Dewa Memasak – Bagian 103: Gaya memasak (2)
Setelah 2 hari Anderson mendapat nama Anduksam, mereka diberi tahu bahwa misi akan dimulai
“Berkumpulah di dapur sebelum pukul 5.” kata staf Grand Chef.
Kaya melihat punggung staf itu dengan ekspresi yang tidak begitu ceria lalu bergumam.
“Pada akhirnya, satu orang lagi yang akan mati hari ini.”
“Jangan mengucapkan kata ‘mati’. Itu menyeramkan.”
“Oke. Hari ini, satu orang akan tereliminasi.”
“…Itu akan membuat suasana hatimu buruk dengan sendirinya.”
“Kalau begitu, kau ingin aku mengucapkan kata apa?”
“Diam saja. Dengan tidak memikirkan apa-apa itu lebih bagus.”
“Lemah sekali. Hadapilah kenyataan, jangan menghindarinya.”
Mendengar kata-kata Kaya, Jo Minjoon manyun. Sedagkan Kaya memperlihatkan gigi-giginya saat menyeringai, senyuman itu tampak lebih menjengkelkan hari ini.
“Aku menirukanmu, bagaimana?”
“Aku baru menyadari bahwa aku sungguh orang yang brengsek dan menjengkelkan.”
“Oke. Kalau begitu, aku sukses.”
Jo Minjoon melihat Kaya lalu mengulurkan tangannya.
“Bagaimana mungkin kau mengumpat seperti itu di saat hari ini, mungkin menjadi hari terakhir kita untuk saling bertemu?”
“…Jika kau tereliminasi, kau tidak berencana menemuiku lagi?”
“Bukan begitu, hari ini tidak akan menjadi yang terakhir bagiku.”
“Aku tahu kita akan saling bertemu lagi. Aku yakin. Itulah mengapa aku mengumpatimu.”
“…Jika kau sebegitu yakin, lebih baik doakan aku alih-alih mengumpatiku.”
Kaya hanya tersenyum lebar. Saat obrolan berakhir, seharusnya dia semakin gugup, tetapi Kaya justru semakin ceria. Terlepas dari obrolan mereka, mungkin sikapnya itu adalah bukti pertumbuhannya.
“Jika kau bertahan hari ini, aku akan melakukannya. Aku akan mendoakanmu.”
“Kalau Anderson yang bertahan?”
“Aku akan mengutuknya…dan kau juga.”
“…Anderson akan mendengar kutukan apapun yang terjadi, saat dia tereliminasi maupun saat dia bertahan.”
“Dia adalah orang yang membuat orang lain sangat ingin mengutuknya .”
Kaya memiringkan kepalanya. Lesung pipi kecil di sebelah senyumnya sungguh menggemaskan sedemikian rupa, seolah-olah ada cahaya yang muncul di depannya. Jo Minjoon berharap dirinya bisa menyentuh lesung pipi Kaya. Saat ujung mulut Kaya turun, tentu lesung pipinya juga hilang. Jo Minjoon mengerang jengkel. Kaya memiringkan kepalanya seolah-olah ada yang aneh.
“Kenapa? Ada sesuatu di mukaku?”
“Ada lesung pipi.”
“Aku punya lesung pipi?”
“Kecil dan agak samar. Tidak terlalu dalam.”
Kaya menyalakan ponselnya lalu melihat wajahnya. Senyum palsu muncul di wajahnya. Barulah saat itu lesung pipinya muncul dan dia mengangguk seolah-olah dia puas.
“Tentu saja, lesung pipiku cantik.”
“…Jadi, kau baru tahu kau punya lesung pipi.”
Setelah berbasa-basi sejenak, waktu kian berlalu. 4:47. Kaya melihat jam dinding tanpa berkata apa-apa. Dia bersikap begitu mengagumkan sebelumnya. Jo Minjoon menaikkan ujung bibirnya dan berkata.
“Kau gugup ya?”
“…Bukan itu.”
“Lalu?”
“Hanya saja…Ini tidak nyaman. Apakah mungkin aku bisa bertahan.”
Kaya memeluk lututnya. Jo Minjoon melihat Kaya dengan tenang dan berkata.
“Aku hanya suka satu pemain bola, satu violis, dan satu penyanyi. Aku menyukai mereka seperti itu, sengaja seperti itu. Baiklah, kau biasanya mengatakan bahwa karakterku sedikit spesial. Aku pun hanya punya satu chef yang aku suka: Kaya Lotus.”
“…Kenapa aku? Aku bukan siapa-siapa.”
“Karena aku tahu, kau akan menjadi orang seperti apa nantinya.”
Kaya menatap mata Jo Minjoon tanpa berkata apa-apa. Kata-kata yang Jo Minjoon ucapkan sepertinya tidak hanya untuk membangkitkan suasana hatinya. Dia selalu merasa seolah-olah Jo Minjoon sungguh mengetahui masa depan, lebih tepatnya, masa depannya. Jika tidak, Jo Minjoon tidak akan bisa yakin pada dirinya karena dia sendiri pun tidak yakin.
“…Boleh aku meyakini itu? Aku, yang yakin pada dirimu.”
“Kau bisa. Ini agak lucu untuk diucapkan pada lawanmu…bagiku, kau adalah orang yang membuatku ingin mengikuti langkahmu, sekaligus chef yang membuatku ingin berjalan di sebelahmu. Aku mengagumimu.”
Dengan mengatakannya dengan suara polos, ucapannya sungguh menentramkan hati. Telinga Kaya memerah, lalu dia memalingkan muka.
“…Di saat seperti ini, kau sungguh seperti playboy.”
“Kau tahu dengan baik aku bukan orang seperti itu.”
“Aku tidak….lupakanlah. Ayo pergi. Tinggal 3 menit lagi.”
Kaya berdiri. Jo Minjoon merasa sedikit menyesal bahwa mungkin satu di antara mereka akan tereliminasi, mungkin hari ini akan menjadi hari terakhir mereka bercakap-cakap dengan santai. Namun, ada sesuatu yang mereka harus pikirkan.
Saat mereka keluar dari aula, Anderson sudah pergi. Mereka berpikir mungkin Anderson lebih sensitif karena misi semakin dekat, tetapi ada jejak bantal dipipinya. Kaya berkata karena merasa aneh melihat Anderson.
“Aku pikir kau merasa terbebani, tapi ternyata kau bisa tidur?”
“…Jelas kita harus memulihkan stamina sebelum misi. Jika aku bersamamu, mentalku jelas akan melemah.”
“Siapa sekarang yang memperlakukanku seperti anjing cilik?”
“Kau sudah seperti anjing kecil.”
Kaya melihat Anderson dengan mata tajam lalu memalingkan muka sambil berkata.
“Taburkan sedikit garam pada masakanmu.”
“Kalau begitu, kau tambahkan sedikit lada.”
“…Apa sih yang kalian lakukan? Kalian seperti anak kecil.”
Jo Minjoon menghela nafas. Saat mereka tampak telah beranjak dewasa, mereka bersikap seperti ini lagi. Jo Minjoon berdehem.
“Ayolah jangan bertengkar dan lakukan dengan baik. Siapapun itu, yang tereliminasi, kalian harus memasak tanpa penyesalan dan menghabiskan waktu dengan baik.”
“…Aku paham.”
Anderson tidak menjawab apa-apa. Jo Minjoon menepuk punggung Anderson dan menyeringai.
“Ayo, Duksam.”
–
Saat mereka selesai pra-wawancara dan masuk ke dapur, udara dingin membelai mereka. Jo Minjoon menoleh. Ada gorden di belakang para juri. Apa ada sapi atau babi di balik itu? Jikalau iya, tetapi mereka tidak mendengar suara apapun.
Kaya dan Anderson berdiri di sebelah Jo Minjoon.
“Kalian menjadi tiga terbaik. Selamat. Sekarang sedikit lagi kalian bisa memetik hasil panen.” kata Joseph.
“Sebelum mengungkapkan misi, aku akan memberi kalian teka-teki. Mereka adalah pelanggan yang paling diharapkan kedatangannya tetapi memasak untuk mereka adalah yang paling susah sekaligus lawan yang paling sulit. Anderson, menurutmu, siapa mereka?”
“Entahlah. Anak kecil?”
“Anak kecil… Itu dapat dipahami. Tapi itu salah. Minjoon, bagaimana denganmu?”
“Mmmm…apa orang lansia? Karena tidak ada yang lebih pemilih dibanding mereka.”
“Tapi merekka pelanggan yang paling diharapkan datang. Baiklah. Kaya, coba katakan.”
Kaya tidak langsung menjawab. Dia adalah tipe orang yang akan terus berusaha sampai tebakannya benar. Saat juri meliriknya, Kaya menjawab dengan suara tidak yakin.
“Keluarga…….?”
Para juri tidak menjawab lalu tersenyum ceria. Pada saat itu, Emily mundur dan membuka gorden. Pada saat itu, Kaya menahan nafasnya. Matanya tampak memerah, lalu berkaca-kaca dan wajah Kaya tegang. Dia menutup mukanya dengan tangannya. Akan tetapi menutup muka, baginya itu menyedihkan, akhirnya dia menurunkan tangannya lalu menguatkan matanya. Apa yang dilihatnya memang keluarganya.
Tidak hanya Kaya, Jo Minjoon pun melihat ke depan dengan gemetar. Ibu dan adiknya ada di sana. Dia merasa ibu dan adiknya berdandan dan merapikan gaya rambut mereka karena akan terekam dalam siaran. Akan tetapi, meski setelah memakai riasan, wajah mereka tetap menunjukkan perasaan yang kompleks, yaitu sambutan, sesak, rasa bersalah, … bahkan sulit menyebutnya satu per satu
Sedangkan Anderson, dia agak santai ‘Mmm, mereka datang.’, ekspresinya hanya begitu, begitu pula dengan orang tuanya. Ayahnya memiliki ekspresi wajah sedikit khidmat, sedangkan ibunya, memiliki ekspresi wajah mirip seperti Anderson. Joseph melihat mereka kemudian berteriak dengan intonasi yang bagus.
“Sekarang, silahkan peluk keluarga kalian!”
Jo Minjoon memeluk Lee Hyeseon dan Jo Ara. Sebenarnya di Korea, tradisi memeluk keluarga cukup jarang, itu pun dalam situasi tertentu, tetapi…untuk sekarang, setidaknya pelukan itu mungkin tulus. Jo Minjoon berkata dengan suara seperti akan menangis.
“Bagaimana mungkin kalian datang?”
“Aku mendapat telepon beberapa minggu yang lalu, jika kau bisa bertahan hingga 3 besar, apakah kami bisa memberi kejutan padamu dengan datang ke sini…Aku setengah ragu, tapi akhirnya, kau bisa bertahan. Kau sudah melakukan dengan baik, benar-benar baik.”
“Sungguh sulit menahan untuk tidak menceritakannya padamu. Omong-omong, aku senang sekali melihatmu… Aah, kenapa oppa seperti itu? Oppa membuatku merinding. Jangan memasang muka seperti hendak menangis.”
Jo Minjoon menelan tangisannya yang sudah hampir keluar dari tenggorokannya. Dia tahu betapa keluarganya menderita karena dia ingin menjadi chef sebelum kembali ke masa lalu. Oleh karena itu, saat dia mendapat pujian ini, dia merasa berhutang budi lebih dari sebelumnya.
“Ayah…apa ada di kantor?”
“Iya. Dia tidak ingin datang, dia bilang bahwa dia sungguh sibuk.”
“Baiklah.”
Jo Minjoon mencubit pipi Jo Ara. Dia mengontrol kekuatannya agar tidak sampai menyakiti Jo Ara, tetapi Jo Ara mengerutkan dahi.
“Aduh, apa yang oppa lakukan? Aku sedang siaran, jangan perlakukan aku seperti anak kecil.”
“Kau memang masih anak kecil.”
“Lupakan. Hentikan.”
Jo Minjoon tersenyum sedikit lalu mengalihkan pandangannya. Kaya sedang memeluk keluarganya dengan air mata mengalir di pipinya. Tatapannya tertuju pada salah satu dari mereka. Berbeda dari Kaya, dia mempunya rambut berwarna coklat hampir pirang, dahinya berkerut aneh, kakinya terbuka dengan tidak biasa, penampilannya tampak seperti pasien yang menderita cerebral palsy pada umumnya. Apa dia Gemma Lotus?
“Lihat Bu. Aku benar.”
Mendengar suara Jo Ara, Jo Minjoon menoleh lagi. Jo Ara melihat Jo Minjoon dengan tatapan tajam seolah-olah dia tahu segalanya.
“Oppa begitu membantahnya…coba lihat sekarang. Hanya melihat dari siaran sudah jelas, benarkah tidak ada apa-apa di antara kalian?”
“Minjoon, aku tidak keberatan punya menantu orang asing…tetapi apa kau tidak masalah?”
“…Tidak ada yang tidak masalah atau apapun itu karena memang tidak seperti itu. Entah berapa kali aku mengatakannya.”
“Jika oppa tidak membela diri berulang kali, itu seperti hal yang mustahi. Dengan selalu mengatakan bahwa itu kesalahpahaman…”
“Lupakan. Ini program memasak, bahkan kita punya mic yang terpasang, jadi, ayo bersikap normal.”
Mungkin malaikat telah mengetahui bagaimana perasaan Jo Minjoon. Para juri memberi isyarat melalui mata mereka. Para peserta kembali ke meja masak mereka lagi. Joseph berkata.
“Tidak ada pelanggan yang lebih pemilih dan membebani dari pada keluarga sendiri. Ada banyak kasus di mana suami, ayah, atau anak Anda yang seorang chef berharap dia memasak untuk Anda setelah seharian berkutat dengan api dan minyak di restoran. Kebanyakan chef tidak pernah memenuhi harapan Anda karena memasak di rumah lebih melelahkan secara mental.”
“Sekaligus, tidak mudah mencocokkan dengan selera mereka. Dengan membandingkan bahan-bahan di dalam lemari pendingin di rumah dengan yang di restoran, kualitas dan variasinya jelas berbeda. Yang paling penting, keluarga Anda terbiasa dengan masakan Anda, dan keluarga Anda bisa mengucapkan komentar yang buruk dengan santainya tentang hidangan Anda. Tentunya, perasaan ingin memasak lagi untuk keluarga Anda akan sirna.”
Entah kenapa kata-kata dari mereka berdua bukan terdengar seperti penjelasan melainkan cerita tentang pengalaman mereka. Dengan mendengar suara yang mengandung kejengkelan itu, Jo Minjoon tersenyum canggung. Disatu sisi, orang tua Anderson mengangguk lalu saling bertatapan di antara mereka.
“Kesimpulannya, temanya adalah hidangan kelas atas untuk keluarga kalian. Hidangan itu harus terasa normal sekaligus mewah. Seharusnya kalian sudah paham betapa sulitnya itu. Kami tidak peduli metode apa yang kalian lalukan, entah makanan Asia, menu lengkap ala Barat, atau apapun itu. Itu pilihan kalian.” kata Emily.
“Dan…”lanjut Alan.
“Hal yang harus kalian paling perhatikan adalah kepuasan keluarga kalian. Tentu, penilaian terakhir ada pada kami, tetapi jangan lupa untuk mempertimbangkan keluarga kalian. Meski itu sebuah hidangan yang sederhana, masukkan keahlian dan kreativitas kalian ke dalamnya. Kami akan memberi kalian 2 jam untuk memasak. Waktu untuk merancang resep 30 menit. Mulailah merancang resep dari sekarang.”
Jo Minjoon hanya melihat keluarganya. Jantungnya berdegup kencang. Ini pertama kalinya dia menunjukkan dirinya dengan layak. Kalau begitu…
Dia harus menunjukkan dirinya pada mereka. Dia ingin menunjukkan pada mereka seberapa jauh dia berlari dan di mana dia berdiri saat ini…
…sekaligus chef seperti apa dirinya.
< Gaya masakan (2) > Selesai