Dewa Memasak – Bagian 118: Perjalanan kuliner (3)
‘…Meski ini adalah batasan untuk hari pertama.’
Jo Minjoon melihat ke stik kayu di depannya dengan frustrasi. Mungkinkan mereka mendapat permintaan program hiburan Korea? Dia tidak bisa tahu. Yang paling utama, dia bahkan tidak tahu bagaimana program hiburan Amerika berlangsung. Emily bertanya dengan tatapan tajam.
“Tunggu. Berapa nilai tertinggi dan terendahnya?”
“Yang tertingi adalah 300 Real dan yang terendah adalah 50 Real. Selain itu, kau tidak akan bermasalah dengan makananmu. Hanya saja, itu akan sulit untuk mendapat makanan mahal dan melimpah.”
(Catatan PR: sebagai gambaran, harga Big Mac sekitar R$15.32, berdasarkan survei terbaru di sini.)
Meski begitu, beruntungnya nilai tertingginya cukup besar. Jo Minjoon tidak ragu, dia menarik stik lalu menghela nafas. Martin bertanya dengan wajah penuh ekspektasi.
“Berapa itu?”
“Aku sial.”
Jo Minjoon memperlihatkan stiknya. Wajah Martin, yang tersenyum simple, segera berubah suram seketika dia melihat stik itu. Martin manyun melihat hela nafas Jo Minjoon yang palsu.
“Ini 300 Real.”
“…Mari kita lanjutkan. Emily, Pilih salah satu!”
“Tunggu.”
Emily menunjuk stik di tangan Martin.
“Kenapa tidak kau kembalikan?”
“Ini sudah di pilih.”
“Kalau begitu aku hanya bisa mendapatkan angka di bawah 300 Real?”
“Iya.”
“Martin, walau program hiburan, tapi ini berlebihan. Momen orang-orang merasa lebih buruk adalah saat mereka tidak bisa makan apa yang mereka inginkan. Apa kau berencana membuatku merasa sedih?” kata Emily dongkol.
Martin tersenyum lembut lalu memperingatkannya seolah-olah dia menasehati anak kecil.
“Emily, seperti yang aku bilang, 50 Dollar itu banyak dan ini hampir setara 30 dolar. Jika kau menyantap makanan yang biasa, makan 2 kali saja akan cukup. Selain itu, di Brazil sangat murah-murah.”
“Meski begitu, menarik sedotan itu berlebihan. Aku bahkan tidak berekspektasi 300 Real. 100 Real…… Tidak, 200 Real. Beri aku 200 Real saja.”
“Emily, Kau tahu kan bahwa saat kau lapar, makanan akan terasa paling lezat.”
“…Aku paham. Aku akan tarik satu.”
Emily menjulurkan tangannya ke arah stik kayu dengan wajah seolah-olah dia menyerah. Tangannya yang gemetar menunjukkan betapa gugupnya dia. Dengan penuh pertimbangan, tangannya meraih sebuah stik. Dan saat dia menariknya, dia berkata dengan suara seolah-olah akan menangis.
“Aku tahu ini akan terjadi.”
Tertulis 50 di stik itu.
–
Setiap kali mereka melangkah, pasir masuk ke sepatu mereka. Emily dan Minjoon ada di São Paulo, di sebuah pantai entah apa namanya. Ini bulan July, masih musim dingin di Brazil. Tetapi cuacanya segar, alih-alih dingin.
Meski begitu, ada cukup sedikit orang yang berjemur di pantai. Beberapa orang berlarian di bibir pantai tampaknya mereka sedang joging, dan setap kali ombak berdebur, ada anak-anak terjerembab dan berteriak. Saat mereka melihat laut biru, kepala mereka menjadi dingin seolah-olah es meledak di depan mata mereka, dan melihat parasol yang bulat mereka merasa seperti dalam film.
Tetapi sepertinya Emily tidak bisa merasakan hal itu sama sekali. Yaa, bagi seseorang yang punya ribuan Dolar di laci mobilnya, entah bagaimana perasaannya setelah dia hanya diberi 50 Real? Tangannya terus memegangi dompetnya dengan penuh minat tetapi pada akhirnya, hanya ketidaknyaman yang tersisa.
“Berapa banyak 50 Real yang tadi dia katakan?”
“Sekita 30 Dolar?(Catatan PR: kurag lebih 13USD) hanya seharga tip.”
“…Kau memberi tip yang sungguh besar.”
Dia merasa bahwa dia hidup di dunia yang berbeda denga orang yang di sebelahnya. Emily terkejut dan menggelengkan kepala.
“Oh! Jangan salah paham. Aku bukan tipe yang menghambur-hamburkan uang. Aku hanya menghabiskan banyak uang untuk makanan karena itu akan membuatku merasa lebih baik.”
“Tetapi sekarang, kau bahkan tidak akan bisa melakukannya saat makan.”
“Aghh….. Aku harus menjalani program dokumenter bukannya hiburan.”
“Meski begitu, apa kau pernah menyantap berbagai makanan murah? Kau kan epicurean. Kau harus mencoba ini dan itu.”
“Ini memalukan, tetapi epicurean hanya menyantap makanan yang mereka sukai.”
Emily menjawab dengan tertawa malu-malu.
Jadi seperti inilah, tempat yang didatangi Jo Minjoon dan konglomerat menderita itu adalah toko spesial churrasco di pantai dengan bangunan dari kayu berwarna coklat, Churrasqueira. Sembari duduk di kursi warna putih dari kayu di bawah parasol, Jo Minjoon melihat ke sekelilingnya dengan ekspresi segar kembali. Pasir pantai yang berwarna putih di bawah sinar matahari. Dia cukup sering melihat pemandangan ini di layar tetapi sulit melihatnya langsung. Terlebih bagaimana rasanya menyantap makanan ditemani pemandangan ini?
“Aku ingin makan sesuatu di tempat seperti ini sesekali.”
“Menyantap banyak makanan, tetapi bukan aku yang membayaranya.”
Saat Emily bergurau dengan blak-blakan, wajahnya suram setelah dia melihat menu. Dia menggerutu pelan.
“Mungkin karena kita berada di pantai, jadi ini mahal. Menu prasmanan 110 Real… Aku bahkan tidak bisa memimpikan ini. Satu porsi irisan seharga 5 sampai 10 Real…dan batasnya 5 kali.”
“Bukankah 5 kali cukup?”
“Minjoon, kau belum pernah makan di Brazil, ya? Karena ini spot para turis, mereka sungguh bersikap menjengkelkan. Di banyak tempat, mereka memberikan irisan daging setipis kertas seolah-olah itu karya seni.”
“Hei,mereka tidak mungkin mengiris daging setipis kertas? Ada kamera yang sedang merekam, jadi mereka akan mengirisnya dengan baik. Jika mereka mengiris tipis,…”
“Aku bisa makan 6 kali lebih banyak darimu,, jadi itu tidak akan menjadi masalah.” kata Jo Minjoon sambil tersenyum santai.
“Hemmm, sekarang, karena aku bukan juri, kau akan bertingkah seperti ini, hah?”
“Kata-kata itu agak aneh. Bahkan saat kau menjadi juri, aku tidak sadar secara khusus.”
“Itu memang benar. Aku membesarkan seekor macan. eem, entahlah. Ini. Lihatlah menunya.”
Jo Minjoon menerima menu dari Emily. Daging mentah, lidah sapi, hati ayam, kaki domba, dan lain-lain tertulis di sini. Harganya sederhana. Churrasco, istilahnya di Korea jika kau ingin tambah lagi sampai puas, kau harus membayar 110 Real. Jika kau tidak ingin itu, kau harus membayar setiap kali kau menerima porsi irisan. Yang paling penting, memikirkan tip Emily…harga ini cukup memberatkan. Jo Minjoon melihat Emily dengan tatapan khawatir.
“Emily, Apa kita pergi ke tempat lain saja? Kita tidak harus makan churrasco hari ini.”
“…Kau pria pertama yang memperlakukanku seperti ini.”
“Kenapa denganku?”
“Pria yang mengatakan padaku untuk pergi ke tempat lain karena aku tidak punya uang! Bagaimana mungkin. Aku tidak pernah membayangkan dalam hidupkku bahwa…Oh, kumohon potong dialog itu. Kau tahu itu hanya lelucon, kan?”
Martin hanya tertawa alih-alih menjawab. Emily memegang kaos dan mengibaskannya. Jo Minjoon melirik Martin lalu bertanya,
“Martin, mungkin……”
“Tidak bisa.”
“Apa kau tahu apa yang hendak kukatakan?”
“Kau hendak bertanya agar aku mengizinkan kalian berbagi makanan dan hanya salah satu yang membayar. Aku tidak bisa mengizinkan itu dari awal.”
“Tidak masalah, Minjoon. Aku menyerah dengan churrasco dan aku akan makan yang lain. Dari yang aku lihat, mereka juga menjual kari dan daging stroganoff.”
“…Kau sungguh tak apa?”
“Apa yang bisa kulakukan? Kenyataan ini begitu kejam.” kata Emily sambil tersenyum seperti tokoh utama yang tersiksa
Emily segera memilih menu. Pada akhirnya, yang dia pesan adalah feijoada seharga 20 Real. Itu adalah hidangan yang mengandung beberapa potong daging, seperti osso buco dalam saus kacang berwarna hitam. Mau tak mau Jo Minjoon terkejut saat dia melihat hidangan itu karena untuk ukuran makanan di kota kecil, skornya cukup tinggi. Skor makanan itu 8.
“…Emily, apa ini tempat yang terkenal?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Aku tidak ke sini sesering itu. Kau akan tahu dengan melihat sebelumnya bahwa aku hanya pergi ke mana kakiku melangkah.”
“Tetapi aromanya sungguh enak.”
“Aku bertanya-tanya apakah cita rasanya juga…Mm. Cita rasanya juga enak. Oh, tidak. Ini bukan enak, tetapi luar biasa. Yaa, kebanyakan feijoada seperti ini. Ini adalah hidangan yang kau harus mencurahkan banyak usaha untuk membuatnya, mudah memberikan citarasa, tetapi, justru itulah usaha tersulitnya. Apa kau tahu berapa lama untuk membuat fe ijoada yang baik?”
“Berapa lama? Aku bahkan tidak pernah tahu hidangan itu.”
“4 hari. Iya, empat hari. Satu hari merendam kacang, satu hari lagi untuk memasak daging, dan jika kau mendidihkannya lagi bersama dengan bawang bombay, kacang, bawang putih, dll. selama beberapa hari, ini lihatlah.”
Emily mengangkat sepotong daging dengan sendoknya. Di antara kacang berbentuk bundar, daging di letakkan di atasnya seperti sebuah mahkota. Daging yang matang dengan tepat terlihat cukup empuk meski dilihat sekilas pertama kali dan saus yang meresap kedalamnya begitu sedap hingga ke dalam. Dia pikir akan sulit membedakan cita rasa saus dan daging jika tidak bercampur dengan baik.
Emily segera memasukkan daging ke mulutnya. Cita rasa kacang yang menyentuh lidahnya bentrok dengan cita rasa kuat dari daging babi. Dagingnya meleleh seketika. Entah apa bisa diekspresikan seperti sudah meleleh beberapa saat yang lalu, daging itu hampir tidak bisa mempertahankan bentuknya. Meski begitu, karakteristik serat daging menstimulasi lidahnya sejenak, sedikit kebahagian terlihat di wajah Emily.
“Oh, aku tidak berekspektasi banyak karena ini kedai churrasco, tetapi jika hidangannya seenak ini, kedai ini benar-benar bagus. Aku bisa merasakan bahwa pikiran chefnya tulus.”
“…Apa sebegitu lezat?”
“Setidaknya untuk makanan, aku tidak pernah berbohong dan…”
Emily berhenti. Di sebelah Jo Minjoon, seorang pria berbadan besar dan kekar berdiri dengan tusukan sate yang besar dan pisau di tangannya. Di tusukan sate itu, ada banyak potongan daging siap makan yang berbentuk melengkung seperti busur. Picaña. Itu adalah salah satu menu churrasco yang paling populer bagi orang Brazil dan terbuat dari daging pantat sapi. Terdengar suara dengan aksen bahasa Inggris.
“Boleh saya bantu iriskan untuk Anda?”
“Ah, iya.”
Pria tersebut mengiris daging dengan lembut. Meskipun bagi orang normal, itu tidak akan tampak begitu mengesankan. Jo Minjoon bisa melihat bahwa irisan daging dengan ketebalan yang seragam tanpa merusak komposisi otot daging merupakan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh orang biasa.
‘…Skor masakan 7.’
Untuk mendapatkan skor 7 hanya dengan membakarnya, itu tingkat kematangnya sungguh tepat. Tentu saja, itu juga diiris dengan baik.
Saat pria itu mengiris daging lagi, aroma karbon tebal dan garam menunjukan cita rasa asam dan manis. Cita rasa darah dari daging sapi yang bercampur dengan api, tidak terasa amis sama sekali. Saat dia makan itu dengan saus yang terbuat dengan bawang bombay, saus cabai, dll., dia tidak menerima penolakan sama sekali.
“Lihat, Emily. Ini tidak setebal kertas.” kata Jo Minjoon.
“…Entahlah. Itu mungkin karena ada kamera atau mungkin karena ini kedai yag sungguh bisa dipertimbangkan. Apapun penyebabnya, pada akhirnya, itu hidangan yang tidak bisa aku makan.”
“Hidangan ini membuatku sedikit nyaman karena enak.”kata Emily sambil meletakkan feijoada di atas roti.
Jo Minjoon tersenyum ceria lalu menyentuh wajan hijau yang ada di sebelahnya. Maksud dari wajan itu dicat warna hijau di satu sisi dan warna merah di sisi yang lain, yaitu hijau berarti aku akan terus makan dan merah aku akan berhenti makan. Tentu, dia masih lapar hingga tidak menunjukkan warna merah.
Secara pribadi, yang paling enak bagi Jo Minjoon adalah hati ayam, meski skor masakan hanya 6. Karakteristik segar dari hati adalah tekstur kenyal dan sensasi yang sangat enak saat menyentuh bibir. Makanan paling lezat berikutnya adalah sosis, lucunya. Skor masakannya 7, tetapi, lezatnya tentu bukan karena skornya.
Kesan yang dirasakan Jo Minjoon tentang saos buatan sendiri yang kasar dan cita rasa yang sedap, berubah secara instan.
Kulit yang renyah, hancur seperti sebuah lapisan gula dan sari daging mengalir saat giginya perlahan menggigit daging. Yang paling penting, saat aroma karbon meleleh dengan cita rasa gurih,yang Jo Minjoon rasakan adalah keceriaan. Mungkinkah ini dominan karena citarasa? Dia tersenyum dengan suasana hati yang baik.
“Kedai ini membuatnya dengan baik.”
“Apa itu enak?”
“Iya, sungguh.”
“Enaknya.”
Emily menggigit sendoknya. Kemudian, pria tadi mendekati mereka lagi. Dia mengiriskan sepotong daging sirloin yang dilapisi saus bawang putih ke atas piring Jo Minjoon, lalu dia juga bertanya pada Emily apakah dia juga mau. Emily mengangguk dengan ekspresi terkejut tapi kemudian menggelengkan kepala.
“A, aku mau tapi aku tidak memesan menu prasmanan.”
“Ini pelayanan karena kau cantik.”
Mendengar cantik, Emily refleks tersenyum kemudian dia melihat Martin sekilas. Martin mengangguk dengan ekspresi yang mengatakan seolah-olah secara khusus mengizinkan Emily. Emily melihat pramusaji seolah-olah dia menemukan sebuah emas.
“Beri aku!”
Pramusaji tersenyum lalu mengiris daging agak tebal. Jika setebal itu, kau akan bertanya-tanya apakah sisi bagian dalam sudah matang, tetapi kalau memang ahli ya ahli, bagian dalamnya pun sudah matang dengan tepat.
Martin sedikit tersenyum lalu melihat pemandangan itu. Ketika seseorang yang tidak bisa makan dengan benar, mulai menyantap makanan, penonton akan merasa puas seolah-olah mereka sendiri yang memakannya.
‘Dia akan sungguh bahagia tiada tara saat dia tahu kenyataan bahwa awalnya kita hendak memberinya hanya 10 Real alih-alih 50 Real.’
Meski begitu, beruntung temperamen Emily tidak seperti itu. Saat partisipan lain datang dan Martin membuat lelucon yang sama, entah bagaimana reaksi mereka.
‘Ini saatnya untuk lidah Inggris beraksi.’
Pramusaji yang melewati dan memandang Martin, menjilat bibirnya dengan tatapan aneh kemudian menghilang.
< Perjalanan Kuliner (3) > Selesai