Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 235 <Pria yang Mengupas Kastanya (3)>
Marco melongo. Dia separuh berharap Minjoon mengatakan ini adalah gurauan, tetapi itu tidak terjadi. Justru, Minjoon berbalik dan beranjak keluar. Marco buru-buru mengejarnya.
“Kau ingin aku tinggal di sini?” tanya Marco.
“Aku tidak pernah mengatakan padamu untuk tinggal di sini. Aku hanya memintamu memikirkannya. Kau punya banyak waktu. Santailah sedikit. Kota ini hebat dalam membunuh waktu.”
“Tentu saja. Ini LA. Bukan, bukan itu masalah di sini. Apa kau memanggilku ke sini untuk ini?”
“Lalu apa kau datang jauh-jauh ke sini hanya demi makanan?”
Marco tidak bisa mengatakan iya untuk itu. Dia tahu bahwa Minjoon punya semacam rencana dalam membawanya ke sini. Mungkin berusaha untuk menyemangatinya, setidaknya? Biasanya dia akan menolaknya, tetapi tidak kali ini karena dia tahu dia butuh bantuan. Dia butuh saran, kritik, atau apa pun.
Dia berpikir Minjoon bisa melakukan itu untuknya. Itulah apa yang membuatnya tergerak pertama kali. Tapi…
“…Jelas aku tidak hanya datang untuk makanan, tetapi aku pasti tidak bisa pindah tinggal di LA. Itu terlalu tiba-tiba, bukan?”
“Tetapi hidup tidak menunggumu, kan? Ayolah, kawan. Kau tak pernah orang bilang bahwa hidup bisa lebih aneh dari pada cerita fiksi?”
“Memang.”
Marco menggelengkan kepala dengan suara lelah.
“Oh, omong-omong, akankah orang-orang di sini mengenali kita?” bisik Marco.
“Iya, mereka mengenal kita. Itu tidak seperti mereka memadati kita atau apa pun. Mereka hanya berpura-pura mereka bahkan tidak menatap kita.”
“Itu sungguh bukan sesuatu yang patut dicemaskan.”
Marco menggaruk-garuk kepala malu.
“Well, itu yang terjadi pada kita, tetapi Kaya atau Chloe sedikit berbeda.. Beberapa orang selalu mengikuti ke mana-mana, Kaya bahkan berkata waktu itu bahwa dia mungkin punya penguntit.” tambah Anderson.
“Pasti sangat berat. Lagipula mereka terkenal cantik. Bahkan orang-orang yang mengobrol denganku di New York semua hanya bertanya tentang mereka berdua. Oh, Minjoon juga, sebenarnya.”
“Aku?”
“Lidahmu, dan kau yang menjadi pacar Kaya dan semua itu. Plus, kau juga telah beberapa kali muncul di TV. Tidak mengejutkan kau terkenal. Semacam menjadi jenius muda?”
Beberapa orang di internet bahkan berspekulasi bahwa Minjoon mungkin menjadi pewaris Rose Island. Tapi, tidak ada yang sungguh mengatakana itu karena Minjoon hanya chef demi sekarang.
Kemudian, Marco tahu bahwa Anderson mencuri pandang padanya. Dia menyadari bahwa dia tidak menyebutkan Anderson dalam pembicaraannya.
“Ah, tentu, kau juga populer, Anderson. Terutama di antara para wanita. Ah, tapi aku tidak tahu apa kau menyukai ini… kaum gay juga sangat menyukaimu.”
“…lebih baik aku tidak mendengar itu.”
Bibir Anderson melengkung turun berkerut. Wajahnya tidak berubah sampai dia kembali ke rumah. Dan segera setelah itu, Minjoon punya wajah yang sama dengan Anderson. Dia melihat ke sekeliling dengan gelisah sambil berteriak di dalam rumah.
“Kaya! Kaya! Kau di mana? Keluarlah.”
“Bukankah dia masih bekerja?”
“Saat ini jam 2 pagi. Dia memang pekerja keras, tetapi dia tidak bekerja sekeras itu. Tidak ada tugas yang membuat dia bekerja sampai larut hari ini. Apa sih yang dia lakukan?”
“Apa mungkin dia sedang melakukan perjalanan bisnis?”
“Harusnya dia bilang. Sial. Ada apa dengan dia? Berkeliaran di jalanan selarut ini? Apa dia gila?”
LA tidak seaman Korea Selatan. Seseorang tidak bisa berkeliaran di jalanan dengan aman saat tengah malam.
“Apa kau bertengkar?” Tanya Marco cemas.
“Dia bilang padaku bahwa aku membeli sesuatu tanpa pikir panjang, terutama soal tiket pesawat itu.”
“…Kalian bertengkar karena aku?”
“Itu akan terjadi dengan satu atau lain cara. Jangan terlalu merasa bersalah. Hei, Anderson, bisakah kau mengantar dia ke kamar tidurnya? Aku akan menghubungi Kaya.”
Anderson mengangguk. Dia tidak cemas sama sekali. Bukan berarti dia tidak perhatian pada Kaya. Dia hanya sudah tahu bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang buruk pada Kaya.
‘Telepon saja kamerawan, idiot.’
Minjoon akan cepat mendapat jawaban jika dia menelepon kamerawan. Apa dia begitu khawatir hingga dia bahkan tidak bisa berpikir hal yang sederhana? Anderson berkata dengan kesal,
“Jangan khawatir soal dia. Khawatirkan orang yang dia temui. Kau bilang padaku bahwa dia pintar berkelahi.”
“Tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi, … hah … Kenapa dia tidak mengangkat telepon?”
“Abaikan dia, Marco. Kau perlu tidur. Sial, aku harus tidur.”
Tetapi Marco tampaknya luar biasa khawatir juga tentang Kaya. Anderson menghela napas.
“Telepon saja kamerawan sialan itu.. Dia akan mengangkatnya.”
“Oh… Anderson, kau sangat cerdas hari ini.”
“Kau saja yang bodoh.”
“Aku akan menelponnya.”
Setelah berbicara selama beberapa menit, Minjoon mengakhiri panggilan teleponnya. Marco bertanya dengan wajah gelisah.
“Apa yang dia katakan?”
“Dia ada di jalan saat ini.”
“Untuk apa?”
“Jadi, dia tidak perlu melihatku.. Menurutnya, dia akan kembali ketika aku tidur. Aku dengar Kaya berteriak di belakangnya untuk tidak berbicara padaku. Jadi dia menutup teleponnya. Yaa, setidaknya dia punya kamerawan bersamanya.”
Minjoon duduk di kursi dengan wajah lelah. Anderson menoleh ke Marco.
“Apa kau mendengkur, Marco?”
“Tidak.”
“Dengan badanmu sebesar itu? Sungguh?”
“Iya, sungguh.”
“…Hm, baiklah. Kau bisa tidur di sofaku. Kemarilah.”
“Oh, iya. Selamat malam, Minjoon.”
“Malam.”
Minjoon tidak bisa tidur bahkan setelah mereka berdua pergi tidur. Menurutnya, dia tidak akan bisa tidur sampai Kaya pulang.
‘Dan di sini kupikir dia sudah jinak…’
Minjoon menelpon Kaya sekali lagi. Tentu, dia tidak menjawabnya.
€
“Apa tak masalah jika kau sungguh tidak mengangkat telepon?”
“Iya. Jadi, berhentilah menerima telepon darinya tanpa berpikir panjang seperti tadi. Selain itu, jauh-jauh dariku. Aku ingin sendirian. Kau dan kameramu seperti itu sangat menyebalkan.” jawab Kaya marah.
Namun, melihat Kaya melirik ponsel secara terus menerus, tampaknya dia separuh berharap Minjoon menelponnya. Kamerawan itu menarik napas.
‘Masuk saja dan ayo bersiap.’
Ini semua hanya butuh total sepuluh detik kalau di film, dan inilah Kaya, duduk di bangku selama berjam-jam.
‘…Mungkin sebaiknya aku katakan saja bahwa kita ada tepat di belakang rumah?’
Tapi itu akan menggagalkannya sebagai kamerawan. Jadi dia bertahan dan merekam apa yang Kaya lakukan. Well, mungkin ‘melakukan’ adalah kata yang kuat. Wanita itu hanya duduk dan mengubah-ubah posisi duduk sesekali.
‘Dia seorang gadis, baiklah.’
Kemudian, dia mendengar langkah kaki di belakangnya. Kamerawan menoleh. Dia bisa melihat seorang pria berjalan dengan celana jeans dan jaket bertudung. Mungkin dia pulang dari bepergian malam? Dia mencoba untuk mengusir pria itu ketika dia memikirkan hal ini, tetapi akhirnya dia tetap fokus pada pria itu. Pria itu berbicara pada Kaya.
“Halo, Kaya. Aku ingin bertemu denganmu.”
“…Siapa kau?”
Pria itu menyeringai.
“Orang yang menyukaimu.”
€
Alih-alih menghabiskan waktu hanya untuk menunggu Kaya, Minjoon memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dia menghabiskan waktu dengan memikirkan resep baru. Pencicip dari Michelin akan segera datang. Memiliki hal ini dalam benaknya membuat dia memikirkan resep yang mewah dan mahal.
Jika saja dia bisa memasukkan resepnya di menu, dan jika saja itu akan menjadikannya ada di restoran bintang tiga… dia akan bahagia sepanjang tahun.
Tetapi saat ini, dia terlalu lelah untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Ada hal yang terjadi dengan Kaya, dan lagipula ini dini hari. Minjoon menutup notebooknya, dan menoleh ke kamerawan dengan menghela napas.
“Maaf. Kau bahkan tidak bisa tidur karena aku.”
“Aku seorang ahli. Kau tidak perlu merasa sedih karena ini pekerjaanku.”
“Entah bagaimana aku mengerti.”
Lagipula dia juga ahli. Seorang chef yang ahli. Minjoon merenungkan kata-katanya sejenak. Rasanya baru kemarin saat dia sedang mengupas bawang putih. Sekarang dia sedang menghasilkan uang dengan memasak. Kamerawan itu berkata dengan santai.
“Kau sangat menakjubkan, Minjoon.”
“Aku hanya melakukan pekerjaanku, kau tahu.”
“Tidak, bukan itu. Maksudku hal seperti ini. Menunggu Kaya, memanggil Marco. Orang-orang biasanya tidak melakukan hal semacam itu.”
Pujian selalu terasa canggung. Minjoon mengusap hidungnya.
“Dulu aku makan banyak saat masih kecil. Nenekku akan memetik kastanya dari gunung dan mengupaskan untuk kita. Tapi nenekku tidak pernah mengatakan itu menyakitkan…” Kamerawan itu mulai tersenyum.
“Terkadang, dia bisa saja tertusuk duri.. Itu juga sangat melelahkan. Kau pasti sangat dicintainya.”
“Seseorang harus mengupaskan itu untuk orang yang memakannya. Nenekku adalah orang semacam itu. Menurutku, kau seperti nenekku, Minjoon. Kau melakukan semua hal yang berat. Nenekku melakukannya untuk keluarga, tapi kau melakukannya untuk teman juga. Aku menghargai itu.”
“Pujian itu entah darimana…”
Saat Minjoon hendak melanjutkan, dia mendengar sirine. Bunyi sirine berdengung selama beberapa saat, lalu menjauh. Minjoon menghela nafas.
“Lihat kan? Seperti itulah LA. Aku penasaran apa yang dia lakukan di luar sana…”
“Jangan terlalu khawatir. Dia akan baik-baik saja. Ah, aku mendapat pesan. Apa kau keberatan jika aku memeriksanya?”
“Silakan. Tidak perlu meminta izin.”
“Terima kasih.”
Kamerawan itu memeriksa ponselnya dengan senyum. Tetapi senyum itu segera sirna dengan cepat. Dia melihat Minjoon dengan wajah terkejut. Minjoon menatap balik dengan gugup.
“Ada apa?”
“…Jangan terkejut. Ada pengungtit yang muncul di depan Kaya.”
“Apa? Apa kau bilang?”
“Tenang. Yaah, mereka dilarikan ke rumah sakit…”
“Rumah sakit mana? Aku akan pergi.”
“Dengarkan aku sebentar. Kau tak perlu pergi ke rumah sakit. Kita harus pergi ke kantor polisi.”
Minjoon mengernyit. Apa yang dibicarakan pria itu? Kamerawan itu melanjutkan dengan ekspresi bingung.
“Penguntit itu yang dilarikan ke rumah sakit. Kaya yang dibawa ke kantor polisi.”
“Apa?” jawab Minjoon tercengang. Kamerawan itu menggelengkan kepalanya.
“Pacarmu menakutkan.”
<Pria yang mengupas kastanya (3)> Selesai.