Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 250 <Ambisi seorang chef tiada matinya (3)>
”Ambisius sekali.”
Deborah mendecakkan lidahnya terkejut. Minjoon menggaruk-garuk belakang kepalanya malu.
“Kau tahu. Apa aku sungguh harus menyerah pada satu hal untuk bisa mendapatkan hal yag lain?”
“Aku tidak menyuruhmu untuk menyerah. Aku menyuruhmu untuk fokus.”
Itu terdengar aneh di kepalanya, tetapi dia paham intinya. Mengambil spesialisasi itu berbeda dengan menyerah.
Hal itu membuatnya berpikir tentang Rachel. Rachel pasti pernah mengalami hal yang sama pada titik ini. Memikirkan hal itu hanya membuat dirinya semakin galau.
“Menurutmu, kau paling berbakat dalam hal apa? Kau pasti punya bakat di satu bidang, kan? Sup, pasta, gastronomi molekuler, plating, memakai pisau, mengendalikan api, dll.”
“Mmm… aku jelas buruk dalam plating.”
“Well, aku tidak tahu soal itu. Menurutku, sebenarnya kau sangat bagus dalam plating.”
“Apa?”
Minjoon menoleh ke Deborah dengan wajah heran. Level mendekorasinya hanya 6. Tentu, plating yang bagus tidak membutuhkan sesuatu yang heboh seperti ukiran wortel, tetapi bukan berarti dia bagus.
Namun, Deborah tidak tampak bercanda. Dia berkata pada saat Minjoon hanya menatapnya dengan tidak percaya.
“Menurutmu, bagaimana plating?”
“Entahlah…?”
“Ini semua tentang tampil menarik di depan pelanggan. Tidak ada yang lebih subyektif dari pada tampil bagus. Bagi beberapa orang, seorang anak yang aneh mungkin menggemaskan, atau bahkan mereka sayangi.”
“Itu karena ada hubungan antara orang-orang ini.”
“Menurutmu hubungan antara seseorang dengan hidangan tidak ada?”
Minjoon hanya mentapnya. Deborah menghela napas.
“Maaf. Aku terus mengatakan hal aneh, yaa. Langsung saja. Menurutku, sebuah hidangan bukan sekedar makanan yang sudah diletakkan di piring. Selain itu, menurutku, berusaha bersaing adil dengan citarasa itu salah.”
“…Kenapa tidak?”
“Karena orang-orang selalu berpikir sebelum makan. Siapa yang membuat ini, bagaimana cara membuatnya, bagaimana cara platingnya…semua itu penting. Apa menurutmu, seseorang akan menganggap sedap suatu hidangan yang dibuat oleh seorang pembunuh?”
“Mereka tidak akan bisa memakannya.”
“Itulah. Pelangganmu akan memikirkan dirimu dulu sebelum makan sesuatu. Tidak peduli betapa bagusnya dirimu, itu tak terhindarkan. Dirimu sendiri menjadi bagian dari dekorasi makananmu.”
Minjoon merasa agak tidak mengerti tentang itu.
“Siapa pun bisa mendapat popularitas jika bekerja keras, kan. Itu sungguh bukan bakat atau apapun, kan?”
“Kau serius? Jika iya, boleh aku memukulmu?”
“…Anggap saja itu bercanda. Aku sungguh tidak mau dipukul.”
“Oke. Jika aku menanggapi lelucon itu dengan serius, aku ingin memberitahu dirimu agar lebih memikirkan tentang posisimu. Tidak peduli betapa bagusnya seorang chef,tidak banyak orang yang dapat membangkitkan kegembiraan dari penonton di televisi. Tetapi lihatlah dirimu. Kau telah mendapat perhatian dari seluruh dunia hanya dalam setahun. Sederhananya, seluruh dunia tahu siapa Jo Minjoon.”
Deborah penasaran sejenak. Apakah pria itu benar-benar tahu betapa irinya semua orang terhadap dirinya? Meski Deborah sendiri, yang seorang chef kepala di restoran berbintang satu Michelin, juga iri dengan Minjoon.
Itulah betapa mengejutkannya peningkatan popularitas Minjoon yang begitu cepat. Orang-orang tidak pernah mengabaikan dirinya. Dia hanya menjadi chef demi, dan segera menjadi chef bintang.
“…Kawan, kau membuatku iri lagi dengan hidupmu. Apa kau mau bertukar kehidupan denganku?”
“Kau harus menikahi Kaya jika benar. Apa kau tidak masalah?”
“Aku tinggal minta cerai.”
“Kalau begitu jangan.”
“Hah, kau terdengar akan mengatakan iya jika aku bilang akan menjaganya.”
Deborah tersenyum. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Dia bersandar di dinding dengan wajah sedih.
“Sejujurnya, alih-alih mengobrol seperti ini… Aku masih belum menemukan di mana aku harus fokus. Ini menyebalkan.”
“…Bukankah kau mendapat satu bintang Michelin? Haruskah kau membicarakan itu?”
“Benar. Aku bintang satu. Bukan dua atau tiga, melainkan hanya satu. Hanya pemilik restoran yang terus cemas jika bintangnya akan lepas.”
Dia terdengar sangat lelah dan kalah. Minjoon berpikir sejenak sebelum berkata.
“Apa ada yang salah dengan restoranmu?”
“Itulah masalahnya. Aku bahkan tidak tahu.”
“Apa kau bisa memasak untukku?”
“…Untukmu?”
“Jika kau butuh saranku, baiklah. Setidaknya, aku harus bisa membahasnya denganmu. Bukankah itu alasanmu datang ke sini?”
“…Benar, lagipula Rachel tidak ada di sini. Lalu…apa yang akan kita lakukan. Apa kau secara khusus suka dengan satu masakan?”
“Katakan saja padaku masakan apa yang kau pikirkan akhir-akhir ini. Aku akan mengira-ngira masalahnya ada di mana saat ini”
Deborah berpaling dengan canggung. Ketika Minjoon melihat deborah dengan bingung, Deborah berkata dengan ragu-ragu.
“Sejujurnya, hidangan itu dibuat sekitar lima bulan yang lalu. Aku hanya akan memberitahumu itu.
“Lima… bulan, hah.”
Deborah berusaha terdengar biasa mengatakannnya, tetapi suaranya sedikit gemetar pada akhirnya. Apa boleh buat. Tidak ada hal di restorannya yang sungguh berlanjut setelah 5 bulan dari itu.
Dia menunduk dengan gugup.
“Iya. Gila, kan.”
“…Kenapa kau tidak membuat sesuatu selama lima bulan?”
“Entahlah. Yang paling penting… aku tidak punya inspirasi lagi. Semacam ideku buntu. Aku sudah lupa bagaimana cara memasak. Aku sudah lupa bagaimana aku memasak.
Deborah tersenyum. Makna dari senyuman pahit itu hampir terlihat.
“Maka dari itu, aku kabur. Dengan alasan renovasi. Aku berharap aku mendapat sesuatu dari Rachel.”
“Bagaimana kau bisa kehilangan inspirasi?”
“Entahlah. Kurasa, mungkin aku… Terlalu banyak berpikir? Terlalu dangkal?”
“Apa maksudmu terlalu dangkal?”
“Aku akan menyalahkan orang lain untuk itu..karena Michelin. Kau selalu melihatku berjalan dengan penuh kemenangan, kan?”
“Tidak bisa dikatakan selalu. Aku tidak sering melihatmu.”
“Oke, baiklah. Sebenarnya, ini sangat lucu. Aku tak percaya aku membahas ini dengan seseorang yang baru kukenal.”
Jo Minjoon tersenyum simpul. Deborah bukan satu-satunya orang yang menceritakan tentang kehidupannya padanya. Sangat banyak, mulai dari Justin, Anderson, dan bahkan beberapa pelanggan telah menceritakan kehidupannya, setidaknya sekali.
Minjoon tidak membencinya. Kaya mengejeknya soal itu, tetapi Minjoon berpikir lain. Tidak ada orang yang akan membicarakan hidup mereka pada seseorang yang mereka benci.
Orang-orang yang menceritakan kehidupannya pada Minjoon, lalu, akan mengakui bahwa Minjoon menjalani kehidupan yang layak dijalani. Minjoon sama sekali tidak mmbenci hal itu
“Kau bisa berhenti jika kau tidak mau membicarakannya.”
“Tidak. Aku akan membayar untuk saranmu. Ini kisah yang sederhana. Aku hanya terlalu banyak memikirkan Michelin.”
“Itu terdengar biasa bagi siapa pun yang menginginkan bintang.”
“Iya. Tapi aku berlebihan. Aku mempertahankan hidangan yang dipuji para kritikus di menu, dan mengeluarkan hidangan yang tidak mendapat ulasan yang layak. Aku selalu melakukan itu. Pada akhirnya… Menuku bukan milikku, tetapi menjadi menu Michelin.”
“…Itu kisah yang sedih.”
“Ini dimulai dari hal kecil. Tetapi saat kau terus mencoba untuk menyingkirkannya, hal itu justru semakin besar. Itulah yang terjadi padaku. Aku mencoba menyesuaikan diri sedikit dengan selera mereka… lalu aku malah menjadi budak mereka. Kau tahu apa yang lucu dari ini, yang sebenarnya?”
“…Kurasa itu tidak akan terdengar lucu, tapi lanjutkan.”
“Kau benar soal itu. Ini tidak lucu sama sekali. Dave, yang tidak peduli tentang apa pun, tidak seperti aku, berakhir lebih baik dari aku. Sekarang dia punya tiga bintang!”
“Tidak ada yang leih buruk dari perasaan terkalahkan.”
“Kau paham perasaan itu? Kau tampak seperti selalu jadi pemenag, itu tidak bohong.”
“Hal-hal berjalan lancar sekarang, tetapi aku tidak selalu sukses.”
“Begitu ya.”
“Apa kau bisa memasak untukku? Kurasa, aku paham situasinya.”
“…Baiklah. Bolehkah aku menggunakan kompor di sini?”
“Tentu saja.”
Dia berkata seolah dia akan selesai dengan cepat, tetapi pada kenyataannya dia memasak satu jam penuh. Dia selesai ketika waktu istirahat hampir habis.
“Ini. Yang ini mendapat ulasan bagus. Cobalah.”
“Ini tampak… menarik.”
Minjoon jelas heran. Deborah sudah menyusun daging perut babi seolah seperti mie dan menyajikannya dengan krim kuning, saus hitam, dan saus jahe madu. Deborah berbicara sambil menyendokkan es krim ke daging.
“In adalah es krim yang aku buat dengan jahe dan bir. Aku merendam daging babi dengan rempah India dan wine, dan krim itu terbuat dari jahe dan kentang. Saus hitam terbuat dari kacang dan kecap. Cobalah.”
“..Terdengar menarik.”
Minjoon memasukkan hidangan ke mulutnya dengan tersenyum. Deborah melihat Minjoon dengan suka cita. Lagipula dia adalah chef demi yang paling terkenal di dunia. Dia tidak sabar untuk mendengar pendapatnya.
“Ini enak.”
Hanya itulah yang bisa dikatakan Minjoon setelah mencicipinya. Deborah tersenyum, tetapi itu memudar saat dia menyadari bahwa Minjoon sedang mengerutkan kening.
“Ada apa dengan wajahmu, kalau begitu?”
“Well…”
“Katakan saja padaku. Aku siap mendengar apa pun.”
“Jika semua yang di menu seperti ini…”
Minjoon menelan napas. Akan tetapi, dia harus mengatakannya.
“Menurutku, aku tidak mau menjadi pelanggan tetap di restoranmu.”
<Ambisi seorang chef tiada matinya (3)> Selesai.