Dewa Memasak – Bagian 122: Tenda yang membungkus kios jalanan (1)
Desah nafas lemah terdengar di kamar. Kaya berbaring di atas bantal yang sebesar bagian atas badannya. Dia merasa pusing. Pipi dan tangannya kaku, dia juga sedikit demam. Tetapi rasa sakit tidak seberapa dibanding lelah mental yang sangat parah.
Segera setelah Kaya mememejamkan mata, dia teringat hal-hal yang terjadi di New York, yaitu saat sebelum dia datang ke Brisbon. Ketika Kaya pergi ke rumah lamanya, dia belum bisa mengaturnya karena pekerjaan hariannya, sebuah wajah familier yang tak diundang mengunjunginya. Dia adalah Tess Gilly, seseorang yang menulis hal buruk tentang dirinya di internet. Pada awalnya, keluarga Kaya menghentikan Kaya untuk menemuinya tetapi Kaya tidak ingin menghindari Tess Gilly. Dia tidak mau.
Perbincangan di antara mereka ada dalam suasana yang lebih tenang dari yang dipikirkan. Dalam sebuah ruangan sempit yang membuat mereka sesak, Tess melihat ke sekeliling ruangan dengan tatapan menghina. Tidak lama kemudian dia mencibir dan tersenyum mengejek.
“Sekarang, kau juga akan keluar dari rumah kotor ini. Kau sudah sukses. Kaya Lotus, aku mengakuimu.”
“Aku sungguh tidak butuh pegakuanmu.”
“Jangan bersikap kasar begitu. Kita dulu teman kan?”
“Benar. Iya benar, dulu.”
“Ada satu hal sekarang.” kata Tess sambil mengangkat rambut pirangnya yang menutupi separuh wajahnya sebelah kanan.
Di balik rambutnya, ada luka yang tampak seperti sayatan pisau yang terukir hingga ke dagunya. tes menghirup nafas dengan kasar lalu berkata seolah dia meludahkannya.
“Luka ini bertahan dari dulu hingga sekarang.”
“Apa yang ingin kau bicarakan? Tidak, apa yang kau inginkan dariku?”
Dalam suara Kaya tidak ada rasa simpati maupun rasa iba. Jika Tess punya luka di wajahnya, Kaya pun punya luka di hatinya yang akan tetap tinggal sepanjang hidupnya. Kaya berkata dengan suara dingin.
“Yang paling utama, apa kau masih ingin mengatakan bahwa luka itu perbuatanku?”
“Kau mendorongku hingga aku terjatuh lalu daguku sobek. Apa aku yang salah?”
“Kau tidak salah, tetapi ada sesuatu yang tidak kau katakan. Kau seharusnya juga menceritakan kisah sebelum itu, tentang cewek brengsek sepertimu yang bersikap seperti temanku dan ingin menghukumku.”
“…Orang yang membuat situasi menjadi seperti itu adalah kau.”
Tess melihat Kaya dengan tatapan jengkel. Dia berbicara seolah-olah dia korbannya. Kaya berkata dengan suara jijik.
“Kriminal seksual selalu mengatakan hal yang sama, bahwa korban yang memancing mereka. Mereka merasa tidak berdosa sama sekali. Kau seperti mereka. Masih seperti itu.”
“Kau dulu satu-satunya temanku. Yang lainnya terasa palsu. Kau punya sesuatu yang disebut realisme dan kau adalah orang yang tahu bagaimana cara berpikir. Kau tahu, Kaya. Itulah kenapa, aku semakin membencimu. Kau membuatku kehilangan dia. Temanku.”
Matanya bergetar dengan menyeramkan. Barulah saat itu, Kaya menyadari bahwa tangan Tess gemetar seperti penderita parkinson. Saat Tess menyadarinya, dia buru-buru menarik lengannya lalu berdiri.
“Aku tidak ingin melihatmu baik-baik saja dan aku juga tidak ingin orang-orang melihatmu sebagai orang yang baik dan bisa dipahami. Aku tidak akan mengunggah komentar seperti itu lagi karena itu juga menggangguku bahwa namaku disebut-sebut oleh orang-orang. Dan…”
Tess tersenyum sembari menatap mata Kaya yang sengit.
“Aku kenal dirimu. Bagaimanapun akhirnya, kau akan menghancurkan semuanya karena dirimu sendiri. Aku akan menunggu bagaimana kau akan berubah. Oh, satu hal lagi. Aku akan mengatakan sebuah kabar bagus. Kau melihatnya waktu itu, bukan? Jessica Prada Benar. Waita yang mencarimu. Ada sesuatu yang dikatakan wanita itu padaku.”
Tess berbisik di telinga Kaya. Secara instan, Kaya membeku seperti es dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tess tersenyum bak pemenang lalu pergi, meski begitu dia tidak bisa mengutuknya.
Dia masih marah karena hal itu. Di atas kasur. Ketika dia mendengar suara Jo Minjoon, dia merasa agak nyaman tetapi…karena dia masih belum bisa mengeluarkan semua yang ada di dalam hatinya, sudut hatinya masih terasa berat. Akan tetapi, dia masih tidak bisa mengatakannya. Dia tidak mau. Dia juga orang dewasa, bukan anak kecil. Dia merasa terlalu bersalah pada Jo Minjoon yang selalu menjadi sandaran baginya. Kaya berguling lalu memeluk bantal.
“…Benar. Akan aneh jika hidup Kaya Lotus berjalan dengan baik.”
Kata-kata terakhir Tess masih terngiang di telinganya.
‘Selamat. Ayahmu sedang mencarimu.’
–
Waktu berjalan sangat cepat hingga kau akan berpikir satu hari terasa terlalu singkat. Hari berikutnya, di malam hari, Jo Minjoon memegangi perutnya yang gembul, dia sedang berada di atas pesawat lagi. Tentunya, dia belum kembali pulang. Dia hanya berpindah ke tujuan perjalanan berikutnya.
Semua orang terkejut karena mereka tidak membayangkan kalau akan berpindah dalam dua hari, tetapi Martin berbicara dengan nada meremehkan bahwa kuliner di Brazil hanyalah pembukaan.
Sehari sebelumnya, dia menelpon Kaya tetapi hanya nada sambung yang lama yang terdengar. Bagi Kaya, jelas itu waktu sibuknya karena dia harus berpartisipasi dalam acara yang dibuka di berbagai tempat di dunia.
“Minjoon, kau sudah bepergian kemana saja sampai sekarang?”
“Tidak ada, selain AS. Oh, sekarang, aku harus menambahkan Brazil.”
“Tempat yang akan kita datangi juga adalah yang pertama bagimu?”
“Iya.”
“Itu akan sangat mengasyikkan. Mereka bilang bahwa tempat itu adalah negara dengan kios jalanan yang paling berkembang.”
Jo Minjoon hanya menelan ludah alih-alih menjawab. Dia memikirkan tentang gerobak tertutup (포장마차). Sejujurnya, pemilik gerobak tidak mempunyai keahlian memasak yang menakjubkan tetapi cukup aneh memang, seperti dia tidak pernah ingin membuat mulutnya jauh-jauh dari sana. Mungkinkan dia puas dengan mudah karena tidak punya ekspektasi yang terlalu tinggi?
Dari satu sisi, bisa dilihat bahwa kios jalanan jelas mempunyai poin dasar paling banyak dalam masakan. Orang-orang yang mengunjungi kios jalanan selalu sibuk dan mereka adalah orang-orang yang sangat lapar. Orang-orang seperti itu akan bisa makan apapun dengan lezat dan kapanpun. Karena mereka menyantap makanan yang cukup enak, tidak akan ada pilihan yang lebih stabil dari pada kios.
Dia terpikir tentang restoran yang mereka kunjungi tadi pagi atas petunjuk Rachel. Dia memikirkan feijoada yang cita rasanya kurang. Meskipun Jo Minjoon bisa membuat hidangan yang sungguh enak, dan jika dia bisa membuat hidangan 10 poin lalu menyajikannya pada pelanggan, setelah beberapa hari berlalu, pelanggan tersebut akan kembali dan mengatakan. ‘Douglas, bisakah kau memberiku feijoada?’
Meskipun dia tidak setuju bahwa hidangan itu mungkin tidak lezat, namun itu adalah makanan yang membuat dirinya merasakan betapa banyaknya hal selain cita rasa dalam suatu hidangan, antara lain kesan nyaman yang tidak dimiliki restoran kelas atas. Jika dia tidak sirik dengan itu, dia bohong.
‘Akankah ada restoran yang memiliki semua itu?’
Sebenarnya, Jo Minjoon tahu kalau tidak ada. Setidaknya seperti itu, bagi akal sehat Jo Minjoon. Saat Kaya berkata bahwa dia ingin menjual makanan murah dan berkualitas bagus, tidakkah dia berpikir bahwa itu kurang realistis di awal?
Tanpa sadar, Jo Minjoon menoleh melihat Rachel yang duduk di kursi belakang. Dia berharap jika dia bertanya pada Rachel, dia akan mendapat jawaban tetapi dia membuang jauh pertanyaan itu. Mungkin dia lelah. Dia berusaha tidur saat dia memejamkan matanya. Anderson, yang duduk di sebelahnya, menaikkan alisnya seolah bertanya apa yang Jo Minjoon inginkan. Jo Minjoon menggelengkan kepala lalu duduk diam.
“Sepertinya kau punya sesuatu yang ingin kau tanyakan pada Rachel?”
“Aku kepikiran sesuatu. Bagaimana kalau aku menjalankan restoran yang mempunyai kualitas positif yang diinginkan semua pelanggan.”
“Itu pemikiran yang bagus. Akan bagus kalau aku bisa menjawabnya untukmu, tetapi satu hal yang aku tahu bagaimana menjalankan itu adalah dengan makan.”
“Emily, apa kau tidak punya sesuatu seperti itu? Restoran yang sempurna dalam impianmu.”
Mendengar kata-kata Jo Minjoon, Emily mengerang lalu menutup mata. Waktu berjalan agak lama baginya untuk menjawab, tetapi bukan berarti pemikirannya panjang. Pesawat yang melaju di jalur runway mulai melayang di udara. Pada momen itu, Jo Minjoon tersenyum. Dia seperti anak kecil, setiap kali pesawat turun, dia merasa takjub entah kenapa dan dia selalu tersenyum.
Sedangkan Emily kebalikannya. Dia mencengkeram sandaran lengan dengan kuat dengan wajah ketakutan dan saat pesawat mulai sedikit distabilkan, dia baru bisa menghela nafas.
“Aku benar-benar takut. Inilah kenapa aku tidak suka mengendarai semacam rollercoaster, aku tidak bisa naik pesawat. Apa yang tadi kita bicarakan?”
“Restoran impianmu.”
“Mmm…Sebuah restoran yang menangani hidangan semua negara-negara di dunia, tetapi sejujurnya karena kita tidak akan bisa memakan semua itu dalam sekali makan, tentu hal itu tidak akan berarti, bukan?”
“…Kau tidak tahu. Jika kau pergi ke banyak tempat, mungkin kau akan mengerti banyak hal. Akan tetapi, apa perlu hal itu hanya berada di satu tempat?”
Jika itu dekat dengan rumahmu, kisahnya berubah. Dekat dengan rumah, adalah tempat yang memiliki semua yang kau inginkan untuk disantap, yang paling utama adalah hidangannya sempurna. Tidakkah kau terpikir untuk menjalankan restoran seperti itu?”
Jo Minjoon berpikir. Jika dia bisa melakukannya, hal itu bukan preposisi yang buruk. Aka tetapi…
“Ini sulit. Tidak. Itu tidak mungkin. Meskipun aku menguasai hidangan dari seluruh dunia, untuk selalu tersuplai dengan bahan-bahan yang banyak dan segar dari manca negara, hal itu tidak akan mungkin bagi siapapun.”
“Eeeh, bagaimana mungkin kau menghadapi realita dengan sikap seperti itu, di usia yang seharusnya kau punya banyak impian? Aagh, membosankan!”
Mendengar kata-kata Emily, Jo Minjoon menyeringai. Meskipun usianya yang asli cukup untuk menghadapi realita dari pada mimpi, meski begitu, dia tidak membenci kata-kata Emily.
“Impianmu menjadi Chef masih menyala, kan?” tanya Emily.
“Itu kebenaran yang sangat jelas layaknya rambutmu yang pirang.”
“Oh, aku mewarnainya.”
Jo Minjoon melongo sejenak, dia kehilangan kata-kata. Emily tersenyum simpul lalu berkata,
“Aku bercanda. Jangan menatapku seperti itu.”
“…Aku benar-benar tercengang tidak tahu harus menjawab apa.”
“Omong-omong, aku juga merasa baik saat mengetahui impianmu tidak goyah. Menurutku, aku hanya menggoda seseorang yang berjalan dengan baik di jalurnya entah untuk apa.” tutur Emily lalu menguap sambil menutup mulutnya.
“Apa kau ngantuk?” tanya Jo Minjoon
“Iya, tapi…memikirkan makanan yang nanti akan aku santap saat tiba, aku jadi bingung. Tidakkah kau merasa seperti itu?”
“Jadi bingung…”
Jo Minjoon meletakkan tangannya di dadanya sejenak. Lalu mengangguk.
“Aku juga. Sebenarnya, kalau aku harus memilih antara cita rasa, tekstur, dan aroma, aku akan lebih mementingkan aroma karena faktor yang menunjukkan warna dari makanan, paling banyak dari aroma. Sejujurnya, aroma adalah yang terbaik di dunia ini.”
“Memperhitungkan bahwa kau punya indera pengecap yang mutlak, jawabanmu tak terduga.”
“Kalau dipikir-pikir, aku juga khawatir tentang bahasa. Setidaknya, ada beberapa orang di Brazil yang tahu bagaimana untuk berbicara bahasa Inggris ala kadarnya.”
“Apa yang dikhawatirkan saat kita punya bahasa tubuh?” bantah Emily sambil menyilangkan tangannya dan memasang ekspresi melawak.
Waktu terus berjalan. Jarak perjalanan sejauh 20 jam, dengan satu kali pindah, 3 kali makan di pesawat, dan satu camilan. Saat 5 kali minuman sudah disajikan dan tidur lelap berlalu, negara kuliner yang mereka ekspektasikan di bawah kebingungan sekarang berada di bawah kaki mereka.
Negara merdeka, negara kuliner,dan negara yang asyik.
Thailand.
< Tenda yang membungkus kios jalanan (1) > Selesai