Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 236 <Kehidupan di luar jendela (1)>
Setidaknya, perjalanan ke kantor polisi sedikit lebih baik dari pada ke rumah sakit. Dia tidak perlu khawatir bagian mana tubuhnya yang terluka. Tetapi hal itu sungguh tidak membuatnya lega atau santai. Setidaknya, hal itu berlaku bagi Minjoon.
Namun, kamerawan berbeda. Sepanjang perjalanan, pria itu kesulitan menahan tawa. Dia meminta maaf ketika Minjoon akhirnya meliriknya dengan tatapan tajam.
“Maaf. Aku tahu ini bukan situasi yang lucu. Tetapi aku tidak bisa menahannya. Seorang pria paruh baya dipukuli oleh seorang wanita… Kaya yang menakjubkan di sini, ataukah pria itu saja yang lemah?”
“Pria itu jelas terkapar. Menjadi penguntit untuk seusianya.. dan Kaya… Well, syukurlah dia tidak terluka, tetapi ya Tuhan dia membuatku terkejut… Aku sungguh tidak memuji atas tindak kekerasannya, lho.”
“Aku paham. Aku juga tidak akan memuji istriku jika dia memukuli seseorang.”
Minjoon hanya menghela napas. Dia tidak tampak begitu lelah di depan orang lain, tetapi dia memang tidak memiliki energi hari ini. Dia bekerja keras seharian, dan dia harus berakhir pergi ke kantor polisi…
‘Aku sungguh tidak beruntung hari ini.’
Minjoon melihat ke luar jendela dengan tatapan rumit. Jalanan dipenuhi pohon palem. Ketika mobil berhenti beberapa saat kemudian, tatapan Minjoon jatuh pada sebuah rumah tunggal.
Sebuah kondo. Jendelanya tidak tertutup gorden atau apapun sama sekali. Dia bisa melihat sepasang anak muda menatap laptop bersama di sebuah ruangan yang hangat.
Tatapan mereka bertemu, mereka tersenyum, dan mereka saling berpegangan tangan. Mereka mengobrol pelan dengan sorot mata bahagia.
Itu menarik. Orang di sisi lain jendela akan menjalani kehidupannya sendiri hari ini. Dia tidak benar-benar merasakan itu ketika dia melihat orang-orang di jalan, tetapi… Melihat kehidupan mereka dari jendela membuatnya sangat emosional.
‘Aku penasaran apakah aku bisa membuat orang lain merasakan seperti itu.’
Sama seperti Minjoon yang bisa melihat sekilas kehidupan orang lain, kehidupannya sendiri pun terlihat oleh orang lain. Kaya juga. Dan hal ini berlanjut menjadi masalah. Memikirkan ini membuat Minjoon merasa lebih hati-hati dari biasanya.
Hal ini juga membuatnya memikirkan ulang bagaimana dia harus bereaksi saat bertemu Kaya di kantor polisi. Dia akan geram pada awalnya, tetapi… Itu tidak akan membuat dirinya tampak baik dari sudut pandang orang lain. Sementara dia tidak bisa membuat semua aspek kehidupannya tampak sempurna,… setidaknya kali ini dia bisa memilih.
“Kaya pasti takut saat ini, kan?”
“…Entahlah? Maksudku, dia memukuli penguntit itu dengan tangannya sendiri. Apa ada yang harus ditakutinya?”
“Aku bertanya karena aku tidak terlalu yakin.”
Minjoon berbicara dengan senyum tipis, kemudian menutup mulutnya.
Entah bagaimana, para reporter sudah tahu insiden itu dan tiba di kantor polisi sebelum Minjoon. Bukan, mungkin mereka memang ada di kantor polisi sepanjang waktu. Lampu blits mulai menyala berulang kali saat Minjoon tiba. Mic disodorkan ke wajah Minjoon yang mengernyit.
“Halo, Minjoon. Ini Natalie Olson dar LA Street. Kudengar Ms. Lotus terlibat dalam suatu insiden. Bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Kudengar korbannya penguntit Ms. Lotus.. Apa kau tahu dia memiliki penguntit?”
Meski Minjoon marah pada para reporter yang mendatanginya di saat yang tidak tepat itu.. Namun, dia memutuskan untuk bersikap setenang mungkin.
“Terima kasih telah bekerja keras untuk meliput kisah sederhana seperti ini. Tapi saat ini aku tidak bisa melakukan wawancara. Aku harus bertemu Kaya dulu. Kumohon mengertilah. Terima kasih.”
Orang-orang akan menghakimi dirinya melalui lensa kamera, sama seperti bagaimana dia menilai pasangan tadi melalui jendela.. Sama dengan Kaya, dan Rachel. Itulah artinya menjadi populer.
Para reporter tidak bisa mengatakan apa-apa lagi atas sikap hormatnya itu. Mereka hanya terus memotret. Kamerawan itu berkata pada Minjoon saat memasuki gedung.
“Kau pintar, Minjoon.”
“Apa maksudmu?”
“Menghadapi para reporter. Mereka biasanya semakin senang ketika kau marah. Menjadi sopan jelas istilah yang benar. Membuat mereka menjauh darimu.”
“Aku tidak terpikir itu saat melakukannya.”
“Kalau begitu, malah lebih baik. Kau secara alami bukan tipe orang yang dapat disentuh oleh para reporter.”
Kamerawan itu tersenyum. Akan tetapi Minjoon tidak bisa tersenyum balik. Dia bisa melihat para polisi berkumpul di satu sisi gedung, dengan Kaya menunduk di meja yang ada di depannya. Polisi itu tampaknya cenderung merasa simpati dari pada menakutkan.
Kaya mengangkat kepalanya saat Minjoon berada sekitar sepuluh langkah darinya. Minjoon berhenti ketika tatapan mereka bertemu. Melihat ketakutan, marah, dan kesedihan di wajahnya…membuatnya tidak bisa melakukan apa pun selain menghela napas.
Kaya melompat berdiri dari tempat duduknya. Wajah Minjoon tampak masih sedikit kesal pada Kaya, tetapi Kaya tetap bersyukur. Potongan harga dirinya yang terakhir dalam hatinya runtuh, dan wajahnya mengerut karena menangis.
“Kau…!”
Dia tidak mampu melanjutkan. Dia mulai memukul-mukul dada Minjoon. Sedikit sakit. Jo Minjoon meraih tangannya. Kedua tangannya dingin
“Hentikan. Sakit.”
“…Hanya itu yang harus kau katakan?”
“Kau tampak sangat aneh saat ini. Hidungmu mbeler, dan wajahmu merah. Ayolah, jangan terlihat sangat sedih.”
Kaya hendak menendangnya, tetapi Minjoon meraih tubuhnya untuk memeluknya kemudian. Minjoon bergumam pada Kaya dengan suara lelah.
“Syukurlah. Serius.”
Dia tidak bisa sungguh melakukan atau mengatakan sesuatu setelah itu. Minjoon lanjut dengan suara parau.
“Maaf. Maaf sekali.”
“…Kau tidak salah apa-apa.”
“Iya aku salah. Maaf karena sudah marah, maaf aku meninggalkanmu.”
Kaya terisak. Dia sedikit menarik bahu Minjoon, lalu meletakkan pipinya di lehernya.
“Kalau begitu jangan tinggalkan aku. Aku takut.”
“Oke”
“Dan…”
Kaya ragu-ragu sesaat.
“…Maaf.”
€
“…Jadi dia takut, hah.”
Minjoon tercengang melihat layar di depannya. Berkat kamerawan Kaya, Minjoon bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi melalui video rekamannya.
Apa yang terjadi sederhana.. Penguntit itu berusaha memeluk dan mencium Kaya entah dari mana. Tetapi Kaya merespon dengan cepat. Dia menginjak kaki pria itu, lalu menendang buah zakar pria itu dengan lututnya.
Dan setelah itu, dia hanya mengakhiri dengan menendang rusuk pria itu.
“Dua tulang rusuknya patah, dan satu retak. Dan buah zakarnya… Well, aku sungguh tidak ingin mengatakannya. Intinya, dia butuh beberapa minggu setidaknya untuk pemulihan. Aku tidak bisa benar-benar memberikan jawaban jelas, tetapi menurutku Kaya tidak akan mendapat masalah, jadi jangan khawatir.”
“…Penguntit itu?”
“Dia akan ditahan atas tindakan menguntit dan perkosaan, tetapi dia tidak akan ditahan lama. Masalahnya adalah, dia sakit jiwa… dia mungkin akan dirawat di rumah sakit selamanya.”
“Bagus. Ah, kok aneh.”
Kaya melihat ke layar dengan tatapan tidak nyaman. Minjoon bergumam sendiri dengan Kaya di lengannya.
“Kau harus menjadi pengawalku, aku tidak bisa berkelahi.”
“Kalau begitu jangan memancing masalah denganku. Aku akan menghabisimu.”
“Baiklah, baiklah.”
Masalah selesai saat fajar, tetapi setelah direcoki oleh wartawan, mereka berhasil keluar saat hari sudah pagi. Kaya menatap Minjoon dengan tatapan meminta maaf.
“Maaf. Kau bahkan tidak bisa tidur karena aku.”
Minjoon tersenyum.
“Ayo kita ajak Marco sarapan.”
€
Akan tetapi, nyatanya sarapan tidak terjadi. Mereka berdua baru bangun pukul 11 siang. Ketika mereka sudah siap untuk pergi, waktu menunjukkan pukul 12 siang.
Itu saatnya untuk brunch. Mereka memutuskan untuk pergi ke tempat Lisa.
“Apa kau tidak masalah hanya makan roti?” kata Marco.
“Tentu saja.”
“…Ini bukan apa-apa dibanding tiket pesawat, lho.”
“Well, kau membayarnya dengan menerima ajakanku.”
Jo Minjoon menyeringai. Mereka bertiga, termasuk Anderson, sedang berkendara di jalanan Venice. Marco berseru dengan suka cita.
“Ini adalah tempat para pedagang Venesia, bukan? Aku tidak pernah membayangkan akan datang ke sini.”
“…Maaf kawan, tapi itu di Italia. Ini LA. Ini tempat yang berbeda.”
“Oh, benarkah?”
“Tetapi tempat ini mungkin lebih baik. Terutama berkat toko roti ini.”
“Yang membuatku gugup entah kenapa.”
Marco melihat ke luar jendela setelah berbicara. Perjalannya tidak memakan waktu lama. Sesaat kemudian, pesta terjadi di toko roti itu.
“Mana Ella?” tanya Minjoon, setelah melihat ke sekeliling toko.
“…Kau ke sini mencari Ella? Bukan roti?”
“Tentu aku datang mencari roti. Tetapi aku juga ingin bertemu Ella.”
“Dia masih di sekolah saat ini. Oh, aku melihat apa yang terjadi omong-omong.”
“Iya… Ada saja hal-hal gila yang terjadi.”
“Tetapi itu sangat bagus. Aku bisa melihat kekuatan sesungguhnya chef wanita. Dan pacarnya yang tetap tenang di depan para reporter. Kalian berdua hebat.”
“Benarkah?”
Minjoon menoleh ke kamerawan dengan wajah tersenyum. Kamerawan mengangkat jempolnya. Lisa menoleh melihat Marco.
“Ah, dia temanku. Dia hebat dalam memanggang roti. Aku ingin menunjukkan padanya rotimu.”
“…Apa itu tujuanmu datang ke sini?”
“Well… waktu itu kau bilang butuh bantuan. Marco hebat. Aku bisa menjaminnya.”
Sistem juga menjamin pria itu.. Lagipula level memanggang Marco 7. Minjoon melihat Marco. Dia terkesiap.
“…Eh?”
[Marco Denver] Memasak: 6
Memanggang: 8
Mengecap: 8
Mendekorasi: 7
<Kehidupan di luar jendela (1)> Selesai.