi suara permainannya terdengar buruk.
Tangan kirinya, lumpuh di sekitar luka sayat, pasti terasa seperti sarung tangan kulit baginya. Sepertinya sadar akan hal itu, ia terkadang melihat tangannya dengan rasa muak.
“Buruk, kan?”, helanya. “Sebelum luka, tangan kiri ini adalah salah satu bagian penyelamatku. Tapi sekarang, terdengar seperti ini. Aku merasa seperti menggunakan tangan orang lain. Sekarang aku hanya bisa menampilkan penampilan yang membuat pemain atau pendengarnya merasa tidak nyaman.”
“Kalau begitu, kenapa tidak kau coba benar-benar menggunakan tangan orang lain?”, saranku.
“…Apa maksudmu?”
Aku duduk di sebelahnya dan meletakkan tangan kiriku di keyboard. Ia melihatku dengan curiga, tapi setelah melihat sekilas ia berkata “Oh,baiklah,” ia mulai memainkan bagian tangan kanan.
Untung saja, lagunya adalah lagu terkenal yang bahkan aku tahu: Prelude No.15 milik Chopin.
Aku bergabung dengannya pada hitungan ketiga. Aku tidak memainkan piano sejak beberapa decade, tapi tuts piano elektronik lebih ringan daripada grand piano, dan jariku bergerak dengan lembut di atasnya.
“Jadi kau bisa bermain piano,”kata gadis itu.
“Hanya cukup baik untuk menutupinya. Aku hanya mendapat beberapa pelajaran ketika kecil.”
Dengan tangan kananku terluka, dan tangan kirinya yang lumpuh, kami membantu tangan satu sama lain yang kurang. Dan permainan kami berpadu bersama lebih cepat dari dugaanku.
Ketika nada berganti menjadi hitungan ke-28, gadis itu mendekat ke arahku untuk mencapai nada terendah.
Sensasi itu mengingatkanku ketika ia tertidur di pundakku di kereta dua hari lalu. Walau sekarang aku tidak mengenakan jaket, jadi merasakan kehangatannya lebih jelas.
“Bukankah kau sakit?”, tanyaku.
“Aku sudah membaik.”
Berlawanan dengan nada kasarnya, nada yang ia mainkan begitu lembut dan berhubungan erat dengan milikku.
Memainkan ini dan itu, tiga jam berlalu seketika. Kami mulai menyadari kelelahan satu sama lain, jadi kami memainkan Spicks and Specks milik Bee Gee sebagai pendinginan, lalu mematikan piano.
“Kau bersenang-senang?”, tanyaku.
“Cukup untuk mengurangi kebosananku,”jawabnya.
Kami pergi jalan-jalan dan makan malam di restoran lokal. Kembali ke apartemen, aku membuat susu dan brandy yang kami minum sembari mendengarkan radio, lalu kami tidur lebih awal.
Gadis itu tidak bicara satu katapun tentang balas dendam hari itu.
Mungkin ia menyerah pada balas dendam. Ia bilang ia masih akan melanjutkannya, tapi aku yakin ia hanya keras kepala.
Jauh dalam dirinya, ia tidak benar-benar merasa bisa membunuh orang lagi.
Apa yang menunggunya setelah pengalaman mengerikan membunuh adalah rasa takut yang membuat kakinya lemas, rasa sakit yang cukup untuk membuatnya muntah, dan insomnia karena-rasa bersalah. Dan ada kemungkinan serangan balik yang tida terduga seperti dua hari lalu.
Sekarang, ia mengerti dengan jelas sia-sianya balas dendam.
Hari ini pastilah jadi hari paling damai untuknya. Ia bisa berbaring di bawah selimut mengenakan headphone mendengarkan musik sepanjang hari, memainkan piano sesukanya, makan keluar, meminum brandy, dan kembali tidur.
Hari seperti itu seperti jarang terjadi dalam hidupnya.
Aku harap ia bisa menerima hidup seperti itu, pikirku. Ia bisa melupakan semua tentang balas dendamnya, dan hingga hari efek penundaannya berakhir, menikmati kebahagiaan singkat namun pasti seperti hari ini.
Membeli pakaian, mendengarkan musik, memainkan piano, pergi keluar dan bersenang-senang, memakan makanan enak. Ia tidak haru mengalami kaki lemas, atau muntah, atau dipukuli oleh siapapun.
Aku, juga, tidak harus bekerja sebagai pembantu pembunuh lagi, dan mungkin bisa menghindari diri dari “Subjek untuk takdir yang cocok” sebagai korban kelimanya.
Apa ada cara aku bisa membimbingnya menelantarkan balas dendamnya?
Piano, aku rasa, adalah ide yang cukup baik. Aku menduga jika ada hal lain yang mungkin ia suka. Mungkin aku bisa membicarakannya dengan mahasiswi seni?
Sembari memandangi langit-langit aku memikirkannya samar, brandy itu mulai berefek, dan mataku menutup.
———-
Bahkan ketika aku tidur, otakku terus berpikir.
Aku melupakan sesuatu.
Misalnya, ada perasaan yang salah akan beberapa hari terakhir yang tidak bisa kuidentifikasi.
Itu mencapai puncaknya kemarin, ketika gadis itu berkata: “setelah semua ini, seperti katamu, balas dendam tidak ada artinya.”
Aku seharusnya merindukannya mengatakan hal itu. Gadis itu menjadi pasif akan balas dendamnya harusnya adalah hal yang membahagiakan untukku.
Seharusnya, begitu.
Lalu kenapa aku merasakan kekecewaan yang sangat besar?
Jawabannya datang cukup cepat. Mungkin aku tidak ingin mendengarnya takut. Aku tidak ingin ia segera menolak apa yang telah ia lakukan hingga saat itu. Aku tidak ingin ia dengan mudahnya membuang hasratnya, niatnya itu.
Dalam satu sisi, aku melihat gadis itu sebagai perwujudan dari kemarahan.
Tapi apa benar hanya itu?, aku mendengar sebuah suara bertanya.
Ya, hanya itu, jawabku. Aku ingin selalu merasakan hasrat kuat yang kurasakan darinya, karena itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah, dan tidak akan mungkin keluar dariku.
Salah, kata suara itu. Itu hanya interpretasi setelah-kenyataannya.
Kau kecewa karena alasan sederhana. Jangan membingungkan diri sendiri.
Aku mendengar helaan ditujukan untukku ketika aku bingung.
Baiklah, aku akan memberimu petunjuk. Satu dan satu-satunya. Kalau kau tidak paham setelah kukatakan ini, aku hanya buang-buang waktu mengatakan yang lain.
Aku hanya mengatakannya sekali.
“Apakah “hasrat” itu yang kau rasakan benar-benar berasal darinya?”
Hanya itu.
Aku menutup mataku dan memikirkannya lagi.
Aku mencium bau bunga yang nostalgia.
Aku berterima kasih pada Shindo.
Aku sadar jika aku salah.
———-
Aku melompat terbangun di tengah malam. Jantungku berdegup kencang.
Sesuatu meluap ke tenggorokanku – bukan muntah, tapi dorongan untuk berteriak.
Kepalaku benar-benar cerah, seperti aku terbangun dari tidur beberapa decade-lamanya. Saat aku berdiri, aku menginjak tempat CD dan mendengarnya retak, tapi aku tidak peduli akan hal itu sekarang.
Aku mengisi gelas dengan air dari wastafel dan meminumnya, menyalakan lampu di ruang tamu, dan mengguncangkan tubuh gadis itu untuk membangunkannya, yang tidur dengan tertutup selimut.
“Apa yang kau inginkan di jam segini?”katanya memastikan jam di sampingnya, lalu menarik selimutnya bersembunyi dari cahaya.
“kita akan pergi ke targetmu selanjutnya,” jelasku, menyingkirkan selimutnya. “Tidak ada waktu. Cepat bangun dan bersiaplah.”
Ia menarik selimutnya kembali dan menahannya dengan tangannya.
“Tidak bisakah kita tunggu besok?”
“Tidak bisa,”tolakku. “Harus sekarang. Aku merasa jika besok, kau tidak akan balas dendam lagi. Aku tidak ingin itu.”
Gadis itu berbalik untuk membelakangiku.
“… Aku tidak paham kenapa kau begitu antusias,”gumamnya.
“Bukankah lebih baik untukmu jika aku berhenti balas dendam?”
“Aku memikirkan hal itu, juga. Tapi aku berubah pikiran setelah dua hari duduk memikirkannya. Atau mungkin aku hanya sadar akan perasaanku sebenarnya. Intinya, aku ingin kau menjadi pembalas dendam tanpa ampun. Aku tidak ingin kau mengambil pilihan “bijak”.”
“Terdengar seperti tepatnya berlawanan dengan apa yang kau katakan selama ini. Bukankah kau yang bilang kalau balas dendam itu sia-sia?”
“Itu sudah lama kukatakan, aku sudah lupa.”
“Oh begitu,” ia menguap, meringkuk dan memeluk selimut lebih erat, “setelah membunuh target selanjutnya, kau pasti sadar kalau kau selanjutnya kan?”
“Ya. Tapi lalu kenapa?”
“Apa kau sebegitu inginnya mendapat pandangan baik dariku?”
“Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan “mencetak skor.””
“Oke, jadi kau hanya menggila,”gumamnya. “aku akan tidur. Kau tidur juga, dan mendinginkan kepala. Setelah pagi menjelang kau sudah tenang, kita bisa membicarakan hal ini lagi. …Sekarang matikan lampunya.”
Aku mempertimbangkannya. Bagaimana aku harus menjelaskan hal ini agar ia mengerti? Aku duduk di sofa dan menunggu kata yang tepat datang ke pikiranku.
“Kalau dipikir, ada banyak tanda sejak pembunuhan pertamamu.” Kataku memilih kata dengan hati-hati.”ketika kau membunuhnya, kakimu lemas, kan? Jujur saja, aku sadar kalau aku berpikir “sungguh pembunuh pengecut.” …Tapi bukan kau yang bertingkah aneh, aku yang aneh. Rekasimu normal, dan aku tidak. Bagaimana bisa aku bertingkah tenang setelah menyaksikan kematian seseorang? Memang tidak harus se-ekstrim reaksimu; bahkan hanya dengan tidak bisa tidur itu saja cukup.”
Gadis itu tidak mengatakan apapun, tapi sepertinya mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
“Setelah pembunuhan keduamu, juga, aku benar-benar tidak berbeda, tidak merasa jijik atau bersalah. Sebaliknya, aku merasakan sesuatu tersendiri, emosi yang tidak aku tahu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Hal itu pasti menutupi reaksi negatif yang kurasakand ari pembunuh. Lalu hingga kau melakukan pembunuhan ketigamu, aku berpikir aku hampir menyadari apa itu. Tapi aku tidak membuka mataku sepenuhnya hingga saat ini.”
Gadis itu duduk seperti digoyahkan oleh kekakuan dan melihatku dalam kebingungan.
“Em, apa yang sebenarnya kau katakan?”
Apa yang aku katakan?
Aku mengatakan tentang cinta.
“Kupikir aku jatuh cinta padamu.”
Kalimat itu cukup untuk membekukan dunia.
Semua udara keluar melalui celah di kamar, meninggalkan keheningan dari kekosongan.
“…Em?”, ia akhirnya berbicara setelah terdiam cukup lama.
“Aku tahu aku tidak punya hak semacam itu. Dan aku tahu aku orang yang paling tidak pantas merasakan hal ini di seluruh dunia. Aku sungguh lancang, bahkan. Karena, aku yang merenggut nyawamu. Tapi aku mengatakan hal ini dengan seluruh pikiranku: sepertinya aku jatuh cinta padamu.”
“Aku tidak paham.” Ia merendahkan dan menggelengkan kepalanya berulang kali. “Apa kau mengigau?”
“Kau terbalik. Aku sudah mengigau selama 22 tahun. Dan aku baru bangun sekarang. Aku tahu, sedikit telat memang.”
“Aku tidak paham satupun tentang ini. Kenapa kau merasa dipaksa mencintaiku?”
“Ketika pertama kali kau membunuh seseorang di depanku,” kataku memulai, “ketika blus mu dipenuhi cipratan darah, dan kau melihat mayat itu, menggenggam gunting mematikanmu, aku melihatmu dan berpikir, “Dia cantik.” …Awalnya, aku bahkan tidak peduli pada kenyataan aku punya perasaan. Tapi sekarang aku sadar mungkin itu adalah saat-saat terbaik sepanjang hidupku. Dan ini adalah pertama kalinya aku merasa jatuh cinta pada seseorang, sebenarnya. Aku, yang sepertinya menyerah untuk berdoa dan berharap akan sesuatu sejak dulu, berpikir, “Aku ingin merasakan saat-saat itu lagi.” Itulah betapa luar biasa indahnya pemandanganmu yang sedang membalas dendam.”
“Tolong jangan mengarang.” Gadis itu melempar bantal padaku, tapi aku menghalaunya dan bantal itu terjatuh ke lantai.
“Kau mencoba masuk ke buku baikku dengan cara seperti ini? Aku tidak akan tertipu,” katanya memandangiku. “Aku tidak suka ini. Metode yang kau gunakan ini yang paling kurang kusukai.”
“Aku tidak berbohong. Aku tahu kau tidak akan percaya. Aku mungkin yang paling membingungkan disini.”
“Aku tidak ingin mendengarnya.”
Gadis itu menutup telinga dan menutup matanya. Aku memegang tangannya dan menyingkirkannya.
Mata kami bertemu dengan jarak dekat. Tak lama kemudian, ia mengalihkan pandangan ke bawah.
“Dengar, aku akan mengatakannya lagi,” helaku. “Kau cantik ketika kau membalas dendam. Jadi tolong, jangan bilang ini sia-sia. Jangan berakhir dengan keputusan umum, dan sudah-dibuat itu. Setidaknya bagiku, itu ada artinya. Dalam hal keindahan, itu lebih berharga dari apapun. Jadi aku berdoa semoga kau bisa membalaskan dendam setidaknya pada satu orang lagi. Bahkan jika aku termasuk di dalamnya.”
Tangannya menyingkirkanku, dan ia mendorongku paksa di dada. Aku terjatuh ke tanah.
Tentu saja dia bereaksi seperti ini, pikirku, menatap langit-langit.
Orang macam apa yang hanya terima ketika diberitahu “aku jatuh cinta padamu” dari orang yang membunuh mereka?
Nyatanya, aku tidak berniat mengatakan sebanyak itu. Aku hanya ingin mengatakannya seperti “Aku bersimpati pada balas dendammu, dan aku berhak mengatakannya, jadi aku tidak ingin kau berhenti disini.”
Apa yang sebenarnya kukatakan, “sepertinya aku jatuh cinta padamu”? aku tidak pernah merasakan hal itu dengan benar sepanjang hidupku –dan mengatakannya pada pembunuh pengecut yang lima atau enam tahun lebih muda dariku? Apa aku hanya merasakan sindrom Stockholm?
Helaanku menyentuh tangan gadis itu, yang diulurkan apdaku.
Aku dengan kaku menggapainya, dan ia menggenggam tanganku erat dan menariknya.
Sesuatu seperti ini pernah terjadi sebelumnya, ingatku. Hujan turun deras saat itu.
Ada keheningan lama, masih dengan tangannya menggenggam tanganku. Ekspresinya berkata “apa yang aku lakukan?” memandang tangan kami, ia terlihat memikirkan sesuatu tengatng aksi tanpa sadarnya itu dalam-dalam.
Tiba-tiba, jarinya berhenti menggenggam, dan ia segera menarik tangannya kembali.
“Cepatlah dan bersiap,”katanya. “Kita mungkin sempat menaiki kereta terakhir jika kita cepat.”
Aku terdiam, dan ia melihatku puas.
“Ada apa? Kau suka padaku ketika aku balas dendam dengan indah, kan?”
“…Ya, memang,”kataku.
“sulit bagiku mengerti,”katanya mengejek. “Disukai olehmu dari sekian banyak orang tidak membuatku bahagia.”
“Aku tidak peduli. Kau tidak punya siapapun untuk dipercaya, jadi aku tahu aku bisa menemanimu tidak peduli seberapa tidak sukanya kau padaku.”
“Tepat sekali. Aku merasa sangat tidak suka.”
Ia menginjak kakiku. Tapi tidak cukup kuat untuk menyakitiku, dan saat kami berdua bertelanjang kaki; rasanya hampir sama seperti binatang yang menunjukkan rasa sayang pada yang lain.
Diluar sangat dingin, jadi kami keluar mengenakan jaket musim dingin. Di bawah serambi apartemen terparkir sebuah sepeda berkarat yang mungkin milik salah satu penyewa. Aku meminjamnya tanpa permisi, setelah gadis itu duduk di kursi belakang, dan mengayuh pedalnya menuju stasiun.
Tanganku di pegangan segera mendingin, mataku sakit terkena angin kering, dan luka di kelingkingku sakit terkena udara dingin.
Setelah menaiki bukit panjang, ada sedikit jalanan turun menuju stasiun. Suara berderit rem sepeda menggema di seluruh jalan perumahan yang tertidur.
Mungkin merasakan bahaya dari kecepatan yang bertambah, gadis itu berpegangan di punggungku. Jika hanya untuk alasan itu, aku harap turunan ini terus berlanjut selamanya.
———-
lucky
ditunggu chapter selanjutnya… ??????????????
lucky
lanjutkeunnnn