Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 179: Mengambil Inisiatif (1)
[Jeli Spaghetti Ayam]
Kesegaran: 99%
Asal: Tersembunyi karena ada terlalu banyak bahan)
Kualitas: Tinggi
Skor Masakan: 7/10
‘7 poin hanya dengan mie.’
Jo Minjoon memasukkan jeli spaghetti yang selesai terfermentasi ke dalam mulutnya. Dia bisa merasakan elastisitas jeli, tetapi karena jeli terbuat dari agar, kelembutannya berdampingan dengan elastisitasnya sehingga memberikan tekstur yang kenyal seperti mie biasanya. Jika berfokus pada tekstur, mungkin sulit menyebutnya mie ataukah jeli.
Hanya dengan menyantap mie itu sendiri, rasanya seperti hidangan yang pantas. Mau tak mau seperti itu. Di dalam mie bukanlah tepung, melainkan kaldu ayam dan basil, lada, garam, dan lain-lain. Janet, yang berdiri di dekat Jo Minjoon, tanpa berkat apa-apa memasukkan spageti Jo Minjoon ke dalam mulutnya, lalu matanya melebar. Jo Minjoon menyeringai lalu bertanya.
“Bagaimana? Enak?”
“…Ini enak, tapi.”
Janet berekspresi agak kurang nyaman saat melihat spaghetti itu. Jo Minjoon paham dengan maksud tatapannya.
“Ada sesuatu yang hilang.”
“Pertama, perlu semacam garnish yang akan menambah tekstur renyah. Tambahkan minyak zaitun, tapi jangan menambahkan herba apapun, karena cita rasa di dalamnya sudah kuat.”
Meskipun dia tidak sering berbicara dengan santai seperti itu, Janet cenderung berbicara panjang lebar jika menyangkut memasak. Hanya satu alasan Janet berbicara. Janet menoleh lalu berkata.
“Ella, kau mau mencicipi ini?”
“Iya!”
“Dia ingin mencicipinya lho.”
Jo Minjoon tertawa pada tatapan Janet yang tampak seperti bertanya kenapa dia belum memberikan itu pada Ella. Ella meletakkan dagunya di atas meja masak lalu melihat seluruh hidangan dengan mata berbinar. Melihat mie berwarna hijau terang, Ella berseru takjub, dengan dagunya masih menempel di meja masak.
“Ini seperti jeli!”
“Ini spaghetti yang terbuat dari jeli.”
“Spaghetti dari jeli? Lalu apa aku bisa menambahkan saus tomat di atasnya?”
“Bisa…tapi mungkin tidak terasa enak.”
Jo Minjoon menjawab dengan ekspresi seolah dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya nanti. Janet memberikan pasta tomat lalu berkata.
“Ini bukan saus tomat, tapi coba saja mencelupkannya. Setidaknya kau bisa tahu rasanya bagaimana.”
“…Oh, terima kasih.”
Tentu saja tidak enak. Jo Minjoon menggeleng-gelengkan kepala lalu berkata.
“Aku hanya perlu menyajikan ini sebagai pasta dingin atau membuatnya lagi menggunakan kaldu sayuran, bukanya kaldu ayam, lalu menambahkan seafood ke dalamnya. Mungkin itu lebih baik.”
“Jika kau selesai merenung, aku mau kau mencicipi hidanganku.”
“Hidanganmu?”
“Kau kan punya indera pengecap yang mutlak. Meskipun kau adalah sainganku, sebaiknya aku tetap memanfaatkanmu kalau bisa. Tapi kalau kau tidak mau ya sudah.”
“Berikan padaku.”
Jo Minjoon meraih dengan sigap hidangan buatan Janet di tangannya. Hidangan Janet adalah ravioli. Jika ada yang berbeda dengan ravioli biasanya, itu adalah adonannya transparan dan setipis kantong plastik. Itulah film gastronom molekuler, yang terbuat dari pati dan lesitin.
Dilihat sekilas, mungkin akan terpikir lembar nasi yang digunakan pada lumpia Vietnam, tetapi yang ini jauh lebih tipis dibandingkan itu, dan bisa meleleh dengan mudahnya di mulut. Apa yang Janet masukkan ke dalamnya adalah irisan kacang tipis dan kaldu sayuran berbumbu, yang kemudian didinginkan.
‘8 poin.’
Ketika berkaitan dengan gastronomi molekuler, kesalahan kecil dalam rasio menyebabkan kegagalan. Itu berarti, hidangan gastronomi molekuler yang sukses tidak lain adalah yang meraih poin tinggi. Tetapi Jo Minjoon berekspresi aneh di wajahnya setelah menyantap ravioli Janet.
‘Dibandingkan poin hidangan itu, rasanya tidak seenak yang dia duga.’
“…Apa? Tidak enak kah?”
“Alih-alih tidak enak…haruskah aku menyebutnya terlalu mekanis?”
Mendengar itu bukanlah soal manusia, mata Janet gemetar. Dengan cepat Jo Minjoon megoyangkan tangannya.
“Aku sama sekali tidak menyebut tentang dirimu. Apa yang coba aku katakan adalah…aku merasa sepertinya kau sangat fokus sekali dalam membuat makanan yang luar biasa. Ada perbedaan antara masakan yang baik dan hidangan yang enak. Kau tahu apa maksudku kan?”
“Aku paham.”
“Tetapi jangan terlalu fokus dengan itu karena itu tidak buruk.”
“Kalau kau…”
Bibir Janet gemetar. Dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi tampaknya sulit sekali mengutarakanya. tetapi Jo Minjoon tidak membuat dia terburu-buru agar lanjut berbicara. Jo Minjoon menunggu. Dia mendengarkan keheningan dari lawan bicaranya. Dia adalah orang yang semacam itu.
Pada akhirnya, keberanian membuat Janet akhirnya bisa mengutarakannya.
“Kala kau sendiri, bagaimana kau akan melakukannya?”
Saat dia mendengar apa yang diutarakan Janet, dia bisa paham kenapa Janet ragu-ragu sekali. Biasanya dia kaku dan sangat kasar. Pada beberapa aspek, dia lebih buruk dari pada Kaya. Bagi seseorang seperti dia, bertanya pada Jo Minjoon soal memasak, mungkin itu tidak mudah, harga diri dan kepribadiannyalah yang membuat itu sulit.
Jo Minjoon merespon dengan ekspresi serius. Karena Janet membuat keputusan yag sulit untuk bertanya, dia tidak bisa menjawab dengan jawaban yang sederhana. Jo Minjoon memilah dan memperbaiki resep puluhan kali di dalam kepalanya. Apa yang menjadi fokusnya bukanlah poin, melainkan cita rasanya.
Cita rasa dalam bayangannya tidak akan sangat akurat, tetapi kemampuannya dalam mengotak-atik resep perlahan berkembang. Sebagai buktinya, akhir-akhir ini, cita rasa yang dia bayangkan dengan resep buatanyya tidak berbeda dengan hasil akhirnya. Itu adalah bukti bahwa intuisinya soal cita rasa semakin meningkat.
“Kalau aku, aku akan menggunakan pati jagung alih-alih pati kentang untuk memulainya. Itu tidak akan setransparan ini, tetapi cita rasa saat menempel di lidah akan lebih enak. Untuk kaldunya…cita rasa ringan kaldu sayur sepertinya tidak bisa bersanding dengan cita rasa berminyak dari kacang. Mungkin kaldu ikan lebih cocok?”
“…Kau memikirkan sebanyak itu dalam waktu singkat?”
“Ini pekerjaan kita. Aku harus melakukannya sebaik mungkin. Tetapi sepertinya kau mulai berkeinginan untuk menang.”
“Tidak ada yang berubah dalam hasratku untuk mengerjakan hidangan pembuka. Tetap saja, meskipun juara kedua adalah posisi terbaik…aku juga tidak mau kalah.”
Jo Minjoon tertawa.
“Aku pun demikian.”
€
10 hari itu tidak lama. Setdaknya untuk pemula gastronomi molekuler, yang berusaha membuat resep menu yang layak, itu waktu yang teramat singkat.
Bahkan mereka tidak bisa berdiskusi dengan chef preparasi. Tugas mereka setiap hari adalah membuat ulang resep buatan Rachel pada hari itu, entah itu masakan tradisional atau pun gastronomi molekuler. Selain itu, mereka punya masalah yang lebih penting dari pada mencerna menu-menu itu. Itu adalah.
“Siapa yang menajamkan pisauku?”
Anderson berteriak dengan nada kesal. Chef preparasi saling bertatapan. Yang melangkah maju adalah Maya, seorang wanita Hispanik yang masih memiliki sedikit lemak bayi di pipinya. Dengan hati-hati dia menjawab.
“Aku yang menajamkannya karena sepertinya kurang tajam…”
“Kau bilang kau dari Great Cuisine, apa di sana mereka menyentuh pisau orang lain sesuka mereka? Jangan melakukan hal-hal yang tidak diminta! Aku benci orang lain menyentuh pisauku.”
“Iya, chef!” Maafkan aku!”
Tampaknya dia berusaha mendapatkan nilai lebih tapi malah mendapat kemarahan. Rekannya sesama chef preparasi, Gerrick, mendecakkan lidahnya lalu berkata.
“Ckckck. Jika kau hendak menajamkan pisau, sebaiknya kau menajamkan pisau milik chef Minjoon atau chef Javier. Mereka berdua akan berterima kasih padamu. Aku mungkin sudah mengatakannya padamu.”
“…Aku tidak tahu. …Aku bodoh.” gumam Maya dengan ekspresi teramat sedih
Seorang pria afrika yang berasal dari Kenya, Fred, berbisik pelan. Suaranya tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya.
“Tidak apa-apa. Meskipun kau tidak berusaha mendapatkan poin dari mereka. Jika kau bekerja dengan mereka, mereka jelas akan memperlakukanmu dengan baik. Berharaplah kau tidak berakhir malang dan bekerja dengan chef Janet ataupun chef Anderson. Mereka pasti akan sangat keras.”
Di antara chef preparasi, Janet dan Anderson masuk dalam daftar orang-orang yang mereka hindari. Kalau Anderson, dia telah menunjukkan sisi yang kasar sejak awal. Tentunya, dia perlu bersikap keras untuk memastikan chef preparasi fokus dan memasak dengan benar. Akan tetapi, chef preparasi justru takut akan seberapa kasar dia nanti saat restoran telah resmi dibuka.
Sedangkan Janet, dia bukan tipe orang yang menaikkan suaranya seperti Anderson, tetapi jika kau membuat kesalahan, dia akan melotot padamu hingga kau ketakutan setengah mati. Maya menghela napas saat dia berkata.
“Ketika aku jadi chef demi, aku tdak akan seperti mereka berdua. Aku akan memperlakukan chef preparasi dengan baik.”
“Aku ingin bekerja dengan chef Minjoon.”
“Tetapi chef Minjoon puya sisi yang tersembunyi juga. Tentunya itu lebih baik dari dua yang lain itu. Aku suka chef Javier karena dia ramah.”
“Kau bilang begitu karena kau belum pernah punya pengalaman bekerja dengannya. Chef-chef yang seperti itulah yang paling menakutkan ketika benar bekerja. Barangkali lebih baik mendapat caci maki dari chef Anderson.”
Orang yang mengatakan itu adalah Antonio, pria muda yang terbang jauh-jauh ke sini dari Italia hanya demi Rose Island. Maya melihat Antonio lalu bertanya.
“Jadi kau mengatakan kalau kau suka dengan chef Anderson, begitu?”
“Iya.”
“Pada akhirnya, chef yang tidak diinginkan siapapun adalah chef Janet.”
“Chef Janet itu….dia terasa seperti penuh dengan racun. Ketika berada di sebelahnya, aku merasa seperti tidak bisa bernapas karena aku sangat gugup.”
Gerrick menghela napas mendengar ucapan Antonio.
“Apa untungnya sih kita membicarakan hal ini? Pada akhirnya, chef demi punya kuasa untuk memilih kita.”
Sama seperti yang dia bilang. Berdasarkan hasil gastronomi molekuler, Rachel mengumumkan bahwa chef demi juga berhak memilih chef preparasi. Maya mengeluh lalu berkata.
“Menurutku, chef Minjoon akan menang. Jeli spaghetti yang dia buat terakhir itu sangat sulit aku ikuti. Mencocokkan densitasnya sangat suliit, mendorong udara ke dalam tabung dengan suntikan itu sulit…”
“Jika dipikir-pikir, para chef masih baru dalam hal gastronomi molekuler sama seperti kita, jadi kenapa mereka lebih baik dari kita?”
“Karena dasar mereka kuat, dan keahlian mereka juga bagus. Lagipula, it masuk akal bagi chef lain, tetapi chef Minjoon sungguh menakjubkan. Bagaimana mungkin dia punya keahlian itu di usia 21…itu tidak seperti dia punya pengalaman di dapur tempat lain.”
“Itu berarti dia sangat bekerja keras seorang diri.”
Kemampuan Jo Minjoon sangat sering menjadi topik perbincangan mereka. Hal itu karena kebanyakan dari mereka sepantaran, atau sedikit lebih tua darinya. Anderson lebih tua sedikit dari Jo Minjoon, dan dia mendapat pengalaman karena pengaruh orang tuanya sejak kecil, jadi itu masuk akal bagi mereka.
Tetapi Jo Minjoon lebih muda dari Anderson, dan tentunya tidak punya pengalaman sebanyak Anderson. Tetapi kemampuannya tidak banyak berbeda dari kemampuan Anderson, jadi mereka semua menghargai Jo Minjoon sekaligus iri terhadap Jo Minjoon.
“….Aku penasaran jika mereka tahu kalau mereka tidak mengontrol suara mereka saat ini.”
Jo Minjoon berbisik pada Anderson yang berada di sebelahnya. Keempat chef preparasi lupa mengontrol volume suara mereka sejak di tengah pembicaraan, dan berbicara dengan volume yang bisa terdengar oleh semua orang. Anderson mendengus saat merespon.
“Kau pasti senang. Kau adalah supervisor yang dihormati.”
“Lalu kenapa pula kau bersikap sangat kasar…”
“Aku terlahir seperti seorang musuh dalam film Disney, jadi apa yang bisa kuperbuat?”
Dia menggerutu dan menjawab seolah dia bercanda, tetapi terlihat dengan jelas oleh mata kalau ada kegugupan dibalik ucapannya. Itu masuk akal. 10 hari telah berlalu. Itu berarti, tidak lama lagi mereka akan bertanding.
Metode pertandingan yang dijelaskan oleh Rachel sederhana. Mereka akan melakukan perjalanan dalam truk makanan dan menunjukkan hidangan gastronomi molekuler pada masyarakat. Bukan berdasarkan siapa yang menjual paling banyak, melainkan mereka akan mencari secara acak orang-orang yang akan mencoba keempat hidangan mereka dan meminta mereka memberikan suara.
Jo Minjoon mengeluarkan pasta jeli yang terfermentasi dengan baik dari dalam lemari es. Tidak hanya spaghetti. Dia punya ravioli warna biru dengan isian buah-buahan, dan lasagna warna merah. Inilah yang dia buat setelah menyimak ulasan Janet bahwa ada yang kurang.
Bagian yang mengecewakan adalah semuanya dikompresi menjadi satu. Namun, Jo Minjoon tidak ingin menyerah karena kelemahan itu. Jadi, satu-satunya jawaban adalah dengan memperbanyak jenisnya. Anderson, yang berada di sebelahnya, melihat hidangan itu dengan ekspresi masam.
“…Haruskan aku membuat yang berbeda-beda juga?”
“Punyaku tampak banyak, tetapi mereka semua berikatakan bersama dalam kategori pasta jeli.”
“Itu benar, tapi…”
“Lagipula kau ingin posisi yang kedua. Kalau begitu bukankah lebih baik bagiku untuk mendapatkan posisi pertama ?”
“Kau berbicara seolah punya jaminan mendapat posisi pertama.”
“Kaya bilang padaku jangan kalah.”
“…Kau pasti sudah gila. Apa kau sebegitu menyukainya?”
Anderson berbicara seolah tidak paham. Jo Minjoon berekspresi seolah mengatakan ‘kenapa kau mengatakan hal yang sudah jelas?’ lalu menjawab.
“Tidak ada alasan untuk tidak menyukainya. Dia baik, lucu, cantik, jago memasak, dan berbakat. Wow. Sekarang jika dipikir-pikir, dia menakjubkan. Lalu apalagi ya kekurangan pacarku?”
Anderson memegang dahinya, seolah dia terlalu lelah untuk merespon. Kemudian dia memejamkan matanya lalu mulai komat-kamit berdoa.
“Tuhan. Kumohon ampunilah temanku. Dia tampaknya tidak waras, tetapi dia tidak gila.”
“Karena kau tidak mengatakan apapun, kau pasti juga terpesona. Lihat, Kaya sungguh pacar yang sempurna, kan”
Jo Minjoon lanjut berbicara. Anderson memejamkan matanya lagi.
“…Ampuni aku. Aku berbohong. Temanku memang tidak waras.”
<Mengambil Inisiatif (1)> Selesai