Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 177: Seseorang yang muncul di Truk (3)
Ada alasan Jo Minjoon menjawab dengan tegas. Bukan karena dia tidak suka gastronomi molekuler. Dia justru sangat tertarik pada gastronomi molekuler. Namun…
“Perjalananku masih jauh di masakan tradisional. Aku ingin mencoba gastronomi molekuler nanti di saat aku punya sedikit lagi kepercayaan diri.”
Jika masakan tradisional adalah dasarnya, gastronomi molekuler adalah sebuah seni. Secara pribadi Jo Minjoon yakin bahwa alih-alih fokus pada sesuatu yang sangat teknis, dia masih perlu fokus pada hal dasar. Jo Minjoon melirik chef demi lain lalu berkata.
“Mereka bertiga punya keahlian yang lebih baik dan pengalaman yang lebih banyak dariku, jadi bukankah gastronomi molekuler akan lebih pas untuk salah satu dari mereka?”
Setelah mendengar apa yang dikatakan Jo Minjoon, perlahan Rafael membuat kontak mata dengan yang lain. Mereka pura-pura terbatuk saat menghindari tatapan Rafael. Rachel menghela napas kemudian berkata.
“Pada akhirnya, aku tetap ditolak.”
Rachel tersenyum masam lalu berkata.
“Bagaimanapun, aku percaya bahwa kalia semua akan tulus mempelajari itu. Kami akan mengajari kalian gastronomi molekuler selama 10 hari ke depan. Setelah itu, kalian akan mengerjakan menu gastronomi molekuler. Tentunya, kita tidak perlu es krim apapun.”
“… Mungkinkah Guru menggunakan tugas ini sebagai penentu bagian-bagian kami?”
“Iya. Orang-orang yang menyantap makananmu akan memberikan suara. Aku akan memberi kesempatan pada kalian untuk memilih bagian yang sesuai berdasarkan hasilnya nanti. Posisi kedua akan memilih pertama kali, posisi ketiga memilih setelah itu. tetunya, posisi keempat tidak punya pilihan.”
Jo Minjoon memiringkan kepalanya setelah menyimak penjelasan Rachel. Ada yang aneh.
“…Posisi pertama tidak boleh memilih? Kalau begitu yang terbaik mendapat apa?”
Orang yang merespon pertanyaan Jo Minjoon adalah Rafael.
“Gastronomi molekuler tentunya.”
€
“…Oeeek. Jijik.”
Ella menjulurkan lidahnya keluar seperti anjing saat dia mengekspresikan rasa jijik. Ekspresi Javier sedih saat bertanya dengan nada berharap.
“Apa seburuk itu? Cobalah sesuap lagi. Barangkali berbeda!”
Ella menutup mulutnya rapat-rapat dan membelalak pada Javier sambil menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri. Janet membelalak pada Javier lalu berkata.
“Aku sudah bilang itu tidak akan berhasil pada Ella. Pasta yang terbuat dari kopi espresso? Kau pikir anak kecil akan menyukainya?”
“Apa yang salah dengan pasta kopi espresso? Dia menikmati sorbet asparagus buatan chef.”
“Saus ceri memberi rasa manis pada hidangan itu. Selain itu, harmoni dari bahan-bahan sangat bagus sekali.”
“Heh, internet bilang ini resep yang bagus.”
“Mungkin untuk orang dewasa. Tetapi bagi anak kecil itu pahit. Dan yang paling penting, bahkan bagiku, pastamu tidak enak sama sekali. Apa kau sengaja melakukan ini agar tidak mendapat juara pertama?”
“…Apa aku ketahuan?”
Tatapan Janet dingin mendengar respon Javier. Javier buru-buru melanjutkan.
“Bercanda. Aku hanya bercanda.”
“…Oke, Ella. Kau bisa menyingkirkan piring itu. Kau mau coba yang ini?”
Janet menyodorkan hidangan buatannya. Dilihat sekilas, tampak seperti iga babi barbekyu. Namun, jika dilihat dari dekat, bisa dilihat bahwa sama sekali tidak ada bagian yang hangus. Javier tampak tidak suka seolah mengatakan Janet curang.
“Hei, sous vide itu curang. Semua yang dibutuhkan adalah waktu. Tidakkah kau berlebihan dalam menghadapi kompetisi ini?”
“Siapa bilang aku membuat hidangan ini untuk kompetisi? Aku hanya…”
Janet menatap Ella. Ella berusaha keras memisahkan daging dari tulang dengan garpunya, kemudian dia menyerah dan menggunakan tangannya untuk memakannya. Janet mengusap saus yang belepotan di tepi mulut Ella dengan sapu tangan sambil tersenyum. Senyum itu tidak pernah dia tunjukkan pada angoota keluarga yang lain.
“Apa enak?”
“Iya. Ini seenak roti buatan ibu untukku!”
“Kalau begitu kukira rasanya enak sekali yaa.”
Ella mengagguk-angguk lalu menggigit daging iga lagi. Janet bergumam untuk dirinya sendiri.
“Jika aku punya anak, aku akan selalu memberi anakku makanan yang lezat seperti ini.”
“Kau bisa mulai membuatnya sekarang. Oh, tapi kau harus punya pacar dulu.”
Janet tidak merespon. Dia tampaknya bahagia hanya menonton Ella menikmati makanan. Jo Minjoon, yang melihat mereka dari jauh, berbisik pada Lisa.
“Lisa, kau mungkin akan kehilangan posisimu dalam menyayangi Ella.”
“Aku senang. Tampaknya Ella punya seseorang yang nanti akan menjaganya bila aku mati.”
“Ah. Kenapa kau mengatakan hal seperti itu?”
“Kau tidak akan pernah tahu apa yang mungkin terjadi.”
Lisa mengangkat bahu. Karena dia tidak berusaha membuat lelucon, mungkin ada sesuatu yang banyak menyita pikiran Lisa. Jo Minjoon melihat Ella lalu dia berbisik pelan pada Lisa.
“Aku janji. Jika ada sesuatu yang terjadi padamu, Lisa, aku akan menjaga Ella. Jadi jangan cemas. Jangan mengatakan hal seperti itu lagi. Khususnya pada Ella.”
“…Aku paham. Aku bersyukur mendengar ucapanmu itu.”
“Uhuk.”
Tiba-tiba ada suara batuk yang berasal dari belakang mereka. Itu suara Rafael. Dia menatap Jo Minjoon lalu berkata.
“Minjoon, bukankah ini waktunya kau mulai menentukan arahmu? Untuk menu yang akan kau sajikan, apa kau sudah menentukan metode yang akan kau gunakan?”
“Belum. Sejujurnya, metode termudah yang digunakan dalam gastronomi molekuler tampaknya adalah sous vide…tapi menurutku, itu tidak tepat digunakan untuk tantangan ini.”
“Terlepas dari tantangan, apa metode favoritmu?”
Rafael menatap Minjoon dengan penasaran. Orang pertama dalam sejarah yang memiliki pengecapan mutlak, bagaimana sebutan itu dia gunakan pada kemampuannya sebagai chef? Jo Minjoon jatuh ke dalam pikirannya.
Matanya melihat ke arah area yang kosong di depannya dan tatapannya berkabut. Dia tidak melihat layar sistem. Dia hanya sedang berpikir.
Secara pribadi Rafael suka dengan tatapan yang dimiliki Jo Minjoon. Penampilan tipe 4D yang terkesan seolah dia tersesat dalam dunianya sendiri. Chef juga seniman. Sama sepeti seniman, mereka membutuhkan suatu hal yang khusus seperti itu untuk berhasil.
‘Akhir-akhir ini, hanya ada orang yang ngotot dan tidak fleksibel dalam dunia kuliner.’
Tentu itu hal yang bagus. Dunia butuh chef yang bisa mempertahankan tradisi rasa. Akan tetapi, berbeda dengan Rafael. Dia adalah seseorang yang lebih suka membalikkan atau mengubah yang kuno alih-alih melindungi. Ananloginya, alih-alih menggali terus lebih dalam dari orang lain, dia lebih suka menggali banyak lubang dengan ukuran yang tepat dan menghubungkannya.
Pada aspek itu, Rafael sangat menyukai Jo Minjoon. Setelah menghabiskan beberapa hari terakhir bersama Jo Minjoon, Rafael bisa merasakannya. Dia dan Jo Minjoon setipe. Dengan kata-kata yang bagus, mereka berdua adalah orang jenius yang hidup di luar lingkup pemikiran orang normal. Kalau boleh mengutarakannya dengan kejam, mereka berdua menunjukkan tanda-tanda orang gila yang culun.
‘Orang tipe seperti ini tidak akan pernah puas dengan hanya hidangan tradisional. Jika ada banyak cara dalam memasak, dia ingin mencoba semuanya untuk meredakan rasa frustasinya…’
Meskipun Jo Minjoon tidak mau ambil bagian dalam gastronomi molekuler saat ini, hal itu karena dia masih punya banyak hal yang harus dia pelajari tentang hidangan tradisional. Ketika dia paham variasi pilihan yang ditawarkan gastronomi molekuler, Jo Minjoon juga akan terperdaya dengan daya tarik gastronomi molekuler seperti sebelumnya. Rafael yakin soal itu.
Jo Minjoon tersesat dalam pikirannya selama hampir 5 menit. Biasanya, dia tidak akan merenungkan pertanyaan seseorang begitu lama, tetapi jika pertanyaan itu menyinggung soal masakan, dia cenderung sering melakukannya. Haruskah itu disebut waktu tersesatnya dia? Bahkan Rafael cenderung memahami itu sebagai hal yang positif.
Jo Minjoon berkata.
“Cita rasa bahan-bahan.”
“Cita rasa?”
“Tidak hanya gastronomi molekuler, tetapi jenis masakan yang aku suka adalah soal itu. Memastikan bahwa masing-masing bahan tidak menyembunyikan cita rasa satu sama lain. Dengan memasak, biasanya ada satu aspek penting pada suatu hidangan. Bahan pendamping atau bumbu hanyalah pelengkap yang membantu menambah rasa …… tapi aku lebih suka hidangan yang mana setiap bahan memainkan peran utama dan tidak menutupi cita rasa yang lain, yang justru sebenarnya saling membantu …… dan menjadi sempurna apa adanya. Apa aku berbicara hal yang tidak masuk akal?”
“Tidak, tidak sama sekali. Lanjutkan.”
“Aspek yang paling menarik dari gastronomi molekuler adalah bahwa kita bisa mengubah saus cair menjadi saus bubuk, mengubahnya menjadi jeli, atau bahkan menjadi sirup. Menurutku, sesuatu yang seperti itulah yang paling aku suka. Beberapa orang mungkin berpikir yang berubah hanyalah teksturnya, tetapi itu tidak benar. Berdasarkan bagaimana lidahmu menyentuh tekstur hidangan itu, persepsi terhadap cita rasa juga akan berubah banyak. Sama seperti bagaimana aktor yang sama memainkan peran yang berbeda dalam film yang berbeda… Walaupun orangnya sama, dia membawa kesan yang berbeda. Itu…itu sangat indah bagiku.”
Mungkin hanya dengan memikirkannya, hatinya pun tersenuh, nada suara Jo Minjoon mulai agak bergetar di akhir kalimatnya. Rafael melongo menatap Jo Minjoon. Jo Minjoon benar-benar tidak memiliki ketertarikan terhadap gastronomi molekuler. Bukan, lebih tepatnya, dia tidak terpikir sedikit pun untuk memulai gastronomi molekuler saat ini.
Tetapi fakta bahwa dia masih sangat bersemangat dalam membicarakan gastronomi molekuler…itu menunjukkan bahwa perasaanya terhadap memasak dan makanan secara umum, sangat besar. Apa yang paling mengejutkan Rafael adalah ketika dia memikirkan metode perubahan bentuk saus, dia justru berfokus ke dalam cita rasa alih-alih tekstur.
“Ci..cita rasa. hah?”
“Apa itu aneh?”
“Bukan dosa bagi chef menjadi aneh. Justru, kau harus menjadi aneh hingga terkesan sedikit gila, untuk menciptakan hidangan yang mampu mengejutkan orang-orang. Mungkin di restoran keluarga tidak masalah, tetapi apa yang orang-orang harapkan dari tempat seperti ini bukan hanya cita rasa, melainkan tampilan juga harus menarik.”
Itulah aturan Rafael soal memasak. Lewati cita rasanya dan pastikan masakannya asik. Seberapa enak pun rasanya, jika membosankan, mereka tidak akan mencarinya lagi. Sama seperti seberapa pun keren efek dalam film, jika tidak menghibur, kau tidak akan pernah menontonnya lagi. Rachel lanjut berbicara.
“Tentunya dasar dari semua itu adalah cita rasa. Tapi aku terkejut. Sulit untuk mendapatkan wawasan seperti itu pada usia yang baru menginjak 20-an. Tekstur berdampak pada cita rasa…Apa mungkin kau pernah mendengar hal itu dari orang lain?”
“…Aku tidak begitu yakin. Aku hanya terpikir seperti itu.”
Ada banyak orang yang mempengaruhi masakannya. Tentunya pengaruh terbesar dia dapatkan dari Kaya, tetapi itu bohong bila dikatakan semua yang dia lakukan mirip dengan Kaya.
Jo Minjoon berkata.
“Lagipula karena sudah begini, cobalah berusaha untuk mendapatkan posisi pertama. Mengerjakan gastronomi molekuler bukan berarti kau hanya meningkatkan kemampuanmu dalam gastronomi molekuler. Kau tidak perlu cemas masakan tradisionalmu akan menurun.”
“Apa kau sungguh yakin aku tidak perlu mencemaskan soal itu?”
Tatapan Rafael gemetar. Dia lanjut bericara dengan nada kurang yakin.
“…Menurutku begitu.”
€
Sejak Kaya datang, ada perubahan dalam keseharian Jo Minjoon. Biasanya, dia berbaring di tempat tidurnya di malam hari, tetapi sekarang dia berlari menyusuri pantai Santa Monica. Tentunya tujuannya bukan olahraga tetapi hal lain. Waktu yang dia punya untuk bersama Kaya hanya di malam hari, dan inilah cara terbaik untuk mengisi malam-malam mereka bersama-sama.
“Tidak lama setelah Minjoon mulai berlari, seorang wanita spontan berlari menyambutnya. Dia adalah Kaya. Jo Minjoon melirik Kaya. Di bawah sinar lampu jalan dan sinar bulan, dia bisa melihat pakaian olahraganya yang ketat. Jo Minjoon mengerutkan keningnya.
“Kenapa kau berpakaian seperti ini?”
“Kenapa?”
“Bentuk badanmu keliatan sekali. Ada banyak orang di sini.”
“Ini normal dipakai bila kau sedang berolahraga.”
“Itu tidak normal.”
“…Kau tidak bilang apa-apa pada Chloe.”
Jo Minjoon hanya membuka dan menutup mulutnya. Alih-alih maksud dari kata Kaya, dia merasa jantungnya copot saat Kaya menyebut Chloe. Kaya masih belum tahu bahwa Chloe telah mengungkapkan perasaannya pada Jo Minjoon. Jo Minjoon mengalihkan pandangan lalu mulai menggerutu.
“Setidaknya pakailah rompi untuk menutupinya.”
“Kenapa kau ngomel-ngomel sih, toh orang lain tidak memperhatikan kita. Itu hanya membuat cucianku jadi banyak. Jika kau berkeringat dan tidak segera mencucinya, bajumu akan bau keringat.”
“Sekarang karena kau membahasnya, siapa yang mengurus cucianmu? Apa kau mengurus cucianmu sendiri? Ataukah agen yang menguruskannya?”
“Aku tidak bisa membayangkan orang lain menyentuh pakaian dalamku. Itu memalukan. Yaa kan?”
“…Entahlah. Tidak juga.”
“Mulailah malu. Bahkan bagiku, jika kau menyuruhku mengurus cucianmu nanti, aku akan menghabisimu.”
Kaya membicarakan soal hidup bersama dengan begitu santai hingga tiba-tiba Jo Minjoon menyadari ada yang aneh. Jo Minjoon terus berjalan sambil menatap Kaya. Kaya berusaha keras untuk tidak membuat kontak mata dengannya, lalu dia menggerutu.
“Kenapa kau terus melihatku seperti itu?”
“Tidak ada. Hanya penasaran.”
“Tentang apa?”
Jo Minjoon tersenyum nakal ketika menjawab.
“Lalu siapa nanti yang mengurus cucianku?”
<Seseorang yang muncul di Truk (3)> Selesai