Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 190: Mencari akar (1)
#Restoran utama Rose Island bangun dari tidurnya selama 10 tahun.
Kenangan adalah sesuatu yang terasa seperti dalam genggamanmu tetapi sebenarnya itu di luar jangkauan. Aku yakin pada saat itu sulit dan menyakitkan, tetapi hanya pada fakta bahwa waktu telah berlalu menjadikannya mungkin untuk merenungkan dengan penuh kasih masa-masa itu dengan bernostalgia … kenangan benar-benar berada di luar kendali kita.
Maka dari itu, ketika aku mendengar bahwa restoran utama sedang bersiap-siap mengudara lagi, aku bahagia tetapi juga gelisah. Apakah restoran utama sungguh sempurna dan tanpa cacat seperti dalam kenanganku? Apa mungkin benakku menghapus kenangan buruk dan hanya menyisakan kenangan positif dari Rose Island?
Syukurlah, aku bisa menghapus sebagian besar kegelisahan itu. Kompetisi Memasak LA yang ke-53. Ada banyak sekali yang membicarakan tentang kompetisi tahun ini karena rumor tentang keikutsertaan Rose Island. Orang-orang yang kurang percaya diri sudah menyerah dari jauh hari sebelum kompetisi dimulai, dan industri besar yang biasanya tidak peduli tentang kompetisi ini muncul untuk berhadapan dengan Rose Island. Mungkin mereka berpikir mereka bisa menangkap basah kekurangan Rose Island.
Tetapi hasilnya adalah kemenangan telak bagi Rose Island. Para juri memberikan suara bulat pada Rose Island sebagai tim yang menang. Hal ini tidak hanya berarti mereka memasak dengan baik, tetapi mereka pun meletakkan pesona yang luar biasa di atas piring untuk memikat semua orang.
Satu lagi fakta yang menakjubkan adalah genre yang digunakan Rose Island untuk memberikan pesona itu tidak lain adalah gastronomi molekuler. Rachel Rose tampaknya telah mengirimkan pesan melalui kompetisi. Kemampuan memasaknya tidak berhenti di masa lalu, tetapi terus berjalan sampai sekarang bersama dengan chef-chef lain. Melalui ini aku…
“Apa itu berita?”
“Bukan, blog. Tampaknya penggemar Guru Rachel. Tentunya tidak ada epicurean tua yang tidak menjadi penggemar guru Rachel.”
“…Aku merasa iri. Aku ingin belajar di bawah seseorang yang seperti itu.”
“Cobalah mengetuk pintu kami setelah Grand Chef selesai.”
“Perlu adanya ketersediaan di sana.”
“Siapa tahu? Sesuatu mungkin terjadi. Kami mungkin memperbesar restoran atau semacamnya.”
Kaya tidak merespon hal itu. Di malam hari. Mereka berdua berjalan-jalan di pantai sekali lagi. Duduk di atas pasir dan menghirup hawa laut. Kaya perlahan berkata.
“Apa kabar dengan orang tuamu?”
“Sama seperti biasa. Aku menelpon mereka setiap hari, tetapi mereka masih tetap khawatir. Mereka tidak mendengarkan meski aku mengatakan tidak ada alasan untuk khawatir. Bagaimana dengan ibumu?”
“Dia khawatir. Apa lagi yang dilakukan orangtua selain mengkhawatirkan anaknya. Menurutku, ibuku pelan-pelan akan pindah ke LA. Ibuku bilang, dia sudah mengurus lapaknya.”
“Dan…ayahmu?”
Kaya ragu. Tidak peduli betapa dia memahami dan memaafkan ayahnya, tidak mungkin lukanya bisa hilang dengan mudah. mereka berbicara di telepon dari waktu ke waktu, tetapi Kaya selalu menahan emosinya. Dia harus menahan kemarahannya yang terus kembali muncul.
Kaya hanya diam sambil memeluk lututnya. Jo Minjoon meletakkan tangannya di lutut Kaya dengan ekspresi sedih. Kaya mengusapkan pipinya ke tangan Jo Minjoon dan menatapnya dengan lembut.
“Aku melakukan hal yang benar, kan?”
“Tentu saja. Kau… melindungi keluargamu.”
“Ibuku tampaknya tidak terlalu senang aku sudah bertemu dengan ayahku.”
“Itu masuk akal. Aku paham perasaan ibumu. Dia membesarkanmu sendirian dan ayahmu ingin bertindak sebagai ayahmu sekarang saat kau telah sukses. Aku yakin ibumu marah akan hal itu.”
“Aku tidak mau ibuku terluka.”
Suaranya terdengar sedih. Jo Minjoon membelai lutut Kaya. Angin sepoi-sepoi terasa dingin. Dia khawatir kaki Kaya yang telanjang kedinginan, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan untuk Kaya selain berbicara.”
“Semua orang punya pemikiran semacam itu. Orang tua yang melihat anaknya menderita karena flu. Anak-anak melihat orang tua mereka semakin tua. Sedangkan aku, melihat wajahmu yang tampak sangat sedih seperti itu… Aku berharap kau tidak akan terluka tapi Kaya, tidak ada luka yang sembuh tanpa rasa sakit. Karena lukanya sudah ada, sebaiknya kita tidak berdoa agar luka itu tidak sakit. Kita perlu memberikan obat pada lukamu itu.”
“…Obat? Apa menurutmu aku punya obatnya?”
“Orang-orang yang tidak pernah terluka tidak mempersiapkan obat. Kaya, kau sudah terluka sangat banyak. Itu sebabnya di kantongmu, mungkin ada obat untuk semua luka itu. Sekarang…berikan obat itu juga untuk ibumu.”
Kaya tidak mengatakan apa-apa lalu dia merayap ke lengan Jo Minjoon seperti anak kecil. Kemudian dia memejamkan mata sambil berkata.
“Menurutku, kau adalah orang yang memberikan obat padaku. Kau bilang itu sebelumnya. Orang-orang yang tidak pernah terluka tidak punya obat apapun. kalau begitu, apa kau…punya banyak luka juga?”
Itu pertanyaan yang tak terduga. Jo Minjoon memutar bola matanya. Sejujurnya, lukanya tidak berasal dari sekarang, tapi dari sebelum dia datang ke masa lalu. Menjalani kehidupan yang tidak dia inginkan. Kekhawatiran orang tuanya. Masa depan yang suram. Pengalaman di dapur yang tidak berjalan sesuai yang dia inginkan. Itu kehidupan yang buruk. Hal yang memberikan semacam obat pada kehidupannya yang buruk itu adalah seseorang bernama Kaya Lotus. Jo Minjoon berkata. Dia berbisik di telinga Kaya, mengucapkan syukur yang mana Kaya tidak akan paham hal itu.
“Ada seseorang … yang sudah memberikan obat pada lukaku. Jadi, jangan khawatir.”
“Siapa?”
“Seseorang yang sangat keren. Aku harap suatu hari, kau menjadi seperti orang itu. Tidak, kau pasti akan menjadi orang seperti itu. Aku yakin itu akan terjadi.”
Kaya mulai membelalak pada Jo Minjoon dengan tatapan curiga. Kemudian dia bertaya dengan nada gugup.
“Apa dia seorang wanita?”
“Iya,”
“Apa dia lebih cantik dari aku?”
“Itu sungguh pertanyaan yang sulit.”
“…Aku kau berusaha mengatakan ada seseorang yang lebih cantik dari pacarmu? Jadi siapa dia? Itu sedikit… Siapa wanita itu?”
“Apa kau akan menjambak rambutnya jika tahu siapa dia?”
“Tidak, aku tidak bisa melakukannya. Bagaimanapun, dia adalah orang yang mengobati lukamu. Ini yang akan aku katakan jika aku bertemu dengannya.”
Dia berkata dengan nada kasar.
“Terima kasih telah merawat properti pribadiku. Tetapi dia milikku sekarang. Jadi meski kau cemburu, jangan harap. Bagaimana menurutmu? Apa aku pacar yang keren?”
“Entah apa kau keren atau tidak…tetapi aku tahu satu hal. Pertanyaan sebelumnya. Aku akan menjawabnya sekarang. Jelas, kau…”
Jo Min Joon tersenyum.
“Jauh lebih cantik dari wanita itu.”
€
Setelah kompetisi berakhir, dapur Rose Island menjadi lebih aktif. Itu normal. Sampai sekarang, satu-satunya hal yang menegaskan bahwa mereka adalah bagian dari Rose Island yang legendaris adalah bangunan dan keberadaan Rachel. Namun, kompetisi sungguh membantu mereka merasakan pengalaman di mana tempat mereka dan dengan siapa mereka bekerja.
Tentu saja chef pemanggang merasakan hal itu pada tingkat yang lebih rendah, tetapi beda bagi orang-orang ini, yang selalu membantu para koki dari samping. Mereka tersenyum sepanjang hari dan penuh energi positif bahkan di saat melakukan tugas yang sulit. Mereka tanpak sangat bangga.
Itulah kenapa Maya tidak paham. Dia bertanya dengan hati-hati.
“Chef Minjoon, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Silakan.”
“Kau menang pada ajang mencicipi dan juga kompetisi. Jadi kenapa kau tidak tampak bahagia akhir-akhir ini?”
“Apa aku terlihat seperti itu?”
Jo Minjoon melihat Maya sambil terkejut. Maya mengangguk. Mau tidak mau Maya merasa seperti itu. Sejak kompetisi berakhir, Jo Minjoon tampak gila-gilaan dalam memasak. Tidak hanya mengerjakan PR gastronomi molekuker yang Rafael tugaskan padanya, dia bahkan membuat masakan tradisional juga.
Dia tidak punya pilihan lain selain melakukannya. Jika dia hanya fokus pada gastronomi molekuler dan tangannya kaku terhadap masakan tradisional, itu akan disayangkan. Rafael pun tidak mengatakan apapun pada usaha Jo Minjoon. Dia juga memahami hal itu perlu dilakukan.
Alasan Maya berpikir itu aneh adalah bahwa Jo Minjoon tidak tampak bahagia pada sesuatu yang dia usahakan dengan keras. Itu tampak seperti bukan hasil yang bagus dibanding usahanya. Hidangannya sesalu enak dan menarik. Tetapi dia tetap terlihat tidak puas…mau tak mau, Maya berpikir ‘apakah seorang jenius merasakan hal yang berbeda dari kita?’
Tetapi alasan Jo Minjoon merasa frustasi, yang sedikit berbeda dengan yang dipikirkan Maya, adalah…
‘……level.’
Lebih tepatnya, bukan level memasaknya tetapi level mengecapnya. Dia merasa level memasaknya akan meningkat secara alami seiring dengan keahliannya yang meningkat, tetapi level mengecapnya adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk naik seperti sebuah kesempatan yang secara tidak sengaja muncul. Masalahnya bukan dia ingin levelnya naik. Alih-alih levelnya naik, dia perlu keahlian mengecapnya naik hingga pada titik level akan naik.
Katakan apa yang kau tahu dan masaklah apa yang kau tahu. Itu adalah pemikiran Jo Minjoon. Bagaimana mugkin seseorang yang tidak tahu tentang cita rasa memasak hidangan yang lezat? Itulah kenapa Jo Minjoon berpikir hal itu lebih itu lebih penting baginya, yaitu untuk meningkatkan keahlian mengecanya daripada keterampilan memasaknya.
“Persyaratan pertama sudah terpenuhi jadi aku hanya perlu memenuhi persyaratan berikutnya…”
“Apa? Persyaratan apa?”
“Oh, bukan apa-apa.. Terima kasih atas perhatianmu. Tidak ada masalah. Aku hanya sedang menabrak tembok seperti yang chef-chef cenderung alami dari waktu ke waktu. Aku yakin aku segera bisa melewatinya.”
“Saat kau mengatakan dinding, dinding apa itu yang kau bicarakan?”
Suara yang tak terduga. Dengan cepat Jo Minjoon menoleh dan terkejut, lalu menyadari bahwa Rachel sedang menatapnya dengan penasaran. Jo Minjoon ragu-ragu sejenak lalu perlahan berkata.
“Aku bisa merasakan bahwa keahlian mengecapku sebagai seorang gourmet belum memaksimalkan potensi yang ada, tetapi aku tidak bisa menemukan apa yang harus aku perbaiki.”
“Apa? Chef Minjoon punya pengecapan yang mutlak, tetapi keahlian mengecapmu belum lengkap?”
“Keahlian mengecap dan sensitivitas lidah adalah dua masalah yang berbeda. Itu adalah pengalaman dan pemikiran.”
Maya tampak sangat bingung dengan jawaban Minjoon. Tetapi membuatnya mengerti bukanlah yang penting saat ini. Jo Minjoon bertanya pada Rachel.
“Guru, apa ada masalah yang kau lihat dalam diriku?”
“Menurut dirimu sendiri, apa masalahmu?”
“Aku tidak yakin. Mungkinkah itu soal hal-hal yang aku sukai? Aku suka hal-hal yang rasanya jernih. Alih-alih ingin sesuatu yang hanya menggunakan satu bahan, aku ingin masing-masing bahan hidup jika mereka berada bersama dalam satu hidangan. Pada saat yang sama, mereka sebaiknya tidak mengganggu satu sama lain dan menciptakan keseimbangan dan harmoni yang baik. Tetapi tentunya ada banyak hidangan seperti itu…dengan masalah itu, aku cenderung menikmati hidangan yang menggunakan hanya satu atau dua bahan. Apa hal ini bisa jadi masalah?”
“Cita rasa itu berdasarkan selera pribadi. Selera pribadi tdak bisa menjadi masalah. Faktanya, itu akan berakhir menjadi hal yang membuatmu menonjol. Tentunya itu akan menjadi masalah jika kau hanya memakan yang kamu suka dan tidak menikmati makanan yang lain..tetapi aku tidak berpikir bahwa itu terjadi padamu, benar kan?”
Jo Minjoon mengangguk. Rachel menyilangkan lengannya seolah dia berada jauh dalam pikirannya lalu perlahan berkata.
“Kau bilang bahwa ibumu buruk dalam memasak. Kau bilang bahwa itu adalah alasan kau tidak pernah bisa mempunyai pengalaman mengecap yang baik sejak kecil.”
“…Aku sedikit merasa bersalah pada ibuku, tapi memang betul. Ah, apa menurutmu itu masalahnya? Apa karena aku tidak menyantap hidangan lezat saat aku tumbuh?”
Ekspresi Jo Minjoon menjadi serius. Jika itu kasusnya, itu bukan sesuatu yang bisa dia atasi. Rachel tidak tampak setuju ataupun tidak setuju dengan pernyataan itu. Rachel kemudian perlahan berkata sekali lagi.
“Karena sulit bagimu untuk makan hidangan yang sedap, kau mungkin punya kekaguman besar pada hidangan yang sangat enak. Tetapi dari makanan-makanan yang kau santap, mungkin tidak banyak yang merupakan hidangan yang baik. Paling-paling, itu restoran yang layak di lingkungan sekitar, tetapi bahkan makanannya mungkin membuatmu kagum. Kemudian, kau mungkin berhenti puas dengan itu dan mulai memasak makananmu sendiri.
“…Itu cukup mirip.”
“Itulah mengapa meskipun kau menghabiskan sebagian besar hidupmu di negara asalmu, kau belum bisa menikmati hidangan Korea dengan benar. Meskipun akarmu selalu berada di satu tempat, akar itu tidak terkubur terlalu dalam. Apa kau mengerti apa yang aku sampaikan?”
Syok tiba-tiba menghantam benak Jo Minjoon. Hal yang selalu dia abaikan sebagai sesuatu yang tidak penting sedang difokuskan oleh Rachel sekarang. Tinggal di Korea selama 20 tahun, tidak, sebenarnya 30 tahun…dia tidak pernah menyantap makanan Korea yang enak.
Jo Minjoon terbiasa memasak hidangan Barat dan bukan hidangan Korea. Tetapi hanya karena kau bisa memasak hidangan barat tidak berarti kau bisa memasak hidangan korea. Tentunya beda cerita bila kau tumbuh dengan menyantap hidangan barat, bagaimanapun, dia sejatinya adalah orang Korea Meskipun dia berbicara bahasa Inggris, dasar keahlian bahasanya adalah bahasa Korea…mirip, langkah pertama dari kemampuan mengecapnya tercipta melalui hidangan Korea. Dia tidak bisa meninggalkan akarnya berserakan tidak karuan seperti ini.
Tapi…
“Apa aku perlu berkunjung ke Korea?”
Itu jelas tidak mungkin. Pembukaan hanya beberapa bulan lagi. Tidak mungkin dia bisa pergi saat ini. Akan tetapi, Rachel tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Apa ada alasan untuk melakukan itu? Apa kau lupa ada tempat berjarak 30 menit dari sini?”
“……Ah!”
Jo Minjoon menghela napas. Rachel lanjut bericara dengan nada meyakinkan..
“Kenapa kau harus naik pesawat? padahal ada Korea di LA sini.”
< Mencari akar (1) > Selesai