Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 216: Cara menggambar mata naga (1)
Mata Minjoon menyala saat dia melihat ke layar sistem. Matanya tampak penuh energi yang luar biasa bagi seseorang yang seharusnya sakit. Hampir sangat menakutkan. Anderson memutuskan untuk tidak bertanya kepada pria itu apakah dia baik-baik saja, dia melepaskan tangannya dari gagang pintu.
‘Si brengsek itu…Dia terpikir sesuatu lagi, kan!’
Dia sudah pernah melihat Minjoon seperti ini beberapa kali. Setiap kali ini terjadi, Minjoon berakhir membuat sesuatu yang spektakuler. Anderson melihat Minjoon dengan tatapan rumit.
Mata Minjoon mengembara di udara tanpa tujuan, tampaknya melihat sesuatu dengan sangat fokus. Tubuhnya hampir lumpuh karena cemas dan bahkan sepertinya dia tidak bernafas. Setelah beberapa saat, akhirnya Minjoon menoleh melihat Anderson dengan wajah lelah. Dia menjawab dengan suara lelah.
“Yo, Anderson.”
“Sudah? Ayo.”
Anderson membuka pintu tanpa mengatakan apa-apa lagi. Dia merasa seolah ada sesuatu yang terbakar di bagian dalam setiap kali ini terjadi pada Minjoon. Barangkali itu rasa cemburu. Lagipula, Anderson tidak mempunyai kekuatan untuk fokus seperti yang Minjoon miliki.
Setiap kali dia melihat Minjoon menunjukkan prestasi genius, Anderson merasakan gelombang ketidakberdayaan yang aneh menyapu dirinya. Namun, itu jelas bukan disebabkan oleh sesuatu semacam rasa cemburu. Anderson tidak serendah itu.
“Bagaimana hasilnya? Apakah itu berhasil dengan baik?”
“Iya. Kurasa aku bisa memuaskan Rachel dengan ini.”
“Itu bagus. Lagipula, ini adalah momen khusus yang penting bagimu.”
“Kupikir itulah kenapa aku bisa fokus. Karena aku punya motivasi yang jelas kali ini.”
Anderson memikirkan dirinya sesaat. Motivasi. Benar. Pada beberapa poin, semua orang di dapur kehilangan tujuan pasti mereka yang dulu mereka miliki. Tentunya, mereka semua masih ingin membuat makanan yang enak, tetapi itu…terlalu umum. Apa yang akan menjadi motivasi yang bagus untuknya? Saat dia memikirkan ini, dia melihat Minjoon. Minjoon menatap balik Anderson dengan bingung.
“Ada apa?”
“Aku sedang memikirkan kau mungkin berakhir menjadi motivasiku untuk memasak.”
“Baiklah, itu suatu kehormatan.”
“Oh, kalian sudah kembali?”
Kaya berdiri dari sofa tempat dia berbaring. Dia berjalan mendekati Minjoon lalu meletakkan tangannya di dahi Jo Minjoon.
“Apa kau masih demam? Aku tidak tahu.”
“Tidak, aku meminum obat. Aku juga tidak lelah.”
“Sudah kubilang kau itu sakit.”
“Hei, kamu juga sangat protektif saat kamu menjagaku.”
“Mengapa kamu tidak membuatku sakit juga jika kamu merasa sangat kesal tentang itu? “
Kaya memiringkan kepalanya sedikit ke belakang untuk balas menantang. Minjoon hanya menertawakannya, dan merebahkan diri ke sofa. Anderson menghela napas kesal.
“Berhentilah sok sakit sepanjang waktu. Aku tidak mau ikutan sakit juga.”
“Jangan khawatir, itu tidak akan terjadi lagi.”
“Siapa tahu, kau mungki sudah terinfeksi.”goda Kaya pada Anderson dengan nada main-main. Minjoon dengan bangga mengatakan sesuatu pada Kaya.
“Aku tadi memikirkan sebuah resep.”
“Memikirkan? Tapi itu belum tentu lolos kan?”
“Itu pasti lolos. Itu resep yang hebat.”
“..Kau sungguh percaya diri, yaa? Resep apa itu?”
“Tidak bisa kukatakan. Itu akan menjadi kejutan untukmu. Kau akan mengetahuinya nanti.”
“Kau sungguh, sungguh percaya diri soal ini, yaa?”
Jo Minjoon mengangguk.
“Ini jelas tidak mungkin akan gagal.”
€
Meskipun seseorang memeliki resep yang hebat bukan berarti hidangan yang muncul juga hebat. Minjoon menyadarinya hanya setelah berusaha membuat permen delima dari resepnya yang ternyata jauh lebih sulit dari yang dia bayangkan.
“….Bentuknya juga terlihat buruk.”
Aspek lain dari hidangan ini tidak begitu sulit. Tetapi membentuk toffee delima menyerupai delima asli jauh lebih sulit. Dia harus memasukkan udara ke dalam permen untuk membentuknya, tetapi tidak berjalan sebaik yang dia harapkan. Maya menghela napas di sebelahnya.
“Chef, apa menurutmu aku sebenarnya mampu untuk membuat ini?”
“Lupakan soal itu, ini mungkin sebenarnya terlalu sulit untukku juga.”
Minjoon mundur sambil menghela napas setelah mengacaukan usaha terakhirnya. Ini adalah bagian paling menjengkelkan dari keahlian memasak molekuler yang dia alami sampai saat ini. Tentunya, itu bukan seperti cita rasanya menjadi kacau, tetapi hal yang asyik dari sebuah hidangan adalah dari bentuknya. Dia tidak bisa mengacaukan pengalaman pelanggan untuk itu.
“Berikan itu.”
Pada akhirnya, Raphael menyela. Dan sebuah delima terbentuk di tangannya secara instan. Raphael mengangkat bahu di depan dua orang yang melongo menatapnya.
“Apa kalian tahu salahnya di mana?”
“Apa?”
“Permulaannya. Tepat di sini.”
Raphael memegang toffee di tangannya. Dengan hati-hati dia meletakkan sepotong untuk membentuknya menjadi bola dan menekan bagian tengah dengan jarinya. Itu terlihat agak aneh, tetapi masih tampak cukup baik.
“Inilah titik penentuan hasil, tepat di sini. Langkah pertama kalian salah, jadi tak terhindarkan bahwa kalian melakukan kesalahan juga, “
“Apa yang begitu berbeda dengan permenmu?”
“Lihat saja bagaimana hasilnya.”kata Raphael sambil menunjuk hasil kerjanya.
Minjoon mengamatinya dengan seksama, lalu agak terpesona. Sesuai dengan apa yang dia katakan. Bahkan untuk setiap bagian dari permen itu.
“Bagaimana kau membuatnya seperti ini?”
“Persis seperti caraku membuat hidanganku yang lain. Aku fokus. Curahkan semua fokusmu pada toffee itu. Hasil kerjamu akan lebih baik dengan semakin kau fokus. Sama seperti bagaimana jari-jemarimu bisa memotong dengan kau yang lebih mengandalkan memori otot saat kau memotong. Itulah kenapa semua juru masak hebat menjadi luar biasa tanpa sadar saat mereka meraih pisau.”
“…Kau mengatakan bahwa aku tidak cukup fokus?”
“Apa kau hendak mengatakan memang iya?”
Raphael menatap balik Minjoon. Minjoon menanyakan itu pada dirinya sendiri. Apakah dia malas? Apakah dia tidak fokus bekerja? Mungkin. Ini berbeda dari saat dia di kompetisi. Ini bukan seperti dia diuji setiap hari dan pekerjaannya di sini hanya mengikuti perintah Rachel.
Tidak mungkin dia merasa terlalu tertekan oleh itu. Dia dibayar untuk pekerjaannya dan pekerjaan itu juga tidak melelahkan. Hanya ada dua orang, Rachel dan Raphael, yang bekerja sebagai bosnya, jadi tidak perlu merasa stres juga.
“Kukira mungkin aku yang benar-benar sedikit bodoh.’
Mungkin Minjoon terlalu tertarik untuk mencoba menikmati momen itu, daripada mencoba memperbaiki dirinya sendiri. Dia perlu merasa lebih tertekan untuk menjadi lebih baik.
“Apa kau akan mencobanya lagi?”
“Tentu saja.”
Minjoon mengambil sarung tangannya untuk memegang toffee. Potongan yang dia ambil sedikit lebih kaku dari yang terlihat. Toh itu adalah permen. Oleh karena itu, mengendalikan kekuatan saat membentuk permen lebih sulit dari yang dia pikirkan. Dia harus mencurahkan kekuatan lebih banyak daripada menguleni adonan tepung. Hal itu sendiri membuatnya jauh lebih mudah untuk memecahkannya.
‘Fokus, fokus, fokus…’
Minjoon meneriakkan kata itu di kepalanya saat dia mengerjakan adonan. Cukup lucu, permen menjadi tampak lebih jelas seiring berjalannya waktu. Minjoon tidak mengurangi fokusnya bahkan setelah meratakan permen sepenuhnya. Perlahan dia membentuk tulip, sebelum memulai untuk meniupkan udara ke dalamnya.
Langkah ini, untuk dia, bahkan lebih sulit daripada membentuk permen itu sendiri. Lagipula, sangat sulit untuk menilai keadaan permen saat mulai terisi udara.
Raphael diam mengamati Minjoon. Dia tidak menunjukkannya, tetapi dia agak terkejut pada apa yang Minjoon lakukan.
‘Memikirkan seseorang akan berubah sebanyak ini hanya dengan satu nasihat…’
Dia sudah mengira Minjoon berkembang setelah diberi nasihat, tetapi dia tidak menyangka akan terjadi begitu instan. Dia pikir perkembangan itu akan muncul setelah satu atau dua kali gagal.
Namun, Minjoon berbeda. Dia adalah seseorang yang dapat masuk ke zona hampir sukarela. Hal ini membuat Raphael hampir merasa cemburu.
‘Fokus dan sabar. Apa lagi yang dibutuhkan juru masak dalam karirnya? Tidak…sungguh, jika seseorang punya dua hal, itu tak terhindarkan bahwa mereka akan sukses pada apapun.’
Raphael menonton Minjoon memompa udara ke dalam permen. Ini berbeda dengan membentuk permen dengan tangan. Membuat kesalahan pada perlakukan ini akan merusak permen seluruhnya.
Apa karena itu? Kecepatan Minjoon memompa udara ke dalam permen luar biasa pelan. Jika ini terjadi selama waktu pelayanan, ia akan mendapat puluhan keluhan berbeda dari pelanggan. Tetapi Raphael tidak mengganggunya dengan mengatakan hal itu. Ini hanya permulaan. Sukses lebih penting di sini dari pada kecepatan.
Permen mulai berubah menjadi bulatan indah setelah semakin penuh udara. Setelah beberapa saat, Minjoon meletakkan obor di sebelah blower, dan mengambil mesin setelah permen sudah cukup meleleh.
Kemudian, setelah membentuk kembali sedikit bagian permen yang meleleh, dia mulai menuangkan es krim delima ke dalam lubang. Hanya setelah menutup lubang dengan krim delima, Minjoon mundur sambil tersenyum. Dia menoleh pada Raphael, yang menggelengkan kepala jijik.
“Kau sungguh berhasil melakukannya? Percobaan pertama pula. Kau terlalu kurang sabar.”
“Aku tidak berpikir aku bisa melakukannya.”
“..Aku tidak bisa melakukannya.” Ekspresi Maya kesal sambil memegang permen tak berbentuk di tangannya.
Dengan cepat Minjoon meletakkan hasil kerjanya di atas es kering untuk mendinginkannya. Raphael sedikit bingung menatapnya.
“Kenapa kau letakkan di sana? Seharusnya tak masalah dalam lemari es.”
“Aku ingin menunjukkan pada Rachel secepatnya.”
“Oh, baik sekali kau.”
Mau tak mau Raphael tersenyum pada sisi kekanak-kanakan Minjoon. Minjoon melihat jam dengan gelisah selama beberapa menit, lalu meraih piring dan selai delima.
“Aku akan segera menyajikan ini dengan cepat.”
“Baiklah, semoga berhasil.”
Minjoon melihat permennya. Sejauh ini 8 poin. Masih 1 poin lagi menuju skor estimasi. Tetapi tidak masalah. Toh hidangan itu juga belum selesai. Setelah diberi selai baru benar-benar selesai.
Dia mengetuk pintu kantor dengan hidagan di tangannya. Dia mendengar suara Rachel dari dalam kantor.
“Masuklah.”
Mata Rachel berkilat sedikit saat melihat Minjoon. Dengan melihat hidangan di tangannya, tampaknya Jo Minjoon sudah membuat hidangan untuknya. Dia tersenyum.
“Jadi, itu sukses?”
“Iya. Ini sempurna.”
“Baiklah. Bawa kemari, kalau begitu.”
“Iya, Bu.”
Minjoon jelas terlihat bersemangat. Rachel melihatnya dengan tatapan hangat. Minjoon meletakkan hidangan di depannya, dan memberinya pisau dan garpu.
“Apa kau akan mencoba memecahkannya untukku?”
Rachel mengetuk permen itu pelan. Tidak sekeras yang dia pikirkan. Permen itu pecah sedikit dalam sekali ketukan, kemudian terbelah. Rachel berseru terkejut saat dia melihat es krim mengalir seperti air terjun.
“Kau membuat ini dengan delima, kan?”
“Iya. Ah, tolong jangan disantap dulu. Masih ada lagi yang harus dilakukan.”
Minjoon mengangkat teko saat mengatakannya. Kemudian, Rachel menatapnya dengan penasaran sepanjang waktu. Saat Minjoon memiringkan teko ke atas hidangan, jeli hangat tertuang di atas bubuk es krim. Pada saat yang sama, sebuah layar muncul di depan Minjoon.
[Skor akhir dari hidangan ini adalah 9 poin!] [Anda telah berhasil menyelesaikan setiap langkah membuat hidangan sendiri!] [Keahlian Anda dalam gastronomi molekuler telah meningkat!] [Keahlian Anda dalam plating telah meningkat!]
Beberapa layar ucapan selamat bermunculan di depan mata. tetapi pujian yang paling dicari Jo Minjoon adalah dari Rachel. Rachel tertawa pada diri sendiri saat dia terkkejut melihat hidangan itu.
“Justin akan merasa kesal padamu karena kau memberinya banyak piring kotor.”
“Kita bisa memikirkan itu nanti. Bagaimana?”
“Ini tampak enak. Platingnya juga bagus. Tetapi yang penting adalah rasanya. Mari kita lihat…”
Rachel memasukkan sesendok penuh es krim ke mulutnya, lalu tersenyum. Dengan gugup, Minjoon bertanya saat Rachel menoleh padanya.
“Apa menurut Guru, itu memungkinkan? untuk memasukkannya ke dalam menu Natal?”
Rachel menjawab.
“Tidak.”
<Cara menggambar mata naga (1)> Selesai.