Dewa Memasak – Bagian 158: Alasan mereka lapar (2)
Segera setelah telepon ditutup, dia berpikir setelah ini akan datang pesan berisi sumpah serapah dari Kaya, atau bahkan Kaya menelpon kembali. Akan tetapi, ponselnya tidak kunjung menyala selama beberapa waktu lamanya. Dia bahkan berusaha menelpon Kaya kembali, tetapi hanya terdengar nada sibuk.
‘…Ini lebih menakutkan dari pada dia marah.’
Mungkin Kaya sangat marah, atau mungkin sebenarnya Kaya terluka karena ucapannya. Tidak ada yang bisa Jo Minjoon lakukan, tidak ada respon setelah dia mencoba menelpon kembali dan juga mengirim pesan pada Kaya.
“Hei, apa yang sebaiknya aku lakukan? Kaya mungkin marah.”
“Jika mentalnya tidak cukup kuat untuk menangani hal sepele seperti ini, maka, yaa, dia harus menyerah untuk hidup bermasyarakat.”
“…Kau dingin sekali!”
“Jika aku berhati dingin, aku tidak akan membiarkanmu bebas dari kontrak perbudakan hanya dalam sehari.”
Jo Minjoon hanya menghela napas dalam keheningan setelah mendengarkan tanggapan Anderson. Kenapa Anderson menyeretnya ke dalam kekacauan ini? Anderson melihat punggung Jo Minjoon sebelum bertanya.
“Apa kau berencana membuat sarapan lagi hari ini?”
“Aku tidak yakin. Jika kau mempertimbangkan jadwal penerbangan, sepertinya kita tidak mungkin berhenti untuk sarapan di suatu tempat. Barangkali lebih baik membuat sarapan sendiri. Namun, sebaiknya kita bertanya pada yang lain juga. Karena ini yang terakhir, mereka mungkin ingin makan di restoran alih-alih sarapan masakan buatan sendiri.”
“…Bukankah terlalu lama ke restoran? Kita mungkin punya cukup waktu hanya untuk membeli bento atau membungkus sesuatu dari kedai makanan.”
“Kalau begitu ayo tidur. Kita tidak punya banyak waktu.”
“Sebaiknya begitu.”
Tujuh jam kemudian, pada pukul 5 pagi, Jo Minjoon dan Anderson berdiri berhadapan di dapur. Anderson, yang baru saja melewati pintu dapur, berekspresi seolah dia tahu ini akan terjadi sebelum dia berbicara.
“Bukankah tadi kau bilang ayo tidur?”
“Betul…tapi aku tidak bisa tertidur.”
“Aku mendengar dering alarmmu mati tadi. Meski kau berusaha terlihat sangat ngantuk setengah mati, kau pikir aku percaya?”
Mendengar respon Anderson, Jo Minjoon dengan canggung melihat ke sekelilingnya. Anderson tertawa. Meski Jo Minjoon berbohong, dia tidak bisa marah pada Jo Minjoon.
“Bodoh kau. Terserahlah. Ayo membuat sarapan.”
“Apa ada sesuatu yang ingin kau masak?”
“Sepertinya justru kau yang ingin memasak sesuatu.”
“Iya. Ada banyak yang aku rasakan di Tokyo Harmony kemarin. Pertama……”
Jo Minjoon membuka lemari pendingin. Ada macam-macam bahan di dalamnya, tetapi karena kemarin mereka membuat sarapan, ada beberapa bahan-bahan yang kurang. Jo Minjoon melihat Anderson dan bertanya,
“Ayo belanja.”
€
Meskipun ini sudah musim panas, pada saat subuh, sebelum matahari mulai menyingsing, baik angin maupun tanah, keduanya sama-sama dingin. Jo Minjoon menarik resleting kardigannya sampai ujung atas dan memasukkan tangannya ke dalam saku. Dia menggoyang-goyangkan badannya agar terasa lebih hangat.
“Oh, dingin. Seharusnya aku tidak memakai celana pendek.”
“Lagipula, kau memakai kaos lengan panjang dan kardigan. Lalu kenapa pakai celana pendek? Apa kau tidak menduga akan dingin?”
“Aku pikir panas dari atas akan mengalir menghangatkan bagian bawah yang kedinginan. Tetapi ternyata tidak. Sama seperti memasak, keseimbangan antara yang dingin dan panas itu penting.”
“Yaa, kita memang chef. Kebiasaan semacam ini tidak buruk.”
“Memang tidak buruk tapi ini dingin.”
Anderson menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Kemudian, seolah dia tidak bisa menahannya lagi, dia berkata.
“Hei, tolol! Jika sedingin itu, pakai kardiganmu melingkar di pinggang.”
“……Oh, Anderson. Aku tidak tahu lho ternyata kau pintar.”
Pipi Anderson memerah mendengar respon Jo Minjoon.
Di pasar. Setelah melihat ikan-ikan yang digelar, Jo Minjoon berkata.
“Untuk restoran, menurutmu adakah tempat orang-orang bisa mendapatkan bahan-bahan dari supermarket besar alih-alih pasar tradisional seperti ini?”
“Kebanyakan restoran mendapatkan kebutuhannya mungkin dari supermarket. Jika mereka cukup rela untuk pergi ke pasar tradisional, kecuali ada satu yang dekat, mereka mungkin akan membuat kontrak langsung dengan supplier ikan. Di tempatku, masing-masing bahan didapatkan langsung dari supplier.”
“Itu menyenangkan juga yaa. Pergi dari satu tempat ke tempat yang lain, melihat kualitas bahan-bahan. Bukankah itu seperti memainkan puzzle?”
Jo Minjoon tersenyum seolah memikirkan hal itu terasa menyenangkan. Anderson menaikkan alisnya dan menatap Jo Minjoon.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?”
“…Semakin aku memikirkannya, dari awal, kau sangat mendambakan menjalankan restoran atau semacamnya. Bagaimana kau bisa seperti itu? Kau tahu apa yang kau butuhkan sekarang. Kau tahu itu bukan pekerjaan yang santai dan mudah. Dan dibalik gemerlap dan kemewahan itu, ada tekanan yang cukup besar. Lihatlah Samuel kemarin. Bahkan seseorang semenakjubkan dirinya sangat cemas terhadap pendapatmu meski di hadapan kamera. Itu pekerjaan yang sulit dan juga melelahkan.”
“Tentu aku tahu. Bagaimana mungkin aku tidak tahu?”
Jo Minjoon berhenti menatap ikan saury pasifik lalu menoleh pada Anderson. Ketika tatapan mereka bertemu, Anderson merinding sesaat. Setengah tahun. Tidak peduli betapa dalam pikiran seseorang, itu waktu yang cukup secara umum untuk memahami apa yang ada dalam pikiran seseorang.
Tetapi Jo Minjoon sangat sering menunjukkan ekspresi yang sulit dipahami setiap kali itu terjadi. Layaknya seseorang yang lebih tua, yang lebih berpengalaman dari pada Anderson, tatapannya penuh dengan kelembutan dan kasih sayang.
‘…Mungkin hal ini karena dia berencana menjadi guru?’
Tidak ada waktu mencari jawabannya. Jo Minjoon berkata.
“Tapi Anderson, meskipun kesulitan itu menyenangkan bagiku, tentu ada masanya nanti saat dadaku terasa sesak dan sangat sakit. Mungkin saja hal ini karena bekerja dan bermain sama saja. Kapanpun aku berada di depan meja masak, dadaku berdebar lebih dari saat-saat yang lain. Alih-alih menyia-nyiakan hidupku, jika aku berpikir tentang fakta bahwa aku melakukan apa yang seharusnya aku lakukan…hanya dengan pemikiran itu membuatku penuh.”
“Itu bagus sekali.”
“Aku yakin kau juga demikian. Kau seperti aku.”
Anderson merespon dengan cepat ucapan Jo Minjoon. Jo Minjoon tampak seperti mendapat konfirmasi tentang Anderson, tetapi sebaliknya, Anderson tidak mendapatkan hal yang sama. Anderson bertanya dengan ragu-ragu.
“Apa…apa yang kau yakini dari aku?”
“Minat.”
Tidak ada keraguan pada jawaban itu. Setelah mendengar Jo Minjoon yangberbicara seolah jawabannya sudah jelas, Anderson menatap Jo Minjoon.
“Minatku?”
“Jika kau tidak punya minat, kau tidak akan bangun pagi buta untuk membuat sarapan. Setuju, kan?”
Anderson terdiam. Matanya tertuju pada seorang wanita yang berbelanja di pasar di pagi buta. Anderson berbicara pelan.
“Aku tidak polos seperti yang kau pikirkan.”
“Aku tidak pernah berpikir kau seperti itu?”
“…Perasaanku terhadap memasak…Alih-alih minat, lebih tepatnya ini cinta.”
“Kenapa?”
“Ini bukan keputusanku.”
(TL: Jadi, kata yang digunakan, secara literal bisa diterjemahkan langsung. Dan aku tertawa menerjemahkan percakapan ini, artinya pun sangat berbeda. “Aku tidak polos seperti yang kau pikirkan.” “Aku tidak pernah berpikir kau seperti itu?” Ini dua percakapan yang romantis antara teman sesama pria.)
Anderson memberi jawaban singkat. Tetapi jawaban singkat itu penuh dengan segala emosi yang rumit yang memancar ke segala arah.
“Ini bukan keputusanku. Ini karena orang tuaku. Oh, maksudku bukan mereka memaksaku melakukannya tetapi mereka hanya menunjukkan padaku jalur ini saja. Awalnya, aku pikir itu jelas, tetapi semakin bertambah umurku, semakin aku membencinya. Tanpa melihat suatu hal yang lain sekalipun, tanpa bisa bernapas sekalipun, hanya berjalan lurus di jalur ini, semuai ini membuatku merasa hidupku bukan milikku tetapi milik orang tuaku. Jadi…”
Bulu mata Anderson bergerak turun. Jika memikirkan harga diri Anderson, tidak akan mudah untuk mengatakan sesuatu seperti ini. Bukan karena Jo Minjoon orang yang hebat yang bisa memangkas harga dirinya,melainkan ada alasan yang sederhana. Jo Minjoon adalah temannya.
“Oleh karena itu, aku berpartisipasi dalam Grand Chef. Aku ingin memiliki hidupku sendiri. Aku ingin menjalaninya di jalur yang aku tentukan sendiri. Aku juga ingin meyakinkan diriku sendiri apakah aku bisa mencintai jalur ini.”
“…Iya. Aku ingat kau pernah bilang sekali bahwa kau ingin keluar dari bayang-bayang orang tuamu.”
Penderitaan dan kekhawatiran yang sangat dalam tersembunyi di balik kata-kata Anderson. Jo Minjoon menatap dengan lembut pada Anderson. Jo minjoon berkata dengan nada bicara yang kuat.
“Kau sudah keluar, Anderson. Aku tidak mengatakannya karena kau bagus dalam memasak. Kau…”
Jo Minjoon berhenti. Dia buruk dalam mengatakan hal tolol. Setidaknya dia tidak mempertimbangkan dirinya seperti itu. Namun, setidaknya dia harus mengatakan itu sekali-kali.
“Kau adalah rivalku. Aku tidak ingin bersaing dengan rival yang bahkan tidak suka memasak.”
Setelah mengatakan itu, Jo Minjoon buru-buru mengalihkan tatapannya dan mulai memeriksa ikan. Dia merasa gatal hanya dengan memikirkan bagaimana ekspresi Anderson yang menatapnya. Beberapa saat kemudian, suara Anderson perlahan terdengar.
“Aku senang kau menjadi temanku.”
Jo Minjoon tidak merespon.
Tidak perlu respon untuk sesuatu yang sudah jelas.
€
Mereka tidak segera mulai memasak tepat setelah mereka kembali dari berbelanja. Jo Minjoon dan Anderson duduk terlebih dahulu di meja dan melihat resep masing-masing. Mereka harus memikirkan komposisi keseluruhan makanan, harmoni bahan-bahan, dan hasil antisipasi dari resep tersebut.
Sembari itu, Jo Minjoon dan Anderson diam-diam saling mengagumi. Bagi Anderson, resep itu adalah ekspresi kreativitas Jo Minjoon. Sedangkan bagi Jo Minjoon, itu adalah pengetahuan Anderson tentang bahan-bahan yang memancar setiap kali dia berbicara. Anderson mulai mengatakan sesuatu.
“Kau, … bagaimana mungkin levelmu setinggi ini hanya dengan belajar di rumah melalui internet? Ini tidak masuk akal.”
“Aku punya guru di internet yang hebat.”
“Siapa itu? Aku tidak pernah melihat seseorang yang begitu mengagumkan di internet.”
“Kaya.”
Anderson mengerutkan dahi mendengar jawaban singkat Jo Minjoon. Anderson segera menanggapi dengan nada suram.
“Kau tidak sedang membicarakan Kaya Lotus, kan?”
“Memang dia.”
“…Berhentilah bercanda. Kaya muncul di internet hanya setelah siaran. Bagaimana mungkin kau belajar dengan melihat Kaya sebelum itu?”
Jo Minjoon tersenyum tetapi tidak menjawab. Lagipula dia tidak mungkin menjelaskannya. Namun, setidaknya dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dirinya tidak berbohong pada Anderson.
“Pertama, ayo kita membahas distribusi kita.”
“Distribusi apa? Peran kita?”
“Iya. Jika dipikir-pikir, distribusi kita selama ini selalu primitif. Salah satu dari dua metode. Masing-masing orang membuat satu hidangan atau salah satu bertanggung jawab terhadap bahan dan yang lain bertanggung jawab memasaknya. Bukankan itu lebih efisien karena menyesuaikan dengan kecakapan masing-masing?”
Mereka sangat antusias mencari metode yang lebih baik. Dalam diam, Anderson menatap mata ikan sea bream, kemudian dia berkata.
“Kita berdua harus menjadi satu orang.”
“…Apa?”
“Apa maksud ekspresimu. Maksudku kita harus bergerak layaknya kita berdua adalah satu orang! Satu orang yang memiliki empat tangan. Pikiranku dan pikiranmu menjadi satu. Jika kita bergerak seperti itu, kita bisa menyelesaikan semuanya.”
“Jika kita melakukan kesalahan, itu juga akan berakhir rumit.”
“Untuk menghindarinya, ayo pastikan kita berada di halaman dengan resep dan komposisi yang sama sebelum kita mulai. Dengan begitu seharusnya akan sedikit lebih baik.”
Jo Minjoon mengangguk. Resep yang mereka gunakan mirip dengan makanan Jepang dasar rumahan. Ini adalah hari terakhir mereka di Jepang, sekaligus momen terakhir mereka bersama-sama seperti keluarga. Alasan mereka memilih sesuatu yang santai adalah setidaknya untuk makanan terakhir ini, alih-alih hidangan yang komersial, mereka ingin membagikan hidangan keluarga.
Konfigurasinya sederhana. Nasi putih. Awalnya, mereka berpikir menambahkan jamur dan membuat nasi jamur, tetapi karena nasi bukanlah hidangan utama, sepertinya itu bukan keputusan yang bagus untuk menambahkan bahan lain ke dalam nasi.
Untuk ikan, mereka memilih sea bream. Mereka memotong daging ikan dan memasukkannya bersama dengan kecap asin, mirin, dan gula ke dalam kaldu yang tersusun dari air, arak beras, dan turnip, lalu mendidihkannya. Di tambah lagi, ada tumis daging dan kentang, daging babi panggang, dan kerang kukus dalam arak beras. Selain itu, mereka punya acar timun dan acar kubis, tauge yang digarami dan ditambahkan minyak biji kenari, serta tahu dingin untuk melengkapi komposisi keseluruhan.
Mereka tidak mengatakan sesuatu secara khusus. Jo Minjoon dan Anderson terus menerus memperhatikan kondisi masing-masing. Bukan berarti mereka tidak fokus pada hidangan yang menjadi tanggung jawab mereka. Alih-laih mengatakan mereka saling mengawasi kondisi masing-masing, mereka justru memperhatikan keadaan keseluruhan dapur. Sama seperti menjadi chef kepala di waktu yang sama, perbedaannya adalah chef kepala yang normal satu orang sedangkan saat ini chef kepalanya dua orang dan mereka bekerja sejalan berdampingan.
Itu pengalaman baru yang menarik, sekaligus menguntungkan. Memasak adalah sesuatu yang bisa dengan mudah membuat kesalahan bila tidak fokus pada setiap menit dalam memasak. Untuk memperhatikan semuanya sembari dengan fasih menggunakan pisau dan wajan di tangan, hal itu lebih sulit dari yang kau pikirkan.
Namun, hal itu terasa menyenangkan. Kesan bahwa otak dan badanmu mencapai batasnya sangatlah menggairahkan hingga sulit dijelaskan dengan kata-kata. Lebih tepatnya, dengan tidak memperhatikan berapa banyak poin yang akan didapatkan hidangan itu, keseluruhan pengalaman ini sangat berbeda. Lidah api yang menyulut-nyulut di bawah wajan tampak lebih terang dan lebih indah dari biasanya. Pegangan pisau terasa nyaman di tangan lebih dari biasanya.
‘Memasak…iya, adalah seperti ini. Semenyenangkan ini.’
Dengan tidak memperhatikan skor yang akan didapatkan, setiap momen dalam proses memasak layaknya bermain dan terasa menggembirakan. Inilah memasak yang sebenarnya. Jo Minjoon tersenyum simpul yang bisa terlihat samar-samar. Senyum tipis, tetapi lebih jujur dan tulus dari biasanya.
Bahkan kerja sama mereka, yang agak canggung di awal, perlahan mulai sempurna. Jika Jo Minjoon berpindah, Anderson dengan cepat mengisi posisi itu. Dan saat Anderson berpikir membutuhkan suatu bahan, Jo Minjoon segera memberikan bahan itu tanpa bertanya. Mereka saling memperhatikan kebutuhan dan gerak masing-masing dengan mendengarkan suara berisik di dapur.
Anderson dapat merasakan jantungnya berdegup kencang. Awalnya, dia merasa dia dikendalikan oleh Jo Minjoon. Namun, ternyata salah. Mereka bertukar jutaan kata meski tanpa berbicara. Mereka saling berkomunikasi dengan baik. Itu perasaan yang belum pernah dia alami sebelumnya, suatu perasaan seperti ada seseorang yang sangat memahaminya.
Jadi ketika memasak selesai, Anderson merasa kecewa yang tampak pada ekspresi wajahnya, seolah film keren yang dia tonton baru saja berakhir. Kemudian Anderson melihat Jo Minjoon dengan tatapan kecewa. Aneh. Jo Minjoon melihat Anderson, tidak, lebih tepatnya, melihat sesuatu di sebelah Anderson.
Namun, meski dia melihat ke arah yang sama, Anderson tidak meihat apapun. Pada saat itu, Jo Minjoon berkata. Dia berbicara dengan nada iri.
“……Selamat, Anderson.”
[Anderson Rousseau]
Level Memasak: 8
Level Memanggang: 7
Level Mengecap: 8
Level Mendekorasi: 7
<Alasan mereka lapar (2)> Selesai