Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 249 <Ambisi seorang chef tiada matinya (2)>
Cassoulet itu bak karya seni, berbeda dengan telur scotch. Tidak hanya Minjoon yang terkejut akan hal ini. Faktanya, semua orang di dapur juga merasa sangat terkejut.
Minjoon mencoba menggigit telur itu tanpa berkata apa-apa. Tekstur lapisan tepung roti agak menggelitik lidahnya baru kemudian cassoulet di bagian dalam. Telurya pecah seperti tofu, melapisi lidahnya dengan saus.
Ini lezat. Bagaimana bisa ini lebih buruk dibanding cassoulet? Minjoon berpikir saat dia mencicipi cassoulet itu sendiri. Matanya melebar terkejut.
“Seperti yang kau bilang… Cassoulet ini sendiri lebih baik.”
Herannya, memang begitulah. Telur scotch sangat asyik di santap karena teksturnya. Juga terasa berkelas. Akan tetapi, cassoulet itu sendiri tidak asik maupun berkelas. Hanya lebih sedap.
“Idenya mulia. Sebuah perkembangan dari standar telur scotch. Namun, itu terasa seolah kau hanya menggabungkan dua hal bersama di sini. Kita tidak bisa menjual ini.”
“…Aku paham.”
Minjoon menundukkan kepalanya sedih. Rachel benar. Dia tidak berpikir tentang mengembangkan cassoulet ketika dia pertama kali muncul dengan ide hidangan ini. Dia hanya berpikir tentang membuat “telur scotch” yang baru.
Cassoulet muncul begitu saja saat itu. Sekarang ketika dia memikirkannya, semuanya salah. Dia sebaiknya memikirkannya lagi apakah cassoulet dengan telur sungguh pilihan yang benar.
“Apa kau merasa terburu-buru?”
Pertanyaan Rachel pada Minjoon terdengar agat keras.. Rachel benar. Ini sudah sebulan setelah Jo Reggiano. Bukan berarti dia ingin membuat sesuatu yang populer lagi. Pertama-tama, hidangan itu menjadi populer karena kebetulan saja. Rachel bergumam dengan wajah masam.
“Sebuah hidangan dari restoran harus berbeda dengan suatu cara atau lainnya. Semua chef dan kritikus mengatakan ini. Tetapi kalimat singkat itu bisa membuat kita tersedak kadang-kadang. Lagipula, itu membatasi kita dari membuat sesuatu yang normal. Membuat hidangan dari seluruh dunia itu cukup sulit.”
Minjoon dan Anderson mengangguk. Mereka merasakan ini berulang kali selama Grand Chef. Lagipula, orang-orang terus mencoba untuk mengkritik makanan mereka seolah mereka berada di restoran kelas atas. Rachel melanjutkan.
“Aku tidak mengatakan ini buruk, tidak. Lagipula, mengembangkan di satu area membuatmu mahir dalam bidang itu. Tapi, mendalami sesuatu kadang-kadang membuatmu terhindar dari hasil yang aneh. Sini, coba lihat.”
Rachel menunjuk pada air mancur bayi malaikat tanpa busana di tengah aula. Adakalanya, restoran didatangi pelanggan yang akan menatap air mancur selama beberapa menit alih-alih menyantap makanan.
“Bagaimana jika seseorang berusaha memakaikan pakaian bayi pada malaikat kecil itu, berpikir bahwa patung itu barangkali belum selesai?”
“Ah…. Itu akan tampak murah.”
“Begitulah persisnya hal ini.”
Rachel menunjuk hidangan Minjoon.
“Kau terlalu ambisius menggunakan cassoulet di sini. Kau mau pamer. Karena ini adalah sebuah restoran.”
“Tetapi melepaskan pakaiannya… Bukankah juga berat? Seperti yang kau bilang, ini adalah sebuah restoran. Hidangan di sini butuh sesuatu yang spesial… Apa yang sebaiknya aku lakukan?”
“Bayangkan ada wanita yang berjalan-jalan hanya menggunakan pakaian dalam. Orang-orang akan menyebut dia gila, tidak peduli betapa cantiknya dia. Tapi bagaimana jika dia sedang pemotretan untuk majalah? Bagaimana menurutmu wanita itu?”
“Cantik… bukan?”
“Begitulah hidangan. Bergantung bagaimana kau menyusun cassouletmu, hidangan kampung pun bisa jadi hidangan yang indah.”
Minjoon teringat sesuatu yang dikatakan Rachel di masa lalu. Bahwa bagian yang paling penting dari makanan adalah presentasinya. Melihat level platingnya hampir mencapai sepuluh, ucapannya tidak tampak bualan baginya.
“Jadi guru mengatakan cassoulet ini dapat masuk di menu jika aku mempresentasikannya dengan benar?”
“Entahlah… Tergantung bagaimana kau menyajikannya. Hidangan itu terasa menakjubkan. Hampir seenak dengan restoran yang telah menjual cassoulet selama bertahun-tahun. Tetapi plating bukan hanya tentang itu. Begitu kau paham nuansa artistik yang menyertainya, kau akan mendapatkan jawaban.”
Jo Minjoon menunduk. Bukan karena dia merasa sedih atau apapun. Matanya saat ini fokus tepat pada cassoulet di depannya.
‘Plating…’
€
“Berapa lama kau sudah bermain-main dengan itu sekarang?”
Kaya menggeleng-gelengkan kepala jijik. Minjoon terlihat sangat aneh, berkotor-kotoran dengan lempung di depannya. Kaya melingkarkan lengannya lalu meraih susunan lempung.
“Apa kau benar-benar bisa berlatih dengan benda ini?”
“Karena berlatih dengan bahan-bahan asli itu mahal.. Aku harus berlatih dengan ini.”
“Minta dia untuk mensponsorimu. Jeff, kan?”
“Jefferson. Aku jadi penasaran apakah dia menyebut dirinya Jeff sesekali Tapi jangan memanggil dia Jeff, lho.”
“Kenapa?”
“Aku tidak suka kau memanggil orang lain dengan nama panggilan mereka.”
Kaya menyeringai.
“Kau seperti bocah!”
“Jangan pernah. Bagaimana kau akan menyajikan ini, omong-omong?”
“Kau yakin ingin aku membantumu di sini?”
“Lebih baik mendapat bantuan dari orang lain saat kau kepepet.”
“Kau yakin kau pria yang sama yang tadi bilang soal ‘melibas tantangan dengan kemampuan sendiri’?”
“Kata-kata itu dimaksudkan untuk segera diubah.”
Kaya menggelitik samping badan Minjoon. Minjoon menggeliat sedikit lalu piring tanah liat di bawahnya bergeser. Prank! Piring itu pecah setelah membentur lantai marmer.
Minjoon melihat Kaya dengan ekspresi lelah. Kaya melepaskan pelukannya dari Minjoon lalu melihat ke arah lain. Tetapi Kaya tidak bisa mengabaikan Minjoon selamanya. Dia menurunkan bahunya ketika dirinya merasa Minjoon masih menatapnya.
“…Maaf.”
“Tak apa.”
“Aku akan mengurusnya.”
“Tak apa, tolong ambilkan kantong dan sarung tangan.”
“Oke.”
Dia tidak bisa banyak bicara. Begitu dia tiba dengan membawa barang yang diminta, dia menyadari ada yang aneh. Minjoon sedang melamun menatap piring yang pecah.
“Apa ada yang salah?”
“…Tidak, tidak apa-apa.”
Melihat ke pecahan kaca mengingatkannya akan sesuatu, tetapi ide itu hilang secepat kemunculannya. Minjoon mengambil pecahan-pecahan piring dengan perasaan ingin bersin tetapi tidak bisa.
Perasaan itu bertahan selama beberapa hari. Bahkan Ella mulai cemas akan hal ini.
“Ini, makan ini, paman.”
“…Kenapa?”
“Paman terlihat lapar. Iya kan?”
“Aku tidak begitu lapar…”
“Ambil ini.”
“Iya. Terima kasih.”
Minjoon mengambil jeli di tangan Ella dengan tersenyum. Permen mungil itu tampak sangat menggemaskan di tangannya yang gemuk. Tangan Minjoon terhenti di sana.
“Kenapa, paman?”
“…Ella, apa kau bisa diam seperti itu sebentar?”
“Tapi lengan Ella nanti capek…”
“Jangan cemas, aku akan memegangnya.”
Minjoon mulai memilhat tangan Ella dengan seksama. Apakah jeli itu punya piring saat ini, atau bukan? Apakah kita bisa menyebut tangan seseorangsebagai piring?
Tetapi pada saat yang sama, tidak ada piring yang lebih baik saat ini selain tangan Ella. Jeli itu tampak bagus sekali di tangannya. Minjoon mengambil jeli lalu memakannya. Citarasa blueberry merayu lidahnya dengan rasa manisnya. Ella mendongak penuh harap.
“Enak?”
“Iya. Enak sekali.”
“Mau lagi?”
“Tidak, Ella, itu camilanmu.”
“Tapi paman juga memberi Ella banyak camilan.”
“Jadi karena itu kau memberikannya pada paman?”
“Mhm, ibu bilang sebaiknya aku sering berbagi dengan orang lain.”
“Anak baik. Kau sungguh anak penurut.” kata Minjoon sambil menepuk pipi Ella. Ella mengangguk dengan seringai lebar.
“Ella, kau baru saja memberikan hadiah yang hebat. Jangan cemas untuk bisa membalas apa paman beri untuk Ella.”
“Apa yang Ella berikan pada Paman?”
“Tanganmu.”
“…Tangan Ella bukan untuk dimakan.”
“Aku tidak ingin memakannya!”
Jo Minjoon menjawab Ella dengan senyum. Dia tidak berpikir ada yang aneh dari itu. Dia hanya menyadari apa yang penting dari suatu hidangan. Dia menyadari seberapa besar makanan bisa berubah bergantung dari bagaimana penyajiannya.
“Piring apa yang sebaiknya aku gunakan kalau begitu?’
Itulah yang harus dia pikirkan sekarang. Tetapi kemudian, dia mendengar seseorang berjalan melewati pintu dari parkiran. Minjoon melonjak kaget.
“Deborah?”
“Yo, Minjoon. Lama tak jumpa.”
“Bagaimana mungkin kau datang? Bagaimana dengan restoranmu?”
“Bangkrut.”
Minjoon mengernyit dengan tatapan cemas, tetapi Deborah tersenyum agar Minjoon tidak salah paham lagi.
“Hanya bercanda. Jangan pasang wajah seperti itu. Aku hanya sedang melakukan revonasi di sana. Apa kau tahu di mana Rachel?”
“Dia pergi karena orang yang bertanggung jawab dengan mie sedang sakit…Apa kau sudahmenelponnya?”
“Tidak, aku ingin memberinya kejutan. Tapi sekarang jika aku memikirkannya, dia pun tidak akan terkejut… Oh, halo, Ella! Apa yang sedang kau makan?” tanya Deborah memulai perbincangan dengan Ella.
Minjoon menggunakan ini sebagai kesempatan untuk kembali ke dapur. Dia meletakkan semua hidangan di sana, dan mulai menatapnya dengan seksama Maya melihat Minjoon dengan bingung.
“Chef, apa ini semua?”
“Aku sedang mencari hidangan yang akan serasi dengan cassoulet.”
“…Apa harus? Tampaknya susah.”
“Sudah kubilang jangan cemas. Orang lain yang bertanggung jawab membuatnya.”
“Oh,benar. Tetap saja, mengujinya butuh waktu yang lama. Bisakah kita melakukan hal yang lain?”
Jo Minjoon tidak merespon. Maya menghela napas kesal. Setelah itu, Deborah berjalan mendekati mereka dari belakang.
“Berlatih plating ya?”
“Ah, iya. Aku sedang berusha mencari sesuatu yang bisa membuat pelanggan takjub bahkan hanya dengan cassoulet.”
“Ah, aku paham. Hm… Minjoon, apa kau berbakat dalam seni?”
“Begitulah. Kadang-kadang aku dapat A.”
“Cukup bagus, kukira. Kalau begitu kau pasti bisa mengetahuinya. Kau terdengar seolah punya indera di sana.”
“Untuk menghias?”
“Bukan, untuk mampu melihat mana yang cantik dan tidak.”
Deborah menunduk melihat hidangan-hidangan itu. Dia lanjut berbicara dengan suara tenang.
“Aku sudah bilang, kan? Aku sudah melakukan hal-hal semacam ini demi mendapat dua bintang michelin, tetapi tak kunjung berhasil.”
“…Aku ingat.”
“Menurutku, bukan karena makananku tidak sedap. Itu akan aneh jika Michellin memberi bintang pada restoran yang makanannya tidak sedap. Tetapi orang-orang itu tidak menilaimu hanya pada citarasa. Cita rasa itu subyektif. Jadi, mereka memberikan banyak poin pada pelayanan dan dekorasi juga. Bahkan lokasi juga salah satu faktornya. Plating juga sangat penting, tentunya. Minjoon, kau baru pertama kali jadi imigran, kan?”
“Ya, aku lahir dan besar di Korea.”
“Ini adalah perbedaan antara Barat dan Timur. Di Timur berfokus pada citarasa. Interior dan dekorasi hanya nomor dua. Tetapi di Barat berbeda. Mereka mencurahkan perhatian lebih pada penampilan. Untuk membungkam kritikus, kau bisa menggunakan citarasa yang melimpah atau membuat sesuatu yang cantik dan lezat. Bagaimana menurutmu?”
Minjoon mulai berpikir. Citarasa atau penampilan? Dia ingin fokus ke mana? Jo Minjoon perlahan-lahan membuka mulutnya,
“Aku ingat aku mendapat pertanyaan seperti itu dulu. Aku tidak begitu ingat jawabannya, tetapi… Jawabanku saat ini adalah…”
Minjoon terdengar sangat kaku dan serius.
“Tidak bisakah aku fokus pada keduanya?”
<Ambisi seorang chef tiada matinya (2)> Selesai.