Dewa Memasak – Bagian 48: Ketenaran tak terduga (5)
Glek.
Suara orang menelan ludah terdengar, itu suara dari Jo Minjoon. Dia melihat kartu chip yang keluar dari kotak dengan wajah serius. Tim biru. Tim merah. Tim biru 11. Tim merah 11. Beberapa saat kemudian, masing-masing tim memperoleh 17 suara, yang berarti Alan telah mengeluarkan total 34 kartu chip.
“Sekarang, tidak ada lagi kartu chip di kotak ini.”
Para peserta mendengar itu sebagai deklarasi. Alan melihat Jacob.
“Jacob, apa menurutmu timmu akan menang?”
“Iya.”
“Lalu apa alasanmu mengatakan demikian?”
“Aku yakin dengan rekan timku.”
“Menurutmu, apa kau telah menjalankan peran chef kepala dengan baik?”
“Itu pertanyaan yang sulit untuk dijawab bagiku. Menurutku, rekan timku yang bisa menjawab.”
Alan memandang Jacob. Tatapan Jacob tidak terlihat lembut, tapi berbelit-belit dan gugup. Jacob tidak mengelak dari atapan Alan. Alan berkata dengan suara rendah,
“Jika kau harus memilih seseorang dari rekan timmu yang menunjukkan performa terbaik, siapa yang akan kau pilih?”
“…Itu sulit, lebih mudah mengatakan bahwa semua orang mengerjakan dengan baik. Baiklah. Aku akan memilih Marco, karena dia satu-satunya orang yang membuat hidangan tanpa perlu mencuci piring setelahnya.”
“Lalu, jika kau harus memilih orang yang menunjukkan performa paling buruk, siapa yang akan kau pilih?”
Jacob tidak bisa segera menjawab. Dia hanya bisa seperti itu karena jika dia menyebutkan seseorang, pada akhirnya, orang itu akan sakit hati. Lagipula tidak ada rekannya yang begitu buruk dalam mengerjakan tugasnya hingga harus disebut demikian. Jacob menjawab dengan suara canggung.
“Aku memilih diriku sendiri. Aku mencoba menyesuaikan diri sebagai chef kepala tapi aku merasa aku tidak menyelesaikan tugasku dengan baik.”
Pada pertanyaan itu, Alan tidak membalas apapun. Di tengah-tengah suasana penuh kegugupan, hanya keheningan yang terdengar, lalu Alan tersenyum.
“Kau seperti menghindari menjawab ppertanyaanku, tapi jawabanmu agak benar. Aku tidak akan membantah itu. Aku akan mengatakan sesuatu. Jacob, kau telah menyelesaikan misi dengan baik sebagai chef kepala. Ingat itu.”
“Terima kasih.”
Setelah percakapan di antara mereka berakhir, wajah Kaya berubah kacau karena jelas dialah target Alan berikutnya. Alan menoleh untk melihat Kaya. Chloe yang di sebelah Kaya, dengan gugup menyeka keringat di dahi Kaya dengan handuk. Alan yang melihat mereka tanpa ekspresi membuka suara,
“Kaya, aku akan menanyakan hal yang sama padamu. Apa menurutmu kau akan menang?”
“Aku tidak tahu. Pada akhirnya, kau harus melihat hasil perolehan suara. Jadi, kenapa Anda menanyakan hal itu padaku? Jika Anda menanyaiku apa aku akan kalah aku akan menjawab bahwa aku tidak percaya diri, tapi jika aku mengatakan bahwa aku akan menang, itu adalah kepecayaan diri yang tak terbukti. Itu benar, bukan?”
Hampir semua orang di sebelahnya sedikit tertawa mendengar pertanyaan Kaya. Mereka tahu dengan baik tentang temperamen Kaya, tapi mereka tidak sungguh berpikir bahwa dia bisa berbicara semenantang itu pada juri seperti Alan. Apa itu bualan? Ataukah dia hanya tahu untuk menjawab seperti itu?
Alan tidak marah karena perkataan itu tidak cukup kasar untuk membuatnya marah. Kaya hanya mengutarakan poin sebenarnya. Mata Kaya juga menyipit. Akan tetapi Alan tidak perlu menunjukkan hal-hal seperti ini satu per satu karena dia adalah juri, bukan guru. Alan berkata tanpa memedulikan hal itu.
“Aku tidak peduli dengan jawabanmu. Hanya bertanya saja. Apa kau percaya diri?”
“Aku sudah bilang bahwa Anda harus melihatnya agar tahu. Aku tidak tahu.”
Mata Alan mengejang. Sejujurnya, Alan merasa sedikit heran karena dia tidak pernah menyangka bahwa dia akan mendengar jawaban sesingkat ini. Namun sekarang, jika dia melihat dengan jelas, tampak bahwa Kaya, yang telah mengatakan itu, sepertinya merasa lebih heran. Tampaknya dia tdak pernah menduga untuk mengatakan hal itu dengan tegas. Alan mengambil nafas pendek dan membuka suara.
“Lalu, aku akan beralih ke pertanyaan selanjutnya. Siapa chef yang paling unggul?”
“Hugo dan Chloe. Oh, benar. Aku paham. Hanya satu orang. Chloe. Aku memilih Chloe. Sebenarnya hidangan mereka berdua sama lezatnya, tapi jika mempertimbangkan tentang melayani pelanggan, Chloe lebih baik, karena dia tersenyum sangat ramah. Dia menggemaskan dan cantik tidak sepertiku. Para pelanggan sangat menyukai Chloe.”
“…Tidakkah kau berpikir bahwa jika kau memperbaiki temperamenmu, para pelanggan akan sangat menyukaimu apa adanya.”
“Jadi, apa Anda sudah memperbaikinya, Chef? Maksudku, karakter Anda.”
Alan tersenyum alih-alih menjawab. Sejujurnya, itu sesuatu yang seharusnya tidak Alan katakan karena dia bukan tipe orang yang tersenyum ceria pada pelanggan. Alan melanjutkan pertanyaannya. Meski dia tidak terbiasa mengajukan pertanyaan, tapi ini untuk siaran, dia tidak bisa menghindarinya.
“Ini adalah pertanyaan terakhir. Siapa rekan timmu yang menunjukkan performa paling buruk?”
Pada saat itu, banyak peserta tidak sadar melihat Peter. Itu dapat dipahami karena Peter adalah orang yang membuat kejadian mengejutkan dengan menghanguskan hidangannya.
Kaya tidak mencoba untuk terlihat baik dan mempertimbangkan untuk tidak menyebutkan namanya karena apapun yang Kaya lakukan, situasinya tetap buruk. Dari pada pertimbangn yang asal-asalan, lebih nyaman baginya untuk mengatakan hal yang jujur.
“Dia menghanguskan ayam, akan sulit untuk tidak mengatakan itu karena Peter.”
“Lalu bagaimana denganmu? Tidakkah kau berpikir bahwa kau kurang dalam memerankan chef kepala hingga membiarkannya melakukan hal seperti itu?”
“Kapan aku mengatakan bahwa aku tidak punya kesalahan apapun? Aku hanya membandingkan. Rekan tim yang bodoh yang bahkan tidak bisa memanaskan oven dengan benar lalu menghanguskan hidangannya dan chef kepala yang tidak memperhatikan dengan benar tugas rekan timnya. Jika dilihat secara objektif, yang paling bodoh adalah rekan tim itu.”
Itu pernyataan yang teramat jujur. Kru casting melihat situasi ini seperti melihat adegan lucu dan tertawa. Akan tetapi Jo Minjoon yang sedang melihat Kaya, merasa gugup, karena kejujuran yang berlebihan dapat dianggap kasar dan publik akan berfokus pada hal yang buruk dari pada sisi baiknya.
Kaya semakin cemas dan takut dengan komentar buruk dari pada para juri, dan kata-kata yang keluar dari mulutnya hanyalah itu. Keberadaannya itu tentu menjadi karakter yang kuat, tapi karakter itu tidak akan cepat diterima oleh media karena adegan Jo Minjoon dan Kaya lebih menarik.
Kaya berkata,
“Mungkinkah aku harus menjawab bahwa aku yang paling buruk? Aku tidak mendapat naskah.”
“…Cukup. Mari kita selesaikaan wawancara ini.”
Alan berbicara seperti itu dan meletakkan tangannya pada kotak warna merah dan Emily yang berada di sebelahnya, juga meletakkan tangan pada kotak biru dan berkata.
“Salah satu kotak ini kosong. Jika tanganku kosong, tim merah menang, tapi jika tangan Alan yang kosong, tim biru menang. Mari dihitung. Sekarang kita hitung sampai tiga!”
Pada kata-kata Emily, semua orang berteriak bersama-sama. Begitu juga dengan Jo Minjoon. Suara-suara yang terdengar penuh dengan harapan.
Satu.
Dua.
Tiga.
–
Setelah pengumuman hasil berakhir, semua peserta pergi ke ruang wawancara, tidak terkecuali dengan Jo Minjoon. Saat dia selesai wawancara dengan Martin seperti biasa, dia melihat Chloe yang sedang berdiri di aula menendang-nendang dinding dengan tumitnya. Saat Jo Minjoon mendekatinya, Chloe menoleh.
“Apa kau sudah selesai?”
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Hmm, akan aneh jika pergi ke dapur. Suasananya benar-benar buruk.”
“Lalu Kaya?”
“Ugh. Melihat kau perhatian terhadapnya, kau tampak seperti benar-benar saudaranya. Jangan khawatir. Dia di dalam ruang wawancara.”
“Oke.”
Jo Minjoon menyandarkan punggungnya di dinding di sebelah Chloe. Permukaan dinding yang dingin terasa melalui pakaiannya yang tips. Chloe membuka suara,
“Aku merasakannya hari ini bahwa memasak di dapur restoran berbeda dengan memasak di dapur rumah. Aku tidak berpikir bahwa itu akan sulit.”
“Meski begitu, itu cukup seru. Aku terhibur. Melihat pelanggan makan hidangan kita dengan bahagia, itulah yang utama.”
“…Begitu pun bagiku. Meski jika aku terdiskualifikasi dari Grand Chef setelah ini, menurutku aku akan melindungi mimpiku.”
Jo Minjoon mengangguk menanggapi perkataan itu. Awalnya, dia datang jauh-jauh ke Amerika Serikat hanya untuk mendapat persetujuan dari orang tuanya. Dia tentunya juga ingin berdiri di panggung yang dia impikan.
Namun, kompetisi ini memberinya lebih dari apa yang dia pikirkan, yaitu mengembangkan keahlian memasak dan dikelilingi oleh chef-chef yang bagus. Selain itu yang paling penting adalah dia dapat memoles sikap dan ambisinya melalui memasak. Jo Minjoon sedikit tersenyum dan membuka suara,
“Kompetisi ini, kuharap aku bisa menyelesaikannya dengan baik. Itu adalah keputusan terbaik yang aku buat dalam hidupku.”
“…Begitu pun bagiku.”
Chloe melihat Jo Minjoon dan tersenyum ceria. Setelah itu, percakapan berhenti beberapa saat. Mereka tidak punya hal khusus untuk diperbincangkan dan keheningan menyelimuti alih-alih kecanggungan. Jo Minjoon berpikir bahwa dia tidak perlu mengatakan sesuatu untuk memecah keheningan. Namun saat ada awal selalu ada akhir, beberapa saat kemudian keheningan berakhir. Chloe membuka suara,
“Sekarang yang aku lihat, apa yang akan kau ceritakan pada orang tuamu? Kau bilang bahwa kau akan mengatakan pada mereka tentang impianmu menjadi chef.”
“…Aku harus menceritakan pada mereka karena aku tidak bisa menyembunyikan itu dari mereka selamanya terlepas dari hasilnya yang lebih penting.”
Jo Min Joon tersenyum.
“Misi kali ini, kita menang. Aku harus menepati janjiku.”
“…Firasatku mengatakan itu bukan janji.”
Chloe hanya menggaruk pipinya.
Misi dimenangkan oleh tim biru, tim Kaya. 17 banding 26. Tim biru memperoleh 26 suara. Skor unggul yang terpaut jauh, membuat mereka tercengang. Memikirkan tentang kesalahan Peter, mereka hanya bisa menduga hal dramatis dan memperbaikinya. Jo Minjoon tidak bisa melupakan tentang wajah tim merah yang setengah tidak yakin dengan kemenangan tim biru.
“Kemenangan bukanlah karena penyajianmu. Pelanggan tidak akan mengevaluasi hanya tentang hidangan.”
“Naah, akankah mereka melakukan itu?”
Chloe tertawa dan menggelengkan kepala. Namun Jo Minjoon tidak mengatakan itu sebagai gurauan sederhana. Seperti saat evaluasi oleh Emily, tidak aneh jika dikatakan bahwa senyum Chloe menarik hati pelanggan karena hal yang disebut layanan tidak berakhir hanya dengan menyajikan masakan di piring.
“Itu benar. Jika aku sebagai pelanggan, saat aku makan sesuatu yang mirip, aku akan lebih memilih tim dengan chef yang cantik.”
“Hentikan! Berhenti mengatakan hal yang licik dan segera telepon orang tuamu! Ah, bukankah seharusnya ada perbedaan waktu?”
“Tidak. Sekarang ini, di sana seharusnya pagi hari..”
Jo Minjoon ragu-ragu beberapa saat dan mengeluarkan ponselnya. Tidak lama setelah itu dia menyalakan ponselnya. Wajah Jo Minjoon membeku. Chloe, yang melihat ekspresi Jo Minjoon, turut melihat ponselnya dan bahkan dia mengernyitkan dahi. Meskipun dia tidak tahu huruf Korea, setidaknya dia bisa tahu nomor dan tanda panggilan tidak terhubung. 21 panggilang tidak terhubung. Chloe melihat Jo Minjoon dengan gugup.
“…Tunggu sebentar.”
Saat dia memeriksa daftar itu, 10 panggilan berasal dari ibunya, 5 dari ayahnya, dan sisanya dari adiknya Jo Ara. Dia juga punya pesan masuk. Jo Minjoon melihat atap sejenak, lalu melihat ke bawah pada layar ponselnya. Dia menghela nafas.
[Mom: Minjoon, orang-orang menceritakan padaku hal yang bukan-bukan.]
[Mom: Apa kau pergi ke kompetisi memasak?]
[Mom : Jika kau melihat pesanku, telpon aku.]
[Dad: Minjoon. Apa kau sibuk?]
[Jo Ara] : Oppa, kau bilang akan melakukan perjalanan tapi apa yang sedang kau lakukan sekarang? Mom dan Dad sangat serius sekarang.]
Ada banyak sekali pesan masuk, tapi sulit membacanya. Jo Minjoon menutup ponselnya. Chloe mengulurkan tangannya dan memegang bahu Jo Minjoon dengan kuat. Jo Minjoon membuka suara dengan wajah yang suram.
“Menurutku, mereka…tahu.”
< Ketenaran tak terduga (4)> Selesai