Dewa Memasak – Bagian 121: Hukum pengecapan (3)
Ketika sarapan hampir selesai, Martin berkata
“Minjoon, menurutku ini waktunya untuk bertanya, tetapi bolehkah aku bertanya?”
“Apa kau sedang membicarakan resep?”
“Iya. Aku bahkan tidak berharap resepnya. Bisakah kau menebak semua bahan-bahan dengan benar?”
Jo Minjoon memejamkan mata sejenak. Perlahan, dia melihat bahan-bahan pada layar sistem. Bahkan untuk perbedaan kecil yang tertulis di sini, Kaya, yang sesungguhnya mempunyai indera pengecap yang paling mendekati sempurna, tidak akan bisa mengetahuinya. Jika mereka bertanya pada Jo Minjoon, pada tahap apa atau kacang apa yang mereka gunakan, dia bisa menjawabnya.
‘Sampai mana kekuatan ini akan bagus untuk dikontrol?’
Penting untuk menunjukkkan kemampuannya sampai pada batas yang orang-orang bisa yakin. Jo Minjoon perlahan-lahan membuka mulutnya,
“Jika aku harus mengatakan padamu satu hal, yaitu bahwa semua ini adalah Brazilian.” jawab Jo Minjoon.
“…Apa kau bilang?”
“Semua bahan-bahan ini tumbuh di Brazil.”
Jo Minjoon berbicara seperti itu lalu menunjuk menu sambil menyeringai. ‘Kami hanya menggunakan bahan-bahan domestik.’ Melihat frasa yang tertulis dalam bahasa Portugis dan dibawahnya dalam bahasa Inggris, Martin menghela nafas. Dia bertanya-tanya apakah pemuda ini bahkan sekarang bisa menebak kebangsaan suatu bahan makanan.
‘Pada poin itu, bukanlah lidah seseorang.’
Dia menenangkan jantungnya yang terkejut entah kenapa lalu dia membuka mulutnya sekali lagi.
“Jangan menggoda kami. Bahan-bahannya? Apa kau tahu? Ini pasti sulit, bukan? Karena ini telah didihkan selama beberapa hari, teksturnya pasti terlalu matang dan cita rasanya samar…”
Jo Minjoon menyantap satu sendok lagi feijoada alih-alih menjawab. Kemudian dia mengkalkulasi berapa banyak bahan yang bisa dia tebak dengan benar melalui lidahnya. Itu tidak terlalu buruk. Jika dulu dia mengenali 4 sampai 5 dari 10 bahan dengan benar…sekarang, dia yakin bisa mengenali setidaknya 7 bahan dengan benar.
Mungkin jika dia kembali ke hari di mana dia dihadapkan pada misi eliminasi, dia akan bisa bertahan dengan sempurna tanpa kekuatan dari sistem. Hanya sampai di situ. Tetapi sensitifitas lidah Kaya tetap lebih unggul, itu jelas, karena lebih terlatih, maka lidahnya lebih sensitif. Jo Minjoon tersenyum dengan wajah percaya diri.
“Entahlah…cita rasanya tidak sesamar itu. Aku bisa merasakan kacang hitam, kacang warna hitam yang lain, kacang merah…oh, aku juga bisa merasakan sedikit lentil. Tempat ini sedikit aneh, ya? Tempat yang kita datangi kemarin, feijoada hanya mengandung kacang hitam dan kacang merah, tapi di sini mereka juga memasukkan lentil ke dalam feijoada. Untuk daging babi, mereka menggunakan bagian punggung…oh, selain itu, mereka tidak mengiris daging lalu memasukkan ke dalamnya, tetapi mereka merebus daging iga bagian punggung lalu saat dagingnya sudah empuk, mereka menyuwirnya. Aku bisa jelas merasakan cita rasa kaldu tulang.”
“…Kau bisa merasakan itu?”
“Ini terasa. Jika kaldu adalah sesuatu yang kurang berarti yang bahkan tidak akan bisa terasa dalam cita rasa, lalu kenapa orang-orang harus capek-capek membuat kaldu?”
Jo Minjoon tidak semata-mata berbohong dengan bergantung pada sistem. Saat dia menyantapnya, dia tahu bahan apa yag terkandung, cita rasanya jelas terasa. Tentu, jika dia tidak punya kekuatan sistem dia tidak akan bisa merasakannya hingga sejauh ini…
Ada yang bilang ‘tak disantap maka tak tahu’, sebenarnya, saat chef dari restoran kelas atas menjelaskan ke pelanggan bagaimana mereka menggunakan bahan-bahan dan bagaimana mereka memasaknya, itu bukan semata-mata untuk membuat mereka merasakan telah dilayani.
“Selain itu, ada bawang putih, daun salam, bacon dengan lada hitam, bawang bombay, minyak zaitun, dan ada satu hal lagi…”
Jo Minjoon perlahan berkata lalu dia menyeringai dan mengangkat bahunya.
“Entah cita rasa apa itu, aku tak tahu. Ini pertama kalinya aku mencobanya.”
“…Ah, iya. Benar. Meski inderamu sensitif kau tidak akan bisa menebak nama bahan yang kau tidak tahu. Bagaimana rasanya itu?”
“Entahlah. Itu terasa seperti campuran asam dan manis…seperti buah, dan juga seperti obat, samar-samar. Sepertinya jumlahnya juga tidak terlalu banyak.”
Sebenarnya, Jo Minjoon bisa melihat dengan jelas nama bahan itu di layar sistem. Akan tetapi, jika dia mengatakannya, akan terasa terlalu janggal karena bahan itu terlalu tidak familier.
“Annona Cacans.” sebut Rachel.
“…Apa?”
“Cita rasa yang kau bilang kalau kau tak tahu, itu Annona Cacans. Itu adalah buah yang hanya tumbuh di Brazil dan Paraguay. Buah ini merupakan makanan hewan yang disebut pacarana. Jika terlalu banyak memakannya, bisa diare. Jadi, kita hanya bisa memakannya sedikit saja. Sebenarnya, bergantung seberapa matang buah itu, keasamannya terlalu kuat dan kau tidak bisa memakannya.”
“Jadi, Anda bilang bahan itu ada di dalam feijoada?”
“Aku sudah bilang padamu, Martin. Aku kenal dengan pemilik toko.”
Martin mengangguk dengan ekspresi takjub. Martin tampak seperti ingin bertanya lagi, tetapi mungkin karena dia tidak bisa membiarkan suaranya ada dalam siaran lagi, jadi, dia menutup mulutnya. Akan tetapi, mungkinkah perasaan memohonnya terasa oleh yang lain? Momen selanjutnya, Anderson menanyakan apa yang ingin dia tanyakan.
“Tetapi kenapa mereka memasukkan sesuatu yang berbahaya ke dalamnya yang mungkin bisa menyebabkan diare berat padanya? Dan cita rasanya pun tidak begitu menakjubkan.”
“Jika kau seorang chef, kau semestinya tahu. Dengan satu tetes cuka, sesuatu yang terasa tidak menakjubkan secara khusus, keseimbangan hidangan bisa jauh berubah. Douglas, maksudku orang yang mengembangkan menu ini, yakin bahwa dia akan bisa membuat feijoada lebih lezat dengan annona cacans.”
“Entahlah apa ada sebanyak itu perbedaannya.”
Jo Minjoon ragu-ragu sejenak lalu berkata. Sepertinya dia akan menebas teman Rachel, jadi, dia mendekorasi kata-katanya, tetapi bisa dirasakan bahwa itu bukan pujian.
“Hasrat untuk memanfaatkan bahan-bahan yang tidak familier adalah keahlian menakjubkan. Tetapi aku ragu-ragu apa hasilnya sebanyak hasrat itu. Sejujurnya, cita rasa asam yang samar itu menyebar di mulutku yang justru membuatnya tidak hilang dengan mudah, itu juga membuatku tidak ingin memasukkannya ke dalam mulutku sebanyak itu.”
Sama seperti memasukkan toga saat merebus kaki babi atau bosam(보쌈). Itu hal yang berbeda dengan di china yang mengunakan toga atau bumbu special untuk membuat kaldu. Rasa asam yang unik pada buah ini dan cita rasa yang bahkan mengerutkan lidah, alih-alih sedikit menstimulasi, buah itu justru membuat lidah dan mulutmu lelah entah kenapa. Wajah Jo Minjoon beku seketika. Entah dengan yang lain, tetapi dia tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang enak saat benda itu dia masak.
“Menebak dengan tepat membuat mulutku lelah. Sederhananya, ini tidak enak. Sejujurnya, ini kurang enak dari hidangan lainnya. Alasannya jelas, kenapa dia memasukkan buah itu?”
“Aku paham.”jawab Rachel singkat.
Melihat Rachel mengangguk seolah-olah komentarnya adalah sesuatu yang sudah jelas, dia tercengang mau tak mau.
“Jika kau membahas tentang cita rasa, akan ada banyak poin yang bisa diperbincangkan. Dan sebenarnya, jika kau ingin membuat sebuah alasan, kau boleh melakukannya. Minjoon, apa kau tahu sejarah feijoada?”
“Tidak. Aku belum pernah mendengarnya secara khusus.”
“Kau tahu bahwa Brazil sebenarnya adalah tempat orang-orang kulit hitam yang dianggap sebagai budak, bukan? Feijoada mendapat nama itu saat para budak yang lapar dan tidak punya apa-apa mengambil telinga, ekor, dan kaki babi yang dibuang majikannya, lalu mereka merebusnya bersama dengan kacang yang disebut feijoa. Sederhananya, itu adalah hidangan yang dibuat karena kelelahan yang teramat sangat.”
Hal itu adalah sesuatu yang tidak diketahui Jo Minjoon. Entah bagaimana, kau bisa menganggapnya sebagai rebusan babi kalau di Korea (꿀꿀이죽).
“Dan itu sama halnya dengan di Brazil 50 tahun yang lalu. Orang Brazil pada jaman dahulu dan orang Brazil yang memiliki budak, memperdebatkan yang mana yang lebih miskin adalah hal yang lucu dilakukan…tetapi satu hal yang pasti, Douglas, bukan, orang-orang di era Douglas dan orang-orang pada jaman itu, mereka semua kelaparan hingga mereka harus membuat feijoada dengan memasukkan annona cacans ke dalamnya meski tahu bahwa setelah itu mereka akan diare.”
Suasana berubah berat. Emily berkata dengan suara basah seolah-olah dia sedikit terbawa suasana.
“Hidangan ini punya sejarah lebih banyak dari yang kupikirkan.”
“Benar. Tentunya, meski itu benar, kekurangan yang Jo Minjoon katakan tidak bisa menjadi gratis sama sekali. Apapun itu, hidangan yang tidak lezat adalah yang terburuk hanya dengan itu. Tetapi alasan aku mengutarakan ini bukan hanya karena kau epicurean. Anderson, Minjoon, kalian adalah chef. Seorang chef yang fokus dalam membuat sesuatu yang lezat dan kesan yang dicari para pelanggan ada dalam hidangan yang dibuat. Aku yakin kalian akan bisa merasakan sesuatu selain cita rasa.”
Jo Minjoon dan Anderson melihat ke sekeliling mereka dengan diam. Sekarang, jika dilihat, para pelanggan yang memesan feijoada adalah kebanyakan lansia. Jo Minjoon terpikir kakek-kakek dan nenek-nenek yang bekerja di pasar yang makan sup kimchi, ditambah beberapa kimchi, sedikit daging babi, dan menggunakan air jernih bukannya kaldu. Sudut hatinya terasa sedih.
“Ini bukan hidangan yang baik dan resepnya pun sungguh kurang bisa diharapkan. Meski begitu, hidangan ini punya nilai tersendiri. Buktinya? sederhana. Ada orang-orang yang sedang menyantapnya, itu berarti hidangan ini masih punya nilai.”
Kameramen perlahan merekam ke arah meja lain. Kemudian, suara berat, kasar, dan terpatah-patah terdengar bak kura-kura yang menjulurkan kepalanya keluar dengan perlahan-lahan.
“Entah itu doa atau sumpah serapah. Kamila, katakan. Apa aku seharusnya marah ataukah berterima kasih?”
“Hal yang pasti adalah kau tidak boleh marah. Itu tidak baik untuk kesehatanmu. Bagaimana kalau kau ambruk karena darah tinggi?”
“Benar. Aku paham. Aku harus menahannya. Tapi kenapa nenek tua dengan temperamen buruk yang dulu bahkan mengatakan kalau hidanganku seperti kotoran sapi, sekarang datang untuk menyantap hidanganku lagi?”
“Lama tak jumpa, Douglas. Sudah berapa lama ya?”
“Kita tidak bertemu setelah Daniel meninggal, sudah 10 tahun.”
“Sudah selama itu. Kau juga bertambah tua.”
“Hanya dengan melihat wajah kita, aku bertanya-tanya apakah kita mungkin seumuran. Kau tidak melakukan perawatan kulit dengan tumpukan uang yang kau kumpulkan? Wajahmu penuh dengan kerutan. Ckckck.”
Awalnya, mungkin itu tampak kalau Douglas menghina Rachel, tetapi rasa sesal terpendam di mata dan suaranya. Mungkin, di balik suara kasar dan tatapan yang dalam itu, ada kejadian dan tahun-tahun yang mereka tidak tahu. Akan tetapi, mereka tidak bisa bertanya pada mereka sekarang dan itu tidak perlu.
Kemudian, ponsel pintar Jo Minjoon berdering. Dia pikir sudah mengaktifkan mode senyap, ternyata dia hanya mengaktifkan mode getar. Momen saat dia hendak menekan tombol tolak secara spontan, jarinya terhenti. Anderson, yang melihat Jo Minjoon, segera melihat nama yang muncul di layar ponsel lalu dahinya berkerut.
“Bolehkah kita mendapat waktu untuk beristirahat? tanya Anderson pada Martin.
“Ya? Kenapa kau tiba-tiba…”
“Guru Rachel tampaknya butuh beberapa waktu untuk mengobrol dengan teman lamanya…” kata Anderson sambil melirik Jo Minjoon.
“Dia juga tampaknya butuh segera ke toilet.”tambah Anderson.
–
Karena pertimbangan Anderson yang penuh dengan niat baik sekaligus buruk, Jo Minjoon pada akhirnya bisa menempatkan ponselnya di telinganya sembari berdiri di toilet. Dia mendengar nada sambung sejenak lalu mendengar suara samar.
[ Minjoon? ]
Dia pikir suara samar itu karena sinyal telepon, tetapi saat dia mendengarkan dengan baik bukan karena itu. Hal itu semata-mata karena orang tersebut lelah dan tidak bisa mencurahkan energi pada suaranya.
“Iya. Ini aku.”
[ Maaf yaa. Aku baru melihat pesanmu. Aku bahkan tidak punya waktu untuk mengisi ulang daya baterai ponselku. Meski begitu, di antara banyak pesan yang terkumpul, aku menelponmu duluan. Jadi, kau tidak boleh sedih, paham? ]
“Kenapa aku harus sedih? Jika kau sibuk, aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
[…Benar. Kau tidak akan bisa. Aku tahu. Aku hanya mengutarakannya. ]
Percakapan berhenti sesaat. Jo Minjoon hanya memegangi ponselnya di dekat telinganya. Suara nafas Kaya samar terdengar seperti ada di dekatnya.
“Apa kau lelah?”
[ Apa begitu terlihat? ]
“Hanya dari caramu berbicara, terdengar jelas kau tidak punya energi. Apa terjadi sesuatu?”
[ Iya. ]
Saat dia menjawab dengan suara yang benar-benar tenang, Jo Minjoon agak terkejut. Kaya tersenyum jahil dan tidak lama kemudian, dia berkata dengan suara yang tidak biasa.
[ Tetapi jangan khawatir. Meskipun terjadi sesuatu, aku selalu bisa menyelesaikannya. Tentu, kau telah banyak membantuku, tapi sekarang, aku bisa melakukannya sendiri. Tidak, aku harus melakukannya sendiri. Oleh karena itu, aku menelponmu. Jadi, jika nanti sesuatu terjadi di berita…tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku hanya ingin mengatakan hal ini. ]
“…Berita? Serius? Apa terjadi skandal besar?”
[ Tidak, bukan sesuatu yang besar…omong-omong, aku tidak ingin menceritakannya padamu. Jika aku menjelaskannya padamu, itu membuatku ingin bergantung padamu. Katakan saja bagaimana di sana. Aku penasaran bagaimana kamu syuting. ]
“Maaf. Sebenarnya, aku ingin menceritakannya, tetapi karena aku saat ini sedang menyelinap di tengah siaran, aku tidak bisa melakukannya. Jika ini malam, aku mungkin bisa…Di mana kau saat ini?”
[ Australia. Brisbon. ]
“Zona waktunya…Sial, setelah aku cari, perbedaannya 12 jam. Kau persis berada di belahan bumi yang lain.”
Kaya memaksa tertawa. Sebelum ini, dia selalu ada di sebelahnya, memesan sesuatu, dan makan bersama.
[ Aku akan menunggu. Jika sudah malam, telepon aku. Jika aku bisa, aku pasti akan mengangkat telepon darimu. Aku ingin ngobrol dengan seseorang. Aku tidak bisa memperlihatkan diriku yang sebenarnya di depan orang-orang ini…entah bagaimana ini menyesakkan. ]
“Benar.. Aku akan menelponmu. tetapi jangan terlalu memaksakan diri.”
[ Jika malam bagimu, di sini pagi atau siang bagiku omong-omong. Jangan khawatir. ]
“Baiklah Tidak akan.”
[…Tidak perlu mengatakan itu juga. ]
Mendengar kata-kata tertekan itu, Jo Minjoon tertawa entah kenapa. Kisah yang dia dengar dari Rachel tadi tentang feijoada dan temannya, Douglas, bahunya menjadi terasa berat, dan sekarang terasa agak ringan.
“Aku akan menelponmu.”
Panggilan berakhir. Jo Minjoon yang melihat ke layar dengan tersenyum, segera memiringkan kepalanya bingung.
Jadi, apa yang dibicarakan Kaya tadi?
< Hukum pengecapan (3) > Selesai