Dewa Memasak – Bagian 100: Resep cerminan diri (3)
Begitu kesimpulan sudah disepakati, peserta yang meninggalkan Grand Chef adalah Chloe.
Chloe punya resep yang sederhana yang mempunyai cita rasa enak, sedangkan hidangan Jo Minjoon sedikit kurang enak tetapi resepnya tidak masalah. Jika ditanya siapa yang lebih unggul, itu tidak akan bisa dijawab dengan mudah.
Aturan Grand Chef sudah jelas. Para juri membuat Jo Minjoon menjalani misi eliminasi karena makanan Korea buatannya tidak cocok dengan kompetisi ini. Tidak mungkin itu berubah.
Kesimpulan sudah dibuat. Jo Minjoon bertahan dan Chloe tersingkir. Sembari duduk di sofa yang ada di lobi, Jo Minjoon terus melamun, bukan karena syok terhadap Chloe yang tereliminasi, melainkan dia benci akan dirinya sendiri karena ingin bertahan meski melalui ketidakberuntungan peserta lain. Dia berpikir dia akan bebas dari keserakahannya itu.
“…Kenapa wajahmu muram?”
“Itu bukan suara yang familier. Saat dia menoleh, Rachel sedang melihatnya.. .Jo Minjoon tersenyum kecut dan berkata.
“Ini bukan waktunya untuk berekspresi ceria.”
“Meskipun temanmu tereliminasi dan kau bertahan, kau tidak senang?”
“Kami tidak bersama-sama dalam waktu yang lama, tapi dia adalah temanku yang sungguh aku hargai. Aku tidak seharusnya gembira, tetapi aku takut perasaan gembira mungkin ada dalam hatiku.”
“Jika kau orang yang normal, wajar bila berpikir seperti itu, tidak ada satu orang pun yang akan menyalahkanmu dengan menyebut kau tidak bermoral dan itu tidak perlu. Lihatlah Serguei. Apa dia bermoral?”
Jo Minjoon, alih-alih menjawab, dia memutar bola matanya dengan ekspresi canggung. Meski itu gurauan, dia tidak bisa menterawakan seniornya. Jo Minjoon bertanya dengan suara pelan.
“Kenapa Anda begitu perhatian pada saya?”
“Karena aku menyukaimu, lidahmu. Itu adalah berkah dari Tuhan.”(PR:Aku tahu! Hanya bercanda.)
Normalnya, itu pujian yang akan membuatmu bahagia. Namun, Jo Minjoon tidak bisa. Itu juga mengejutkan bagi Rachel karena tidak ada sedikit pun kebahagiaan di wajah Jo Minjoon saat mendengar itu. Jo Minjoon bertanya balik dengan suara pelan.
“Kalau begitu, jika saya tidak punya indera pengecap ini, Anda tidak akan peduli pada saya sejak awal.”
“…Mungkin. Tapi apa itu perlu?”
“Kemampuan yang aku punya berbeda dengan apa yang Anda pikirkan, Rachel. Mungkin, jika Anda sungguh mencari orang dengan indera pengecap yang mutlak…Kaya lebih baik.”
Jo Minjoon berbicara seperti itu lalu memalingkan muka. Kaya, yang kebetulan selesai diwawancara, tersentak karena Rachel menoleh untuk menatap dirinya dengan tiba-tiba.
“…Kenapa Anda menatap saya?”
Rachel tidak menjawab dan hanya menatap Kaya dan merasakan sesuatu tergantung di dadanya. Serguei juga berkata seperti itu, dan sekarang, Jo Minjoon pun demikian. Seseorang yang dia cari adalah Kaya Lotus. Jelas terlihat bahwa dia punya bakat hanya dengan melihat saat dia memasak. Jika Rachel tidak mengenal Jo Minjoon, Kaya mungkin akan menjadi batu permata yang akan Rachel ambil sebagai murid.
‘Apa saya membuat kesalahan…?’
Tatapan Kaya semakin tajam. Kaya duduk di sebelah Jo Minjoon lalu berkata.
“Kenapa Anda belum pergi? Bapak tua, Serguei, menghilang begitu acara berakhir.”
“Serguei punya restoran yang harus dijalankan.”
“Bukankah Anda juga punya?”
“Aku hanya pemilik, berbeda dengan chef kepala.”
Rachel berbicara seperti itu lalu menoleh pada Jo Minjon lagi. Meski Kaya adalah batu permata yang indah, Kaya tidak akan bisa sebagus pemuda ini di matanya. Itu adalah penilaiannya.
“Apa kau punya rencana setelah ini? Entah menang atau tereliminasi, kau harus punya beberapa rencana. Oh, apa aku terlalu ingin tahu?”
“…Tidak begitu. Jika saya menang, saya harus pergi ke banyak acara sebagai pemenang Grand Chef. Setelah itu, saya harus masuk ke restoran. Jika beruntung, saya mungkin akan diterima sebagai chef kepala. Akan tetapi,yang paling utama, saya bahkan belum siap untuk itu.”
“Ada banyak orang jenius di sana. Ada juga orang-orang yang menerima bintang Michelin setelah menjadi chef kepala di usia 20-an, dan di usia 30-an mereka mendapat bintang Michelin yang ketiga.”
Mendengar kata-kata itu, mata Rachel berkaca-kaca. Rachel berkata dengan suara pelan.
“Jika kau sungguh berpikir bahwa kau tidak punya bakat, datang dan carilah aku. Jika kau perlu pengajaran, aku bisa mengajarimu semua yang kau mau. Aku hanya ingin mengatakan hal ini.”
“…Anda tidak datang jauh-jauh ke sini hanya untuk mengatakan ini, bukan?”
“Menurutku, kau mungkin akan lebih tergerak jika aku mengatakan iya…Tapi malangnya tidak seperti itu. Aku juga harus mengumumkan pada dunia bahwa Rachel Rose belum mati. Aku tidakbisa terus hidup sebagai orang lanjut usia selamanya. Dan…”
Mata Rachel berpaling pada Kaya.
“Hidangan hari ini enak. Aku juga ingin mengajakmu. Suatu hari, kalian akan membutuhkan bantuanku. Jangan ragu untuk datang dan mencariku saat hari itu tiba.”
Rachel berdiri.
“Maaf, aku mengambil waktumu anak muda. Aku akan berdoa yang terbaik untuk kalian.”
Kaya menatap punggung Rachel yang menjauh dengan tatapan bingung.
“Kenapa dia seperti itu?”
“Apa?”
“Dia aneh. Pergi dan mencarinya. Kapan kita akan membutuhkan dia?”
“Terima saja sebagai kata-kata bijak. Itu berarti dia peduli terhadapmu.”
“Itu berarti bahwa…?”
Kaya memutar bola matanya ke atas seolah-olah masih bingung. Jo Minjoon menyeringai dan menjawab. Beban di hatinya berkurang, meski sedikit.
“Jangan pedulikan dia. Tetap jadi dirimu sendiri saja.”
Kaya tidak membalas dan hanya menatap Jo Minjoon. Dia juga punya mata dan was was terhadap sekitarnya. Dia bisa melihat dengan jelas situasi ini bukan situasi yang nyaman juga bagi Jo Minjoon.
“Sayang sekali Chloe tereliminasi… Tapi kau tidak perlu merasa berdosa.”
“Alih-alih yang berdosa…”
“Ekspresimu… Meski disayangkan, …sejujurnya aku senang. Bukan karena Chloe tereliminasi, melainkan karena kau masih di sini.”
Sinar di matanya menunjukkan keseriusan. Jo Minjoon hanya melihat mata Kaya. Dia tidak pernah merasa mata Kaya, yang berwarna biru dibawah lipatan kelopak matanya begitu serius. Kulit wajahnya yang tidak memakai riasan dan kulit di bagian bawah matanya terlihat lebih jelas dari sebelumnya. Hingga dia bertanya-tanya apakah selama ini dia hanya melihat Kaya dengan satu mata saja.
Entah itu basah karena saliva atau memang pada dasarnya lembab, bibirnya berkilau karena ada reflektor yang terbuka di dekat mereka. Tapi Kaya memalingkan muka. Anderson dan Chloe datang ke lobi. Chloe tertawa canggung.
“Hello.”
“…Kenapa tiba-tiba kau menyapa?”
Kaya menjawa dengan suara aneh. Anderson mengerutkan dahi.
“Jangan katakan itu pada orang yang sudah mati.”
“…Dengan mengatakan aku mati, justru itu lebih menyakitkan.”
Chloe berkaca-kaca. Anderson berdehem dengan wajah canggung lalu duduk. Kaya menajamkan matanya.
“Kenapa kau tidak menjaga kata-katamu lebih dulu?”
Anderson tidak bisa mengatakan apa-apa. Jo Minjoon menghela nafas dan melihat Chloe. Bukan karena Chloe telah melakukan suatu kesalahan padanya secara khusus, melainkan pada saat itu, dia terpikir hal yang sangat kejam. Jika kau manusia, mau tak mau kau terpikir hal itu. Tapi diaAkan tetapi Jo Minjoon meminta maaf karena Chloe memperlakukan Jo Minjoon seperti keluarga sungguhan dan pada saat itu dia sangat lembut hingga membuatnya salah paham.
“…Aku minta maaf, Chloe.”
Saat Jo Minjoon mengucapkan maaf, orang-orang yang disebelahnya menatap Jo Minjoon aneh, tidak terkecuali dengan Chloe. Dia bertanya karena dia bingung.
“Kenapa kau minta maaf padaku?”
Dia tidak bisa menjawab apa-apa. Sungguh memalukan menjawab itu. Meski dia mengatakannya, itu hanya akan menyakiti Chloe. Jo Minjoon memaksa tersenyum. Dia tidak ingin menatap Chloe dengan wajah menderita.
“Tidak, tidak ada apa-apa. Terima kasih untuk semua yang kau lakukan padaku.”
“Kenapa berterima kasih?”
Chloe menggaruk pipinya dengan wajah canggung. Kaya bertanya dengan suara yang kau bahkan tidak bisa mengatakan dengan gurauan bahwa itu suara yang ceria.
“Kenapa kau melakukan seperti itu?”
“Hah?”
“Misi? Kenapa kau tiba-tiba membuat makanan yang familier? Kau bahkan bisa membuat hidangan yang lebih baik.”
“Entahlah…Ada situasi saat ibumu menasehatimu dan bahkan kau tahu jika kau menjawabnya, itu hanya akan membuatnya semakin lama dalam menasehatimu, tapi kau tetap menjawabnya. Menurutku, aku merasa seperti itu.”
Itu jawaban yang aneh tetapi meyakinkan. Saat Kaya dan Anderson mengangguk, Jo Minjoon hanya menatap Chloe tanpa mengatakan apa pun. Chloe, pun, sepertinya ingin mengatakan banyak hal, tap dia tidak bisa melontarkannya karena ada Anderson dan Kaya. Anderson melirik Chloe dan tiba-tiba mendekatkan telepon yang bahkan tidak berdering ke telinganya.
“Ya, Martin. Iya. Sekarang? Siap.”
Anderson berdiri lalu melihat Kaya.
“Hei! Berdiri.”
“Apa? Kenapa kau tiba-tiba….”
“Martin bilang dia ingin bertanya sesuatu. Kita berdua harus pergi sebentar.”
“…Aku ingin sedikit lebih lama bersama Chloe.”
Kaya memajukan bibirnya sambil berekspresi sedih tetapi dia tidak bisa bertingkah seenaknya saat PD memanggilnya. Pada saat itu, tatapan Anderson dan Chloe bertemu. Anderson menyeringai dan Chloe yang melihat itu, samar-samar memahami situasinya. Chloe merona lalu menyeret kakinya. Jo Minjoon bergumam dengan suara yang terdengar aneh.
“Kenapa Martin memanggil mereka?”
“I, iya. Tidak wajar terjadi.”
“Baiklah, saat mereka kembali kita akan tahu.”
Jo Minjoon menatap balik Chloe. Mereka saling bertatapan, ada meja di antara mereka, dan mereka saling berpandangan dengan penuh kenyamanan dengan alasan masing-masing. Chloe berkata.
“Aku harus mengatakannya dulu.”
“…Kita bisa bertemu lagi. Soal memasak, kau akan terus melakukannya, kan?”
Sejujurnya, kata-kata yang telah Chloe katakan padanya terus terngiang di kepalanya. Itu menstimulasinya sekaligus membuat Jo Minjoon khawatir. Apa dia akan berpikir bahwa jalan ini tidak sesuai dengannya, lalu meninggalkannya? Chloe tersenyum perlahan lalu mengangguk.
“Jangan khawatir. Tidak, aku tidak berencana berhenti. Aku hanya…istirahat sebentar. Masakan yang ini bisa diselesaikan dan yang itu tidak bisa… Aku tidak suka terlalu membedakannya. Aku sudah bilang padamu bahwa aku akan menjalankan sebuah restoran.”
“Benar. Kau bilang kau akan menjalankan restoran pasangan. Semoga impianmu tercapai.”
Jo Minjoon mengatakan itu dengan lembut dan tersenyum sedih. Chloe hanya melihat senyumnya. Dia menyukai ekspresi itu yang bisa dia lihat sewaktu-waktu karena dia bisa merasakan bahwa Jo Minjoon memikirkan dirinya. Pada sebuah senyuman Jo Minjoon, Chloe membayangkan sepuluh atau dua puluh hal. Dia melihat hal yang tidak terlihat dan mendengar hal yang tak bisa didengar. Chloe berusaha mengatakan sesuatu.
“Jika aku menjalankannya, uang tetaplah uanga, tapi aku butuh suami untuk menjalankannya bersama. Suami yang juga seorang chef pastinya.”
“Oh. itu benar juga.” Itu impian yang sungguh sulit.”
Jo Minjoon tersenyum kecut. Chloe ragu-ragu sejenak. Barangkali, satu kalimat ini bisa mengacaukan semuanya. Tapi dia tidak bisa mundur. Anderson bahkan sudah berbohong dan memberinya ruang. Barangkali, dirinya saat ini begitu kacau… Akan tetapi, jika dia tidak bisa mengutarakan kata-kata itu, dia tidak akan menjadi kacau tetapi menyedihkan. Setidaknya dia ingin menghindari itu.
Chloe berkata, melalui bibirnya, lidahnya yang lebih basah dan merah dari sebelumnya menunjukkan diri tapi lalu masuk kembali. Saat Jo Minjoon berpikir bahwa suara desah yang keluar dari mulut Chloe, mata Chloe terbuka lebih lebar.
“…Aku akan bersyukur jika itu dirimu.”
Pada saat itu, mata Jo Minjoon bergetar. Perlahan dia menatap mata Chloe. Dia melihat luapan emosi yang sangat dasyat, seperti pusaran air. Jo Minjoon membuka mulutnya tetapi tidak untuk mengatakan sesuatu, tetapi untuk meluapkan ekspresi tercengangnya yang tanpa suara. Chloe masih menatap Jo Minjoon.
Kawatir dan ekspektasi, rasa malu dan keberanian, serta cinta tersirat di matanya. Bukan. Tidak hanya di matanya. Semua hal itu tersirat di wajahnya yang merona, mulutnya yang gemetar, dan air matanya. Yang paling utama, juga terkandung dalam tangannya yang terkepal. Jadi sudah jelas. Jo Minjoonn tidak mengerti bagaimana mungkin dia tidak merasakannya hingga saat ini.
Dan hal itu keluar lewat kata-kata Chloe.
“Aku juga bersyukur…jika kau ada di restoranku.”
<Resep cerminan diri (3)> Selesai