Dewa Memasak – Bagian 106: Biaya Arbitrase (1)
Bibir Jo Minjoon gemetar. Dia memaksakan diri untuk bisa tersenyum, tetapi pada akhirnya, ekspresi di wajahnya hanyalah keputusasaan. Entah kenapa dia harus berekspresi seperti itu di saat keluarganya ada di sini. Dia tidak punya keberanian untuk melihat Lee Hyeseon dan Jo Ara.
Apa kaki Chloe juga terasa seperti ini minggu kemarin? Apa Chloe menyatakan perasaan padanya dengan suasana hati seperti ini? Dia merasa sesak. Emily berkata dengan suara lembut seolah-olah dia ingin menghibur Jo Minjoon.
“Minjoon, kau telah melakukan banyak hal. Meskipun kau tidak meraih kemenangan, kau bisa meraih kebanggaan telah sampai di sini.” kata Emily sambil menoleh ke belakang.
Lee Hyeseon dan Jo Ara berdiri dan menghampiri Jo Minjoon. Lee Hyeseon merangkul bahu Jo Minjoon dan berbisik.
“Aku bangga padamu, Minjoon.”
“…Mom.”
“Hanya karena kau kalah hari ini, kau tak perlu malu. Ibu sudah menonton semua siaranmu hingga sekarang dan aku bisa merasakan betapa besar usaha yang telah kau curahkan serta bakat yang kau punya. Jadi, putraku…”
Lee Hyeseon mengatakan dengan suara bercampur tangis.
“…Jangan menangis dan angkat kepalamu, oke?”
Jo Minjoon menelan kembali tangisannya dan menutup mata dengan tangannya. Kaya melihat Jo Minjoon dengan ekspresi tercekik. Ini pertama kalinya Kaya melihat Jo Minjoon seperti ini. Dia seorang pria dan selalu tampak dewasa. Akan tetapi dia yang sedang menangis saat ini, seperti seorang anak kecil yang lututnya terluka, tenggelam dalam rasa sakit.
Jika kau manusia, kau bisa menangis. Tidak ada manusia yang tidak pernah menangis sama sekali. Namun, Kaya tidak suka Jo Minjoon menangis. Jika tangisannya tentang sesuatu yang dia harukan di Rose Island, saat dia menyantap hidangan daging pipi sapi muda, itu tidak masalah. Jika itu tangisan karena Jo Minjoon merasa begitu sedih….dia tidak ingin melihatnya.
Namun, tidak ada yang bisa dilakukan Kaya. Tidak ada apapun di antara mereka. Tiba-tiba, dia teringat kata-kata yang pernah dia tanyakan pada Chloe, apakah mereka bisa terus menjaga hubungan ini bahkan setelah kompetisi berakhir, Chloe menjawab itu mungkin saja karena itu hatinya tersentuh.
‘Benarkah? Akankah cukup hanya dengan itu?’
“Hanya salah satu dari mereka yang berpisah…Dia merasa hatinya kosong setelah memikirkan itu. Kaya meletakkan tangannya di dada. Di balik lencana di dadanya, jantungnya berdebar kencang.
“Kaya, Anderson. Selamat. Kalian manjadi 2 terbaik sekaligus akan menjalani babak final Grand Chef. Apa kalian percaya diri akan menang?”
“Iya, aku bisa.”
Anderson menjawab dengan tegas tetapi Kaya tidak. Tatapannya masih tertuju pada Minjoon. Kameramen tersenyum lalu merekam Kaya dan Jo Minjoon yang berada di ujung tatapannya.
‘Ini terasa seperti merekam drama’
Saat kameramen tersenyum sendiri, Joseph menaikkan suaranya sekali lagi.
“Kaya!”
“…Ah, iya. Apa Anda mengatakan sesuatu?”
“Soal babak final. Aku bertanya apa kau percaya diri akan memenangkannya.”
“Tidak ada trofi atau sertifikat apapun di rumahku.”
Kaya berkata dengan suara agak pelan. Dia melihat Anderson dengan tatapan dingin lalu berkata.
“Ini soal waktu, aku akan mendapatkannya.”
–
Mungkin mereka sudah mempertimbangkan, bagi keluarga yang sudah jauh-jauh datang ke asrama Grand Chef mereka tidak harus kembali pulang esok harinya. Itulah sebabnya Jo Minjoon bisa dengan nyaman menjalani wawancara meski sudah larut malam. Ini wawancara pertamanya setelah tereliminasi.
“Aku tidak punya keluhan apapun dengan evaluasinya. Itu penjelasan yang amat sangat panjang lebar…Mereka hanya harus memilih salah satu yang paling buruk di antara semua peserta yang telah melakukan dengan baik. Membicarakan tentang hasilnya, ini hal yang sederhana, dibanding dua peserta yang lain, aku tidak bisa memberi mereka kesan yang banyak. Pada akhirnya, aku memang kurang…”
Di tengah-tengah berbicara, dia menghela nafas, bukan karena meratapi kenyataan, melainkan karena wajah Martin.
“…Martin, aku mohon, jangan tersenyum seperti itu. Itu sangat memperlihatkan kalau kau suka dengan hal ini.”
“Apa yang bisa aku lakukan jika aku memang menyukai ini? Sekarang aku bisa membuat proposal secara formal. Aku membicarakan tentang perjalanan mencicipi. Apa kau masih belum bisa membuat keputusan?”
“Sebenarnya, aku sudah sering memikirkan soal itu. Kompetisi ini tidak normal jika aku tidak tereliminasi.”
“Oke. Kalau begitu, mari kita kesampingkan dulu soal itu. Kita masih punya banyak waktu. Kapan rencananya kau akan kembali ke Korea? Bukan, apa kau punya tempat untuk menginap?”
“…Entahlah. Aku mengenal seseorang, tetapi aku tidak ingin mengganggu mereka. Apa ada alasan aku harus ada di AS?”
Martin tersenyum penuh arti. Dia berkata.
“13 Juli. Hari ini tanggal 25 Juni…jadi, 18 hari lagi. Apa kau tahu itu hari apa?”
“13 Juli…Oh, itu hari saat babak final diselenggarakan.”
“Final akan disiarkan secara langsung, dengan skala yang tak bisa dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya. Kami membutuhkan dirimu pada hari itu.”
Jo Minjoon mengangguk paham sambil mengatakan ‘aah’. Dia bisa menebak apa yang Martin coba katakan. Dia tidak ingat apakah sebenarnya babak final ditayangkan secara langsung, tetapi itu memang terjadi pada sesi setelah ini. Barangkali ini adalah sesi Grand Chef dengan reaksi terbaik. Jo Minjoon menyeringai.
“Sepertinya stasiun TV sangat mengapresiasi program Grand Chef.”
“…Yaa, kau adalah bagian penting. Karena setelah indera pengecapmu yang mutlak terungkap, jumlah penonton rata-rata meningkat sebanyak 10 ribu lebih.”
“Aku tidak berpikir bahwa kau akan menelponku hanya … Hingga posisi apa itu?”
“Hoho, apa yang sedang kau bicarakan?”
Mendengar pertanyaan Jo Minjoon, Martin menjawabnya dengan pertanyaan balik. Jo Minjoon melihat Martin seolah-olah dia tahu segalanya.
“Aku tidak berpikir bahwa kau akan menelponku hanya untuk memberi semangat. Apa ini ada hubungannya dengan misi?”
Tidak ada perubahan pada ekspresi Martin tetapi matanya gemetar sesaat. Dia berusaha menjaga ekspresi culasnya tetapi tiba-tiba dia menghela nafas lalu berkata dengan suara seolah-olah dia melepaskan semuanya.
“Meski benar, kau tahu aku tidak akan bisa menjawab. Baiklah. Aku akan tahu setelah ini setelah kami menelponmu sekali lagi. 10 teratas, selain dua orang yang harus menjalani babak final dan kau…maka ada Chloe, Sasha, Joanne, Ivanna, Olivia, Hugo, dan Marco, ada 7 orang. Mereka akan diundang pada hari itu. Aku tidak bisa mengatakan lebih dari itu. Kau boleh menebak-nebak apapun.”
“Baiklah, apa kau akan membayar biaya hidup selama aku di sini?”
“Aku akan memberi biaya hidup dan penginapanmu. Jika kau tidak bisa mencari kos, aku akan memaksamu untuk menginap di rumahku, jadi jangan menolaknya. Penawaran ini tidak sederhana, jadi kau bisa berpartisipasi sekali lagi dalam episode terakhir. Ini akan menjadi kesempatan terbaik yang kau punya sepanjang hidupmu.”
Jo Minjoon tidak bisa menebak apa yang Martin coba katakan. Martin menyeringai seolah-olah dia puas melihat ekspresi bingung Jo Minjoon.
“Kau bilang padaku sebelumnya bahwa program kita dicintai oleh stasiun TV. Aku akan membuatmu merasakan rasa cinta itu.”
“…Baiklah. Tidak ada yang bisa aku lakukan dan kesempatan untuk bertemu dengan temanku yang lain juga cukup jarang.”
“Kau sudah memikirkannya dengan baik. Kalau begitu, aku akan membicarakan soal yang tadi kita bicarakan. Soal misi mengecap.”
“Ceritakan padaku lebih banyak tentang itu.”
Tiba-tiba, suara dari wanita yang sangat kurus terdengar. Jo Minjoon terkejut dan menoleh ke belakang. Emily sedang melihat mereka berdua sembari berdiri di pintu. Jo Minjoon berkata dengan suara seolah-olah merasa lelah.
“Emily, Anda belum pergi?”
“Aku tidak sedang menunggu sebuah reaksi mengejutkan, tetapi kau berlebihan. Aku adalah penggemarmu.”
“Ah, bukan soal itu…”
“Lupakan. Aku bercanda. Tidak masalah kan kalau aku nimbrung? Menurutku, aku juga berhak untuk ikut berdiskusi”
“…Baiklah. Robert, bawakan satu kursi lagi di sini.”
“Tidak perlu, ada tempat duduk di sini.”
Emily berkata dengan ekspresi santai lalu duduk di sofa kosong sebelah Jo Minjoon. Dengan melihat Jo Minjoon menghela nafas seolah-olah dia lelah, Martin berpikir bahwa mereka berdua tampak seperti bibi yang menyenangkan dan keponakannya yang enerjik. Usia mereka pun seperti itu. Tentu, Emily tidak akan setuju jika dia disebut bibi.
“Minjoon, tidak perlu memikirkan itu begitu lama karena aku juga telah memikirkan tentang dirimu. Itu akan bagus jika kau menerima tawaran perjalanan mencicipi.”
“…Emily, aku akan bertanya jujur pada Anda. Kenapa Anda begitu ingin menyeretku ke dunia mencicipi? Seberapa pantas aku menjadi epicurean?”
“Jika kau ingin aku mengatakan alasannya, tidak akan ada akhirnya meski aku mengatakannya semalaman. Apa kau ingin mendengarkan semuanya?”
“Aku harap kau mengatakan tiga alasan yang paling penting.”
“Tiga hal…hanya tiga ya.”
Emily menyentuh dagunya dan tenggelam dalam pikirannya. Melihat wajahnya, terlihat bahwa sungguh ada banyak sekali alasan hingga dia kesulitan memilih tiga di antaranya. Setelah beberapa saat, Emily mendongakkan kepalanya, wajahnya agak serius, itu sungguh bukan seperti Emily.
“Kau adalah satu-satunya orang di dunia ini yang bisa menjadi bintang epicurean.”
“…Satu-satunya? Kau juga bintang, bukan?”
“Alasan aku seorang bintang bukan karena indera pengecapku yang luar biasa. Sebenarnya, ada banyak orang lain yang mempunyai indera pengecap yang lebih baik dari pada aku. Meski begitu, aku bisa menjadi juri di program ini, yaa…tidak ada yang perlu disembunyikan, itu karena aku pewaris bir Potter. Kehidupan mewah konglomerat, terutama, kemampuan mengecap yang cukup baik, posisi itu membuatku cocok.”
“Tentu, juga karena wajahku yang cantik seperti artis.”tambah Emily.
Jo Minjoon menggelengkan kepala seolah-olah dia terganggu dengan itu.
“Meski begitu, aku masih tidak paham kenapa aku satu-satunya orang yang bisa menjadi bintang epicurean.”
“Kau tidak mengerti? Kau satu-satunya orang di dunia ini dengan indera pengecap yang tak terbantahkan. Kau bisa merasakan apapun dalam hidangan. Hanya dengan itu, jika kau mengatakan bahwa hidangan yang hambar, memiliki rasa yang enak, hidangan itu akan menjadi hidangan yang lezat. Saat orang-orang yang mendengar itu mengunjungi restoran dan memesan hidangan yang sama, mereka akan mengklaim bahwa ada suatu cita rasa yang mereka tidak bisa rasakan. Hanya dengan lidahmu, orang-orang bisa percaya. Alih-alih epicurean yang telah berkelana ke berbagai restoran di seluruh dunia selama 10 tahun, mereka akan lebih memilih pendapatmu yang lebih benar!”
Emily mengatakan itu dengan wajah memerah.
“Kau bisa membeli kepercayaan orang-orang dengan mudah. Itulah hal yang paling sulit di dunia ini, tetapi bagimu tidak ada apa-apanya.”
“…Yang kedua?”
“Ini sederhana. Aku ingin melihat bagaimana dunia indera pengecapanmu itu. Seperti halnya seniman, epicurean juga butuh inspirasi dari dunia epicurean lain. Meskipn kau memakan makanan yang sama, bergantung dari penjelasan orang yang memakannya, cita rasanya bisa sangat berbeda. Aku ingin tahu dan merasakan bagaimana makanan diekspresikan di mulutmu karena hanya dengan mengetahui metodemu, hidupku akan lebih menyenangkan.”
Terlepas dari pujian, wajah Jo Minjoon tidak tampak ceria, justru semakin keras. Hal itu tak terhindarkan karena Jo Minjoon tidak memiliki indera pengecap semacam itu.
“Lalu apa alasan terakhir?” tanya Jo Minjoon tenang.
“Aku penasaran.”jawab Emily singkat.
Sama halnya dengan meski kau mengatakannya panjang lebar kau tidak akan bisa mengekspresikan semuanya, tetapi dia menuangkan semua perasaannya dalam kalimat yang singkat. Tentu, dia harus menjelaskan itu.
“Indera pengecap orang-orang berbeda, kesukaan mereka berbeda, dan bagaimana mereka merasakan hidangan itu juga berbeda. Kata-kata itu selalu disertakan dalam dunia pengecapan. Mungkin, jika kau bisa membuat standard kemutlakan…Jika kau bisa membedakan dengan jelas cita rasa pada suatu hidangan dan apa yang tidak ada…tidak akan sesederhana itu bagi epicurean, tetapi standar pengecapan bagi setiap orang di dunia ini akan meningkat, sebuah dunia yang mempunyai teori pengecapan mutlak, yaitu teori yang tidak bisa ditentang dan tidak subjektif. Aku membicarakan hal seperti itu.”
Jo Minjoon menutup mulutnya sejenak. Dia bukan seseorang yang bisa melakukan itu. Meskipun dia bisa berpura-pura memiliki indera pengecap yang mutlak…Dia tidak bisa memiliki kemampuan yang sesungguhnya.
Namun, dia tidak bisa mengatakan hal itu dan tidak ingin mengatakannya. Dia serakah, dia tidak ingin kehilangan kesempatan, itu akan menjadi pengalaman yang cukup bagus walau dia tidak mempunyai indera pengecap yang mutlak. Kekuatan resep akan membantunya bisa membuat resep dengan lebih handal.
Keheningan menyelimuti mereka bertiga dan orang yang menepis keheningan itu adalah Jo Minjoon.
“Anda akan menyesali itu.”
“…Apa?”
“Meletakkan ekspektasi yang terlalu tinggi padaku. Aku bukan orang yang seluar biasa itu.”
Hanya karena dia tidak luar biasa, dia tidak bisa mengabaikan kesempatan yang berkilauan di depannya. Ikan itu memakan umpan sang nelayan.
“Aku akan menerimanya. Penawaran itu.” kata Jo Minjoon
Mungkinkah ikan itu berubah menjadi ikan yang besar?
< Biaya Arbitrase (1) > Selesai