Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 184: Kekuatan sains itu mengagumkan (2)
“Apa?”
Kaya tercengang sejenak lalu menatap Rachel. Dia paham maksud Rachel, lalu wajahnya memerah.
“Kenapa? Lagipula kalian berdua kan berkencan. Apa ada masalah?”
“Itu, ki, kita…belum…itu…aku belum siap…”
Mungkin sulit bagi Kaya untuk mengatakannya. Dia kebingungan lalu mulai menghindari tatapan Rachel. Rachel tersenyum lalu menjawab.
“Aku hanya bercanda. Ada banyak kamar, jadi silakan pilih yang mana yang kau suka. Masing-masing ada kamar mandi di dalam, jadi, kau bisa mandi sekalian.”
“Oke. Terima kasih.”
Kaya menjawab dengan ekspresi canggung. Rachel tersenyum saat melihat Jo Minjoon.
“Aku dengar kau berencana tinggal dengan Kaya dan yang lainnya nanti saat kau meninggalkan rumah.”
“Kami belum mendiskusikan itu secara detail…kami hanya terpikir hal itu.”
“Ini mengecewakan. Dengan kau berada di sini, membuatku tidak merasa hampa.”
“…Aku pun sedih mendengarnya. Aku sangat senang bisa menikmati masakan Guru begitu sering.”
Dia jujur. Masakan Rachel tidak pernah membuat siapapun merasa tidak senang. Hidangan yang dibuat Rachel luar biasa. Rachel tersenyum sekali lagi saat menjawab.
“Jika aku tahu kau sangat menyukainya, sebaiknya aku lebih sering memasak untukmu.”
“Aku tidak bisa memintamu melakukan itu saat kau lelah. Terlebih, citarasa makanan akan semakin enak semakin lama kau menunggu di antara jeda waktu saat memakannya.”
“Tetapi tidak ada orang yang suka menunggu, bahkan seorang epicurean. Meskipun ini adalah kisah yang sedikit berbeda jika kau kenyang.”
Jo Minjoon mengangguk mendengar ucapan Rachel. Dampak dari periode menunggu yang singkat itu, begitu kuat, sulit membuat diri sendiri bersabar.
“Beberapa jam kemudian, Jo Minjoon harus bersabar dengan cara yang berbeda. Di atas tempat tidurnya. Kaya bergerak-gerak dengan canggung saat menatap wajah Jo Minjoon. Rambutnya agak basah karena dia baru selesai mandi, dan karena tidak membawa baju ganti, dia menggunakan pakaian Jo Minjoon, kaos dan celana pendek.
“…Kau sengaja melakukannya, kan? Kau sangat menggoda sekarang.”
“Aku tidak tahu kau bicara apa.”
“Kau punya tempat tidur sendiri. Kenapa kau di sini?”
“Aku belum ngantuk. Jadi, aku mungkin bisa sekalian mengambil kesempatan melihat wajahmu sebanyak mungkin. Kau bisa tidur jika kau mau. Aku pun suka wajahmu saat tidur.”
“Bagaimana mungkin aku bisa tertidur dengan kau terus menatapku seperti itu?”
Jo Minjoon tersenyum masam lalu membuka lengannya. Jari-jarinya, yang mulai kapalan, perlahan mengelus pipi dan dagu Kaya. Diujung jari-jarinya, rambut Kaya yang sedikit basah terbelai. Kaya tersenyum.
“Rambutku lebih indah sekarang karena aku mencucinya secara teratur, berkat seseorang.”
“Kau tidak suka sering-sering mencucinya?”
“Bukan itu yang penting. Bagian yang penting adalah aku sering mencucinya demi dirimu.”
“…Bukan bagian penting jika bukan demi aku, kau joorok sekali kau bahkan tidak mencuci rambutmu?”
“Apa kau tidak suka punya pacar yang jorok?”
“Aku tidak yakin. Hanya karena aku menyukaimu bukan berarti aku harus menyukai semua tentangmu.”
Kaya memutar bola matanya ke atas seolah sedang berpikir lalu dia tersenyum. Jarak mereka semakin dekat. Ada aroma buah tercium dari badan Kaya. Alih-alih aroma badannya, itu lebih seperti aroma shampo dan losyen, tetapi tetap saja, aroma itu membuat Jo Minjoon penasaran apakah ada jus buah dalam tubuh Kaya alih-alih darah. Perlahan Jo Minjoon berkata.
“Memangnya ini waktunya marah?”
“Tidak. Setelah memikirkannya, aku memutuskan menyukai jawabanmu. Jika kau menyukaiku meski tidak menyukai segala sesuatu tentangku, itu berarti meskipun ada hal-hal tentang diriku yang tidak kau sukai …… Kau akan terus menyukaiku. Sekarang aku bisa santai dan menjadi diriku sendiri.”
“…Bagaimana kau mengambil kesimpulan seperti itu?” tanya Jo Minjoon sambil tertawa tidak percaya.
Kaya tersenyum ceria saat dia menatap wajah tersenyum Jo Minjoon lalu perlahan dia berkata.
“Maaf.”
“Tentang apa?”
“Itu…pasangan lain umumnya sudah melakukan semuanya pada titik ini. Tetapi kita bahkan belum sampai pada tahap akhir itu.”
Jo Minjoon tidak mengatakan apapun. Alasan Kaya tidak ingin membawanya ke tahap akhir, secara khusus, alasan dia takut pada level itu sederhana. Kaya tahu dengan baik hasil dari hubungan pria dengan wanita yang tanpa persiapan. Meskipun ayahnya muncul kembali setelah 20 tahun, selama 20 tahun itulah dia menapaki jalan yang berduri. Bagaimana bisa seorang pria yang bahkan tidak bisa melindungi keluarganya menjalani hidupnya? Kaya tidak ingin menjadi seperti ayahnya. Dia pun tak ingin menjadi seperti ibunya. Untuk membangun keluarga, harus di saat semuanya sudah mapan. Dia ingin menundanya sampai saat itu.
Tentunya, berhubungan intim tidak sama dengan membangun keluarga. Ada banyak metode pencegahan. Tetapi alasan Kaya mengalami kesulitan dengan aktivitas semacam itu, Jo Minjoon bisa paham. Kaya lanjut berbicara dengan nada gugup.
“Apa sulit menahannya? Jika iya, aku…”
“Kaya.”
Jo Minjoon menempelkan tangannya di pipi Kaya. Itu hanya telapak tangan Jo Minjoon, tetapi Kaya merasa seolah seluruh bumi memeluknya. Kaya mendongak. Sorot mata Jo Minjoon memeluk Kaya dengan hangat. Jo Minjoon berkata.
“Jika kau mengeluarkan pasta yang belum matang karena kau sudah lapar, pasta itu tidak akan membuat bahagia siapapun. baik bagi chef maupun pelanggan. Bagiku, meski hubungan kita sedikit membuat frustasi, aku ingin pasta ini dimasak dengan benar, sampai-sampai tidak ada satu ons pun ketidaksempurnaan yang tersaji di piring. Iya, kau benar. Ini sulit ditolak. Tetapi, jika kita tidak melakukan sesuatu karena sulit dan melakukan hal-hal yang seharusnya tidak kita lakukan …… hidup kita tidak akan menjadi berselera.”
“Apa kau sungguh merasa seperti itu?”
“Iya. Aku selalu benci menunggu, tapi aku akan menunggu. Kaya Lotus kan chef favoritku. Aku yakin dia akan membawakanku hidangan yang melampaui ekspektasiku.”
Begitu Jo Minjoon mengakhiri kalimatnya, Kaya mendongak lalu mencium Jo Minjoon. Kemudian dia berkata dengan nada hampir menangis.
“Itu tadi hanya hidangan pembuka. Aku tidak akan membuatmu kenyang, tapi tunggulah. Hidangan utama tidak akan lama. Aku janji.”
“Semuanya baik, tapi…”
Jo Minjoon tertawa nakal.
“Apa hanya ada satu hidangan pembuka?”
Wajah Kaya tersenyum lebar. Dia meletakkan kedua tangannya di pipi Jo Minjoon. Hidung mereka bersentuhan, dan mereka bisa merasakan hembusan napas masing-masing.
“Tidak. Aku bahkan bisa memberimu ratusan.”
€
Pada akhirnya, meskipun Rachel meminjamkan kamar lain untuk Kaya, dia menghabiskan malam di kamar Jo Minjoon. Jo Minjoon yang pertama membuka mata. Diam-diam dia melihat wajah Kaya yang sedang tidur.
Untuk hatinya merasakan kehangatan hanya dengan memandangi wajah seseorang, hal ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dia duga mungkin terjadi padanya. Dia tidak bisa percaya bahwa dia memiliki seseorang yang begitu lekat di benaknya. Kaya berubah menjadi orang yang seperti itu bagi Jo Minjoon.
‘Jika aku dan dia berakhir tinggal bersama…akankah aku bisa melihatnya seperti ini setiap pagi?’
Yaa, semakin dipikir-pikir, jika tinggal bersama Anderson dan Chloe juga, ceritanya bisa berbeda karena mereka berdua tidak akan bisa berbagi ruangan. Memikirkan tentang itu, dia bahkan penasaran apakah lebih baik jika Anderson dan Chloe menolak tawaran itu. Kemudian, dia menyadari bahwa orang yang punya pikiran semacam itu sangat asing baginya. Berapa lama dia harus memandangi Kaya seperti itu? Kaya yang tampaknya sedang menikmati makanan dalam mimpinya perlahan membuka matanya lalu melihat sekitarnya.
“Minjoon …… oh. Benar. Aku tidur di sini.”
“Iya. Apa tidurmu nyenyak?”
“Aku tidur nyenyak, tetapi bibirku rasanya bengkak sekali. Menurutku, aku berlebihan melakukannya.”
“Tidak hanya bibirmu. Menurutku, seluruh wajahmu juga bengkak.”
“Jangan bilang begitu. Kau kan pacarku. Kau harusnya mengatakan bahwa wajahku yang bengkak tampak cantik.”
“Aku tidak pernah bilang wajahmu jelek. Hanya bengkak. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.”
“…Kau terlalu pandai bicara.”
Kaya mengatakan itu sambil mengusap-usapkan wajahnya di leher Jo Minjoon. Jo Minjoon menepuk-nepuk punggung Kaya lalu berkata.
“Bangun. Waktunya pergi bekerja.”
“Hoaaahm…jam berapa ini?”
“Hampir jam 7.”
“Bohong. Katakan bersama dengan menitnya. Ini terasa seperti belum jam 7.”
“6:47.”
“Oke. kalau begitu tetap seperti ini 3 menit lagi.”
“Setelah 3 menit, aku merasa kau akan meminta tetap melakukan ini 10 menit lagi.”
“Kalau begitu lakukan ini 13 menit lagi. Kenapa sih? Kau tidak suka?” tanya Kaya dengan mata bulat seperti anak anjing. Jo Minjoon yang melihat Kaya berekspresi seperti, menjawab.
“Ada kotoran di matamu.”
“Tidak apa-apa. Bahkan kotoran di mataku membuatku tampak cantik. Aku sudah bilang. Aku juara kedua chef paling cantik se-AS.”
“Kau pasti sangat bangga dengan itu.”
“Aku tidak sebegitu bangga. Sedikit lebih bangga dari pada memenangkan Grand Chef.”
“…Kau tidak bisa menahan diri karena kau sangat gembira dengan itu.”
Jo Minjoon tersenyum sambil membelai kepala Kaya. Kaya hanya menatap leher Jo Minjoon tanpa berkata apa-apa. Bekas luka bakar di lehernya berwarna gelap dan terang di bagian tertentu. Saat dia mengenakan seragam chef, sebagian besar bekas luka itu tertutup kerah baju, tetapi akan terlihat seluruhnya saat dia mengenakan kaos biasa seperti ini. Kaya berkata dengan nada sedih.
“Bagaimana jika kau melakukan operasi plastik untuk ini? Atau mungkin tattoo untuk menutupinya.”
“Aku sudah bilang aku tidak malu dengan bekas luka ini. Ini bekas luka kehormatan.”
“Tetap saja…hanya melihat ini aku merasa sangat bersalah.”
“Tak perlu merasa bersalah. Kau telah melakukan banyak hal padaku. Bekas luka ini, aku merasa tidak sebanding dengan itu.”
“…Aku selalu merasa seolah aku tidak pernah melakukan apa-apa untukmu, tapi kau selalu mengatakan sebaliknya.”
“Kau membantuku bermimpi.”
“…Aku?”
Jo Minjoon hanya mengangguk. Dia ingin menjelaskan semuanya pada Kaya yang saat ini memiringkan kepalanya karena bingung. Dia ingin menceritakan padanya tentang bagaimana dia datang dari masa depan, dan bagaimana dia punya kekuatan sistem. Dia ingin Kaya menjadi hutan bambu, tempat dia bisa mencurahkan semua rahasianya juga. Tetapi sekarang bukan waktunya. Kaya cukup sibuk dengan masalahnya sendiri. Jo Minjoon mengambil ponselnya alih-alih merespon.
“Baiklah. Sekarang bangun. Sudah tepat pukul 7 pagi. Kau harus pergi bekerja.”
“5 menit lagi, tidak, 3 menit lagi. Kau tahu aku sakit kepala, dan perutku sakit…”
“Jika itu sakit yang akan sembuh dalam 3 menit, bukan sakit itu namanya. Ayo berdiri.”
Kaya mencebik.
“…Ga asik.”
€
“Chef, tampaknya suasana hatimu baik hari ini.”
Itu hal pertama yang Maya katakan segera setelah melihat Jo Minjoon masuk ke restoran. Jo Minjoon meliriknya lalu berkata dengan suara galak.
“Suasana hati adalah sesuatu yang bisa menjadi sangat bagus atau sangat buruk dalam sekejap. Jadi, Maya. Tampaknya kau punya sesuatu yang ingin kau katakan padaku…apa itu? Apa itu sesuatu yang membuatku merasa baik ataukah buruk?”
“Mmm…Aku tidak tahu apakah chef akan senang atau tidak. Aku telah memutuskan untuk menjadi asistenmu.”
“Oh….begitukah? Sepertinya kalian berdua sudah membuat keputusan. Bagaimana Gerrick meyakinkanmu?”
“…Nenek moyang kita telah meninggalkan warisan yang baik. Jika sesuatu tidak bisa diputuskan dengan pemikiran, bukankah lebih baik menyerahkan pada batu-gunting-kertas?”
“Jadi? Kau bersedia karena kau menang atau kalah?”
Maya tidak bisa menjawab dan hanya memutar bola matanya. Jo Minjoon menghela nafas.
“Kau kalah, bukan?”
“…Ma, maafkan aku. Tapi aku akan bekerja dengan baik!”
Jo Minjoon tercengang menatap Maya, yang membuatnya tidak mungkin tahu apa yang sedang Jo Minjoon pikirkan. Maya pasti tidak punya kepercayaan diri untuk menatap balik Jo Minjoon, jadi, dia menundukkan kepala lalu mulai gelisah. Tidak lama kemudian Jo Minjoon berkata. Soal perasaan Maya, Jo Minjoon sebenarnya paham lebih dari siapapun.
“Ini akan sulit dan merepotkan. Kau mungkin berpikir kau tidak beruntung mendapat bagian ini. Tapi setidaknya, aku akan membuatmu merasa seolah kau beruntung bekerja dengan chef demi seperti aku. Mari kita bekerja dengan baik bersama-sama. Aku akan berikan yang terbaik.”
“…Iya! Terima kasih, Chef.”
“Kenapa kau berterima kasih padahal aku belum melakukan apa-apa? Pertama, ayo kita memberi tahu chef sous. Dia pasti menunggu.”
“Iya!”
Maya menjawab dengan enerjik lalu mengikuti langkah Jo Minjoon. Dia punya segala pemikiran negatif saat dia kalah dalam adu batu-gunting-kertas, tetapi setelah memikirkannya lagi, dia memutuskan bahwa ini tidak terlalu buruk. Bagaimanapun, Jo Minjoon adalah chef demi yang berbakat. Dia juga salah satu chef yang baik di dunia ini. Seseorang dengan pengecapan yang lebih baik dari siapapun di dunia ini.
‘Aku akan memiliki semua keahlian chef Jo Minjoon.’
Dengan Maya yang memiliki pikiran seperti itu, mereka berdua masuk ke dalam ruang kantor. Tidak hanya Rafael yang ada di dalam ruang kantor, Rachel dan Isaac juga di sana. Mereka melihat Minjoon sambil tetap duduk. Dengan hati-hati, Jo Minjoon berkata.
“Haruskah aku datang nanti saja?”
“Tidak perlu. Tidak apa-apa. Kemarilah. Ini sesuatu yang sebaiknya kau dengar juga.”
“Aku?”
“Minjoon, dari elemen-elemen yang harus dimiliki restoran, selain layanan dan cita rasa, lalu apa lagi?”
“…Apa ada hal lain yang diperlukan selain dua hal itu? Aku tidak bisa memikirkan hal lain.”
Mendengar jawaban Jo Minjoon, Isaac menjawab dengan nada seperti seorang pengusaha veteran.
“Itu citra.”
“Citra?”
“Kau juga bisa menyebutnya kepopuleran. Hal-hal yang orang-orang cari di Rose Island, tidak hanya makanan yang lezat. Makanan yang dibuat oleh Rachel Rose. Makanan yang dibuat dari restoran kelas dunia yang tidak pernah turun peringkat dari bintang 3 Michelin. Chef Minjoon, Citra yang dimiliki Rose Island yang kau lihat saat ini, bagaimana?”
Jo Minjoon mulai berpikir. Dia berkata dengan nada hati-hati.
“Ini legenda. Restoran pusat dari banyak Rose Islands di seluruh dunia. Sebutan ‘restoran pusat’ ini selalu memiliki cincin spesial. Reputasi lama guru Rachel akan tertinggal dalam benak orang-orang.”
“Iya. Kau benar. Ini Legenda. Ini legenda. Dan legenda selalu ada dalam kenangan orang-orang, tidak sekarang. Maksudku adalah hal itu hanya di masa lalu. Orang-orang mungkin berpikir bahwa restoran pusat kita…”
“Mereka mungkin menganggapnya tidak sebagus dulu.”
Rachel menyelesaikan kalimat Isaac. Dia berkata pelan.
“Ini adalah PR yang harus kita selesaikan. Orang-orang selalu begitu. Mereka selalu punya dua macam ekspektasi. Mereka yang sama takjubnya seperti di masa lalu dan Mereka yang tidak bisa beranjak dari masa lalu. Kita perlu menangani orang-orang dengan dua ekspektasi itu. Kita perlu menunjukkan pada mereka bahwa sekarang kita lebih baik dan jauh berbeda.”
“…Aku suka dengan ucapan Guru. Tetapi bagaimana rencana Guru untuk menunjukkan itu?”
“Ada kompetisi memasak di Los Angeles tidak lama lagi. Setiap tahun, chef-chef dari semua jenis restoran datang ke Los Angeles. Ini kompetisi untuk menentukan peringkat mereka. Di tambah lagi, saat Rose Island dulu buka, kita tidak pernah kehilangan tropi kemenangan.”
Sorot mata Rachel berkilat tajam. Dia lanjut berbicara seperti komandan yang siap berperang.
“Kita harus mengambil apa yang harus kita ambil juga kali ini.”
<Kekuatan sains itu mengagumkan (2)> Selesai