Dewa Memasak – Bagian 49: Ketenaran tak terduga (6)
“Tahu apa?”
Orang yang menjawab Jo Minjoon bukanlah Chloe, melainkan Kaya. Mereka tidak tahu jika wawancara telah berakhir hingga saat Kaya mendekati mereka dan bertanya terang-terangan. Chloe melihat Jo Minjoon. Jo Minjoon menunjuk layar ponselnya dan berkata,
“Orang tuaku menelepon. Sepertinya mereka tahu bahwa aku mengikuti kompetisi ini.”
“Hah? Apa aku salah dengar? Apa benar-benar serius?”
“Ini bukan sesuatu yang serius, melainkan lebih kacau karena aku masih belum menceritakan pada mereka bahwa aku ingin menjadi chef.”
Pada perkataan Jo Minjoon, Kaya menyandarkan dagu pada tangannya. Dia mengerutkan dahi sejenak sembari menatap lantai lalu membuka suara seolah-olah dia tidak mengerti.
“Aku tidak paham sama sekali. Tidak mengatakan pada mereka berarti mereka belum tahu. Kenapa justru sebaliknya?”
“Belum sampai saat ini. Tapi jika aku menceritakan pada mereka, mereka akan tahu, dan bukan itu masalahnya. Karena terlepas dari apa yang akan mereka katakan, aku akan tetap berada di jalan ini. Apa yang aku khawatirkan tentang orang tuaku adalah mereka akan khawatir dan tertekan karena putra mereka bermimpi sesuatu yang jauh di atas yang tidak bisa di raih.”
“Mereka bukan anak kecil, tapi bukankah mereka terlalu keras? Sepertinya mereka overprotective padamu.”
“Itu bagus, menghindari semua masalah sebisamu, dan juga melelahkan.”
“Menghindar seperti itu lebih melelahkan. Setidaknya dari sudut pandangku, itu terlihat bodoh karena akhirnya hanya kau sendiri yang kesulitan.”
Pada kata-kata Kaya, Jo Minjoon tidak bisa membalas. Sejujurnya, menyebutnya bodoh itu benar. Mungkin akan lebih baik untuk bentrok dengan orang tuanya secara langsung dan mengalahkan mereka. Namun Jo Minjoon sudah pernah melakukannya, dengan mengatakan bahwa dia suka memasak dan bisa menjalaninya. Dia berteriak seperti itu dan meninggalkan pekerjaannya. Namun apa hasilnya? Akhirnya, tidak ada yang membuat orang tuanya merasa yakin. Setiap kali dia melihat orang tuanya, dia melihat kekhawatiran dan kegelisahan di balik senyuman mereka.
Dia tidak ingin mengulangi itu. Jadi, dia ingin menunjukkan pada mereka hasil yang bagus, sekaligus meyakinkan mereka bahwa putranyya punya bakat, keahlian, dan potensi yang besar. Namun sudah terlambat baginya untuk mengatakan sesuatu, karena mengetahui dari internet dan mendengarkan dari anaknya sendiri adalah 2 hal yang berbeda. Chloe menepuk-nepuk punggungnya dan berkata,
“Pertama, pergilah dan telepon mereka. Kau juga membuatku khawatir sekarang.”
“Iya. Kau pergilah. Aku akan pergi menyusul.”
“…Semoga berhasil.”
Kaya dan Chloe berjalan menuju dapur, Kaya memberi semangat secara tidak langsung pada Jo Minjoon. Dia duduk di sofa yang berada di samping aula dan meletakkan telpon di telinganya. Riiiiiing, riiiiiiiing. Nada dering berhenti tapi tidak ada suara. Jo Minjoon membuka suara pertama dalam keheningan itu.
“Ini aku.”
[…Ibu menonton siaranmu sampai saat ini. Mengapa kau tidak bercerita pada Ibu?]
“Aku minta maaf. Aku bermaksud mengatakan pada ibu setelah aku meraih hasil yang bagus.”
[Beberapa bulan terakhir, tiba-tiba kau memasak..Sejujurnya, ibu hanya bisa mengatakan, itu tak terduga.]
“Bagaimana ibu tahu?”
[Berita tentangmu muncul. Tidak besar, hanya tulisan kecil. ‘Jo Minjoon mewakili Korea di Grand Chef.’, seperti itu judulnya. Ara terkejut dan menceritakannya pada ibu, tapi sejujurnya, ibu berpikir bahwa itu bukan kamu. Ibu tidak tahu alasanmu menyembunyikannya dari kami dan pergi untuk berpartisipasi pada kompetisi itu. Apa kami melakukan kesalahan padamu?]
“Ibu tidak bersalah. Hanya saja…aku ingin menceritakan pada ibu setelah aku mendapat hasilnya, Bu.”
Jo Minjoon menelan ludah. Kegugupannya terasa melalui ponselnya. Jo Minjoon berkata pada suara yang mantap dan memecah suasana yang dingin itu.
“Aku ingin menjadi chef.”
Itu bukan berarti bahwa dia akan menjadi itu, atau berencana menjadi itu. Dia sedang mengkonfirmasinya sekarang. Suara itu penuh dengan ambisi dan cinta terhadap memasak, jadi Lee Hyeseon tidak dapat mengatakan apapun.
Jo Minjoon tidak berlama-lama berbicara karena hanya kata-kata itulah yang ingin dia katakan. Lee Hyeseon memahami itu. Suaranya terdengar melalui ponsel. Dia seperti berusaha tenang sebisa mungkin.
[Sulit bagi ibu untuk mengatakan sesuatu sekarang. Minjoon, kau juga harus banyak memikirkan itu. Ibu juga akan memikirkannya bersamamu. Satu hal yang aku ingin sampaikan yaitu… ibu dan ayah selalu menyemangatimu. Tentunya, kami juga khawatir sebanyak kami menyemangatimu.]
“…Aku tahu.”
[Ibu menikmati siaran itu. Sekarang jika ibu memikikannya, ibu merasa bahwa kau banyak berlatih tanpa kami sadar. Benar kan?]
“Iya,”
Dia hanya bisa menjawab seperti itu karena akan aneh bagi Jo Minjoon untuk memiliki keahlian seperti itu tanpa berlatih. Lee Hyeseon melanjutkan,
[Apa yang ibu bisa katakan saat ini…Lakukan dengan baik dan pulanglah. Ibu minta maaf.]
“Kenapa kau minta maaf? Jangan katakaan itu.”
[ Lakukan dengan baik dan jangan memikirkan hal lain selain memasak. Jika kau sudah mantap, menangkanlah kompetisi itu. Paham?]
“…Iya.”
Suaranya tertahan dan Lee Hyeson juga menyadarinya. Dia buru-buru menyudahi percakapan.
[Ah, memikirkan itu, ibu lupa bahwa ibu sudah punya janji. Ibu akan menutup telepon. Minjoon, kau tahu bahwa ibu mencintaimu, kan? Ibu sayang padamu!]
“Iya, aku juga…”
Bahkan sebelum Jo Minjoon membalas, telepon berakhir. Jo Minjoon menggigit bibirnya dan melihat ponselnya. Reaksi ibunya sedikit berbeda dengan apa yang dia pikirkan tapi jelas bahwa ibunya khawatir. Lee Hyeseon tidak berpikir bahwa impian Jo Minjoon tidak perlu dipikirkan. Mungkin Lee Hyeseon akan berpikir seperti itu untuk dirinya sendiri, tapi setidaknya dia tidak menghentikan Jo Minjoon memperjuangkan mimpinya.
Bagaimana itu mungkin, tapi Jo Minjoon tidak perlu lama memikirkan itu. Benar. Hasilnya sudah keluar. Hasil yang membuat orang tuanya lega. Tapi mereka tahu tentang itu melalui berita dengan asal-asalan. Mengatakan bahwa dia mendapat ketenaran di luar negeri dan bahwa dia fokus dengan impiannya, itu terlalu berat.
Jo Minjoon melihat atap sejenak. Itu berbeda dengan sebelumnya. Keahliannya sejauh ini telah membuat orang tuanya lega dan memikirkan itu membuat dadanya memanas. Jo Minjoon mengangkat kepalanya, karena jika dia tidak melakukannya, dia akan menangis sekarang.
Setelah dia menenangkan diri sendiri di lorong, Jo Minjoon memasuki dapur. Saat dia ke lantai 2, Chloe mendekatinya seolah-olah dia sedang menunggunya.
“Apa kau melakukannya dengan baik?”
“Iya. Lebih baik dari yang aku duga.”
“…Syukurlah.”
Chloe memasang wajah lebih gugup dari pada Jo Minjoon. Chloe sudah tenang dan menghela nafas. Melihat Chloe bersikap seperti itu membuat Jo Minjoon merasa bersyukur dan bersemangat. Dia menggaruk bagian dekat dengan hidungnya dan memalingkan wajah. Anggota tim merah sedang menyelesaikan wawancara dan memasuki dapur.
Jo Minjoon membuat kontak mata dengan Marco. Mungkin jika dia tidak berkulit hitam, wajahnya akan tampak pucat sekali. Itu sangat terlihat di wajahnya.
Itu dapat dipahami karena misi diskualifikasi bercampur dengan hal yang tidak bisa kau menangkan hanya dengan keahlian memasak. Misi berpasangan Kaya dan Jo Minjoon bergantung dari kerjasama tim. Misi menebak isi dari kantong tahu yang digoreng juga membutuhkan indera pengecap yang handal.
Misi seperti apa itu? Jo Minjoon mencoba mengingat-ingat. Tapi dia tidak bisa mengingatnya. Dia hanya bisa melakukan itu karena apa yang Jo Minjoon ingat kebanyakan misi yang berhubungan dengan Kaya dan misi kali ini, Kaya tidak termasuk di dalamnya.
“Anderson tampak agak tenang.”
Chloe bergumam seolah-olah dia terpesona. Seperti yang dia katakan, Anderson tidak tampak gugup sama sekali. Kepercayaan dirinya akan lolos pada misi apapun tampak dari wajahnya. Kaya menggerutu dan berkata,
“Dia memiliki wajah menghina.”
“…Apa kau masih belum berdamai?”
“Selain belum berdamai, aku pun tidak menyukainya.”
“Aku paham apa yang coba kau katakan…”
Jo Minjoon sedikit tertawa. Kaya tampak masih menyimpan dendam karena misi 3 menu set lengkap sebelumnya karena Kaya adalah satu-satunya orang yang mendapat ancaman karena telah salah menyiapkan hidangan pembuka.
“Shh, itu sudah mulai.”
Chloe mengangkat jarinya. Seperti yang dia katakan, Joseph datang dan menaikkan suaranya.
“Kita akan mulai misi diskualifikasi.”
–
Tema misi kali ini adalah omelette dan standar evaluasinya sederhana, yaitu membuat omelette yang cantik. Itu memang sederhana tapi chef yang sudah ahli pun menemukan kesulitan dalam melakukannya karena jika kau tidak terbiasa membuat omelette, meski kau seorang ahli, itu akan sangat sulit membuat bentuk yang cantik.
Dan mereka harus memasak dengan cara yang sama, menggunakan minyak goreng dan mentega, dan memasak telur kocok tanpa mencampurnya dengan susu atapun krim.
Namun, poin sulit dalam memasak omelette adalah perlu sedikit pengalaman untuk tahu kapan berhenti memanaskan telur saat telur mulai teraduk (scrambled) dan bagaimana menggulung telur itu sedikit demi sedikit. Bagian yang paling sulit adalah penggunaan api. Jika menggunakan api sedikit lebih besar dari yang dibutuhkan, permukaan luarnya tidak matang dengan tepat dan terpanggang. Untuk omelette, permukaan luarnya tidak perlu terpanggang hingga coklat.
Dan hal yang perlu diperhatikan untuk membuat omelette tidak berhenti sampai di situ. Saat memotong omelette, bagian dalamnya harus lembut. Yang paling penting, kau harus menggunakan sisi wajan penggorengan untuk membuat bentuk melingkar. Dengan memperhitungkan semua hal itu dan waktu memasak hanya 5 menit, itu membuat orang-orang pucat apakah mereka bisa sukses membuatnya.
Tidak ada keajaiban. Orang-orang yang percaya diri membuat omelette berdasarkan langkah itu dan mereka yang tidak membuat kekacauan. Anderson adalah yang pertama. Dia tetap bersikap percaya diri dari awal, dan membuat omelette yang sempurna tanpa kesalahan. Omelettenya yang berwarna kuning anak ayam tidak mengandung kesalahan apapun untuk ditunjukkan, dan bagian luarnya tampak seperti pudding. Itu adalah omelette yang tidak seorang pun dapat mengungkapkan di mana letak kesalahannya.
Namun Marco sebaliknya. Dia sangat gugup dari awal dan akhirnya, membuat omelette yang sobek-sobek di beberapa bagian. Setidaknya bagian luarnya berwarna kuning dan masih terbilang sukses.
Jo Minjoon memandang serius pada Marco. Aneh baginya jika Marco didiskualifikasi. Meskipun peserta lain tidak lebih baik darinya, mereka juga tidak membuat omelette lebih baik daripada Marco.
Dan 5 menit berlalu. Alan menaikkan suaranya.
“Semua orang berhenti dan bawa hidangan kalian.”
Di depan para juri, ada 9 hidangan yang diletakkan di atas meja masak. Alan mendekat dengan wajah santai dan mendorong hidangan-hidagan itu. Namun dia tidak mendorong semua hidangan, hanya omelette yang dimasak dengan sempurna dan tidak sobek, jumlahnya ada 3.
Alan meraih pisau dan mengiris omelette. Dua diantaranya dibuat dengan lembut dan satu lagi menggumpal menjadi satu seperti telur kukus (gyeran jjim). Dia menghela nafas.
“Hanya ada 2 dari 9 yang layak disebut omelette. Siapa pemilik hidangan ini?”
Pada pertanyaan Alan, Jacob dan Anderson mengangkat tangannya. Joseph yang berada di sebelah mereka membuka suara,
“Aku punya firasat bahwa kalian sudah biasa membuat omelette. Aku tidak punya kritik apapun untuk diungkapkan. Kalian berdua silahkan naik ke atas. Kalian lolos.”
“Terima kasih.”
Mereka berdua menjawab dengan suara rendah lalu melangkah. Mereka tidak bisa melompat gembira karena sebelumnya mereka semua satu tim.
Emily melihat 7 omelette yang tersisa. Dan kemudian menghela nafas.
“Untuk memilih 3 terburuk dari semua ini sangat sulit. Kalian bisa melakukannya? Sejujurnya, ini tidak membuatku berselera memakannya. Satu-satunya hal yang bagus adalah bagian luarnya yang dimasak dengan baik, kecuali jika bumbunya terasa agak berlebihan untuk omelette. Namun, jika di dalam omelette masih mentah atau dikukus dengan asal-asalan, aku tidak akan bisa menahannya. Menurutku, itu menghina telur.”
Sebagai orang yang mengatakan semua itu, kata-kata Emily sungguh kasar, karena Emily adalah tipe orang yang biasa mengatakan kata-kata yang bagus. Jo Minjoon menggigit bibirnya dan melihat Marco. Orang yang paling baik dan lembut adalah Marco. Dia tidak ingin terdiskualifikasi seperti ini.
‘…Marco, kumohon.’ Perasaan Jo Minjoon tidak berbeda dengan Chloe ataupun Kaya. Mereka menerima banyak pertimbangan dari Marco dan mereka tahu dengan baik keahlian Marco. Bagi Marco, yang membuat hidangan terbaik, tapi mendapat diskualifikasi bersama timnya, itu sungguh hal yang kurang beruntung. Sesaat kemudian,
“Marco, jika kau lolos aku akan mengenalkan kepadamu seorang gadis!”
Jo Minjoon tertawa dan menoleh. Itu adalah suara Kaya. Dia membuka matanya dengan tajam seolah-olah bertanya apa yang Jo Minjoon lihat lalu berkata,
“Tentunya dia bukan Chloe. Jangan khawatir, Chloe.”
“Iya, iya.”
“Apa ada sesuatu yang dikhawatirkan jika bertemu denganku?”
“Tentu saja. Pikirkan badanmu yang besar.”
Wajah Marco dongkol. Emily yang melihat mereka, menghela nafas. Apakah dia harus marah atau tertawa. Alan, yang suka terang-terangan, juga tidak tahu harus bereaksi apa.
Emily membuka suara.
“Marco, melihat kau sangat tertarik dengan wanita, aku akan mengevaluasi hidanganmu dahulu. Omelettemu sobek di sana-sini. Ini jelas bukan hidangan yang cantik. Apa kau setuju?”
“…Iya.”
“Syukurlah kalau begitu. Benar. Penampakannya jelas tidak bagus. Lalu seberapa baik ini di masak?”
Emily mengiris omelette Marco dengan garpu. Seketika, tampak bagian dalam telur yang lembut. Emily tersenyum cerah. Ini tidak tampak terlalu berbeda dengan omelette Anderson dan Jacob.
“Yaa, seperti yang kau lihat, ini dimasak dengan sempurna, tidak berlebihan dan tidak kurang. Bahkan jika kau tidak bisa menyajikan ini di restoran, tapi ini enak dimakan di rumah. Apa artinya ini?”
Pada kata-kata itu, Marco berkata dengan hati-hati. Da menggosok-gosok jemarinya.
“Ah…apa aku lolos?”
“Salah. Jawabannya adalah turunkan berat badan.”
Emily menjawab dengan lugas. Wajah Marco menjadi kikuk. Dia tidak mengerti semua yang Emily coba katakan. Melihat Marco seperti itu, Emily tersenyum.
“Jika kau ingin bertemu seorang wanita, kau harus mengurangi lemak terlebih dahulu.”
< Ketenaran tak terduga (4) > Selesai